Aku berjalan menyusuri tepian sungai hingga akhirnya tiba kembali di kawasan Gereja Melaka dan Kincir angin. Aku menyeberangi sungai dan melintas di depan Hard Rock Café yang berada persis di pinggir sungai. Kali ini tujuanku adalah Jonker Street. Kawasan favorit para pelancong khususnya backpacker dan pencinta kuliner. Di kawasan ini juga banyak objek wisata bersejarah. Sebut saja Makam Hang Jebat, Baba Nyonya Heritage Museum, Masjid Hulu dan Masjid Kampung Keling. Kawasan ini akan dibanjiri oleh ribuan orang khususnya di malam hari apalagi di akhir pekan.
Tujuanku ke sini siang ini selain mencari makan siang juga aku ingin melakukan shalat di Masjid Kampung Keling, salah satu masjid tertua di Melaka dan Malaysia. Tak sulit menemukan masjid ini karena papan petunjuk tersedia di hampir setiap sudut jalan. Yang menarik adalah posisi dan letak masjid ini. Terletak di Jalan Tukang Emas, masjid ini dikelilingi oleh masyarakat Tionghoa. Di samping kiri, kanan, depan dan belakang masjid semuanya orang Tionghoa. Uniknya lagi, tak jauh dari masjid terdapat
Kuil Pooyatha Moorthi untuk ibadah umat Hindu dan
Klenteng Cheng Hoon Teng untuk ibadah Tionghoa. Hanya berjarak beberapa bangunan saja dan semuanya sudah berusia ratusan tahun. Tidakkah kalian melihat betapa indahnya kerukunan dan toleransi umat beragama di kota ini sejak jaman dulu, sobat Indonesia?
Masjid Kampung Keling yang awalnya sebuah masjid dari kayu di bangun di tahun 1748 oleh kaum muslim pedagang dari India. Di tahun 1872, masjid dibangun kembali dengan menggunakan batu bata dengan tidak mengubah bentuk aslinya. Uniknya, menara masjid ini berbentuk pagoda dn cungkup/atapnya berbentuk atap rumah joglo. Marmer di dalam masjid yang saat ini sudah ditutupi karpet tebal didatangkan dari China sementara lampu-lampu dan beberapa ornament kaca berasal dari Inggris di era Ratu Victoria.
Usai mengambil air wudhu di dekat sebuah kolam kecil, tampak beberapa turis asing (bule) berada di dalam halaman masjid. Tak aneh karena masjid ini adalah bagian dari World Heritage, warisan dunia. Terlihat olehku seorang turis bule yang berada di teras masjid yang biasa digunakan untuk shalat karena tertutup karpet. Aku melihat turis itu masih mengenakan sepatu sementara sudah tertera tulisan pertanda ‘No Shoes’. Aku segera mendekati dan menegurnya, “
Sorry sir, no shoes please!” Sang bule mengucap “
ups, sorry” dan segera turun dari masjid.
Aku melangkah masuk ke dalam masjid. Interiornya yang masih dibiarkan sama dengan aslinya yang dibangun ratusan tahun lalu kembali membuatku terkagum-kagum. Sepintas masjid ini mengingatkanku akan Masjid Agung Demak dimana terdapat 4 tiang utama yang menyanggah masjid. Yang membedakan adalah jika di dalam Masjid Agung Demak pengunjung dilarang mengambil foto tapi di sini tak ada aturan itu.. Setiap tempat punya aturan masing-masing dan kita sebagai pengunjung harus menghargainya… Aku segera shalat dalam hembusan angin yang masuk dari 3 pintu yang dibiarkan terbuka.
Usai shalat aku kembali berjalan-jalan menyusuri jalan-jalan dan lorong-lorong di kawasan
Jonker Street. Lukisan
street art di beberapa tembok rumah warga menghiasi lorong-lorong di kawasan itu. Jalan dan lorong yang bersih berhias gambar dan lukisan warna-warni sungguh membuat hati terasa tenteram dan betah berlama-lama. Namun rasa lapar memaksaku harus bergegas menuju sebuah café yang tadi aku lewati di pinggir sungai menjadi pilihanku untuk makan siang menjelang sore. Aku masih akan berjalan-jalan setelahnya tapi aku akan ceritakan lain kali yak…
Masih banyak hal menarik yang akan aku ceritakan di sini diantaranya uniknya dunia gemerlap (dugem) dengan suguhan dentuman musik dan lampu warna-warni menghiasi malam minggu di kota warisan dunia ini, Melaka…
*Sumber Foto : Koleksi Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya