Ada apa di Tembok Ratapan? Bagaimana kehidupan damai antara Umat Muslim dan Kristen di Betlehem? Seperti apa sisa-sisa kekerasan yang pernah terjadi di Masjid Nabi Ibrahim di Hebron? Ayo ikut aku menjelajahinya…
Usai mengunjungi tempat Bouraq (kendaraan yang di gunakan Rasulullah Muhammad SAW saat Isra’ Mi’raj) di parkir, aku dan rombongan meninggalkan komplek Masjid Al-Aqsha. Tujuan kami selanjutnya adalah Tembok Ratapan. Terletak di dinding sebelah barat (Western Wall), tembok ini digunakan sebagai tempat beribadah dan berdoa kaum Yahudi selain sinagoge.
Usai melewati lorong-lorong bazaar (pasar) dari ketinggian sudah terlihat tembok ratapan yang menempel di dinding Masjid Al-Aqsha. Kubah abu-abu tembaga terlihat di atas tembok. Tampak banyak orang Yahudi sedang berdoa di sisi tembok (wall), bahkan ada yang menangis layaknya orang meratap. Kenapa? Â Bagi kaum Yahudi, tembok ratapan ini adalah tempat yang mustajab untuk berdoa dan memohon pengampunan dosa. Â Suka berdoa, menangis dan meratap di timeline/wall facebook ? Â ;)
Selain tembok ratapan, ada hal yang menarik perhatian. Sebuah bangunan panjang tertutup dinding dan atap terlihat diantara Kaum Yahudi yang sedang berdoa dan meratap. Bangunan panjang menyerupai terowongan itu seperti menembus dinding Masjid Al-Aqsha. Itulah bangunan terowongan yang dibuat oleh Israel dengan alasan penggalian arkeologi.
Meskipun aktifitas itu ditentang oleh banyak negara dan kaum muslim di seluruh dunia karena dapat meruntuhkan Masjid Al-Aqsha yang berada tepat di atas terowongan. Namun pihak Israel sepertinya tak peduli. Benda Arkeologi apa yang sebenarnya Israel cari? Menurut informasi dari beberapa sumber, Kaum Yahudi percaya bahwa  Masjid Al-Aqsha dibangun diatas reruntuhan Istana atau Candi Nabi Sulaiman atau menurut mereka adalah Solomon Temple.
Konon banyak benda-benda sejarah dan suci bagi kaum Yahudi ada di dalam reruntuhan itu. Bahkan ada informasi bahwa sebenarnya Israel sengaja melakukan penggalian itu agar Masjid Al-Aqsha runtuh dan setelahnya mereka akan membangun kembali Candi atau Istana Solomon.
Bangunan-bangunan bersejarah dan dianggap suci oleh Kaum Kristen pun terjaga dengan baik, termasuk gereja tempat kelahiran Yesus. Hal ini juga yang perlu di luruskan bahwa selama ini orang menganggap penduduk Palestina hanya identik dengan Orang Islam atau Kaum Muslim saja. Palestina pun dihuni oleh Umat Kristen selain Yahudi. Meskipun dari sisi fisik memang sulit membedakan khususnya kaum perempuan Kristen di sana tetap menggunakan pakaian tertutup lengkap dengan kerudung atau hijab.
Passport kami dikumpulkan untuk dibawa ke pos penjagaan. Seorang tentara Israel naik ke bus dan memeriksa kami dengan pandangan mata yang tajam sambil menghitung jumlah anggota rombongan. Banyak sekali cerita yang dibagi oleh Hisyam, pemandu kami mengenai perlakuan tentara Israel kepada penduduk Palestina dari Betlehem yang akan masuk ke Jerussalem  di pos perbatasan ini.
Terkadang ada yang sampai ditelanjangi untuk memastikan bahwa mereka tidak membawa senjata, bom  atau barang berbahaya lainnya. Bahkan tak jarang mereka tak diizinkan masuk Jerussalem, meskipun hanya untuk beribadah di Masjid Al-Aqsha.
Usai makan siang, kami kembali melanjutkan perjalanan dengan melewati jalan berkelok-kelok. Kawasan perbukitan berwarna kuning kecoklatan mendominasi pemandangan sepanjang perjalanan. Jejeran pohon zaitun dengan daun berwarna hijau seakan menjadi oase penyejuk mata dari kegersangan. Dari kejauhan tampak jejeran pemukiman kaum Yahudi .
Setelah menempuh perjalanan selama sejam, kami tiba di tempat parkir sebuah bangunan berbentuk kotak. Sebelum turun kami sudah diwanti-wanti agar berhati-hati saat akan mengambil gambar. Tentara Israel sering menghukum seseorang hanya karena hal sepele. Konon seorang penduduk Hebron pernah dihukum berdiri selama 4 jam hanya karena terlambat menutup tokonya melewati jam yang sudah ditentukan.
Tak seharusnya bangunan suci di buat seperti itu. Sempat teringat sebuah kisah. Saat Umar Bin Khattab pertama kali memasuki Kota Jerussalem setelah di taklukkan dari pasukan Romawi, beliau ditawari oleh salah seorang pendeta untuk melakukan shalat di dalam gereja saat tiba waktu shalat. Umar Bin Khattab menolak dengan halus dengan pertimbangan jika dia shalat di dalam gereja, suatu saat di kemudian hari akan ada umat Islam yang mengklaim gereja itu sebagai masjid karena Khalifah Umar Bin Khattab pernah shalat di dalamnya.
Hal itulah yang beliau hindari dan memilih membersihkan batu dengan jubahnya lalu shalat di atasnya. Tempat itulah yang di kemudian hari dibangun Masjid Umar Bin Khattab. Begitulah Islam bertoleransi.
Ada satu persitiwa ‘mengerikan’ yang pernah terjadi di masjid ini di tahun 1994 tepatnya di tanggal 25 February. Saat itu seorang Teroris Zionist Yahudi bernama Boroch Goldstain yang (konon) sedang stress masuk ke dalam masjid dan menembaki seluruh Jemaah yang sedang melakukan shalat subuh. Tak kurang dari 35 orang tewas dan 350 orang luka-luka dalam insiden berdarah itu.
Masjid yang seharusnya menjadi tempat ibadah yang suci dan dihormati saat itu berubah menjadi ladang pembantaian manusia. Hingga saat ini, bekas-bekas peluru yang menembus dinding masih bisa terlihat dengan jelas di masjid yang sudah berusia lebih 1000 tahun itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H