Mohon tunggu...
Rahmat Hadi
Rahmat Hadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

@rahmathadi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ada Tangis di Tembok Ratapan, Ada Damai di Betlehem dan Ada Duka di Masjid Ibrahim Hebron

17 November 2015   12:28 Diperbarui: 17 November 2015   17:10 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada apa di Tembok Ratapan? Bagaimana kehidupan damai antara Umat Muslim dan Kristen di Betlehem? Seperti apa sisa-sisa kekerasan yang pernah terjadi di Masjid Nabi Ibrahim di Hebron? Ayo ikut aku menjelajahinya…

Usai mengunjungi tempat Bouraq (kendaraan yang di gunakan Rasulullah Muhammad SAW saat Isra’ Mi’raj) di parkir, aku dan rombongan meninggalkan komplek Masjid Al-Aqsha. Tujuan kami selanjutnya adalah Tembok Ratapan. Terletak di dinding sebelah barat (Western Wall), tembok ini digunakan sebagai tempat beribadah dan berdoa kaum Yahudi selain sinagoge.

Usai melewati lorong-lorong bazaar (pasar) dari ketinggian sudah terlihat tembok ratapan yang menempel di dinding Masjid Al-Aqsha. Kubah abu-abu tembaga terlihat di atas tembok. Tampak banyak orang Yahudi sedang berdoa di sisi tembok (wall), bahkan ada yang menangis layaknya orang meratap. Kenapa?  Bagi kaum Yahudi, tembok ratapan ini adalah tempat yang mustajab untuk berdoa dan memohon pengampunan dosa.  Suka berdoa, menangis dan meratap di timeline/wall facebook ?  ;)

Sebenarnya pengunjung boleh masuk ke dalam area tembok ratapan selama menggunakan penutup sebagian kepala. Beberapa orang rombongan masuk mendekat ke tembok ratapan namun aku tidak melakukannya. Bagiku tempat ibadah bukanlah tempat untuk sekedar ‘di lihat-lihat’ apalagi jika penganut agama tersebut sedang beribadah. Ibadah adalah proses komunikasi sakral dan suci antara Mahluk dengan Penciptanya dan hal itu bukan tontonan. Aku pun akan merasa kurang nyaman apabila sedang shalat ditonton orang dari jarak dekat apalagi sambil dipotret. Mungkin akan begitu juga dengan Umat Yahudi yang sedang berdoa di Tembok Ratapan. Begitulah aku mengartikan ‘toleransi antar umat beragama’.

Selain tembok ratapan, ada hal yang menarik perhatian. Sebuah bangunan  panjang tertutup dinding dan atap terlihat diantara Kaum Yahudi yang sedang berdoa dan meratap. Bangunan panjang menyerupai terowongan itu seperti menembus dinding Masjid Al-Aqsha. Itulah bangunan terowongan yang dibuat oleh Israel dengan alasan penggalian arkeologi.

Meskipun aktifitas itu ditentang oleh banyak negara dan kaum muslim di seluruh dunia karena dapat meruntuhkan Masjid Al-Aqsha yang berada tepat di atas terowongan. Namun pihak Israel sepertinya tak peduli. Benda Arkeologi apa yang sebenarnya Israel cari? Menurut informasi dari beberapa sumber, Kaum Yahudi percaya bahwa  Masjid Al-Aqsha dibangun diatas reruntuhan Istana atau Candi Nabi Sulaiman atau menurut mereka adalah Solomon Temple.

Konon banyak benda-benda sejarah dan suci bagi kaum Yahudi ada di dalam reruntuhan itu. Bahkan ada informasi bahwa sebenarnya Israel sengaja melakukan penggalian itu agar Masjid Al-Aqsha runtuh dan setelahnya mereka akan membangun kembali Candi atau Istana Solomon.

Selepas dari Tembok Ratapan, kami melanjutkan rombongan untuk meng-eksplore Palestina dalam rangkaian city tour. Tujuan kami berikutnya adalah Kota Betlehem. Kota Suci bagi Umat Kristiani yang saat ini berada di bawah Authoritas Palestina. Meskipun saat ini Betlehem di huni oleh mayoritas penduduk beragama Islam namun mereka hidup berdampingan dengan damai bersama penduduk Palestina yang beragama Kristen.

Bangunan-bangunan bersejarah dan dianggap suci oleh Kaum Kristen pun terjaga dengan baik, termasuk gereja tempat kelahiran Yesus. Hal ini juga yang perlu di luruskan bahwa selama ini orang menganggap penduduk Palestina hanya identik dengan Orang Islam atau Kaum Muslim saja. Palestina pun dihuni oleh Umat Kristen selain Yahudi. Meskipun dari sisi fisik memang sulit membedakan khususnya kaum perempuan Kristen di sana tetap menggunakan pakaian tertutup lengkap dengan kerudung atau hijab.

Untuk memasuki Kota Betlehem, kami kembali harus menjumpai security post yang dijaga oleh tentara Israel lengkap dengan senjata mesin laras panjang. Kota Jerussalem dan Betlehem di batasi dengan tembok tinggi laksana penjara. Di bagian atasnya terpasang kawat berduri beraliran listrik. Aku mengambil gambar secara diam-diam.

Passport kami dikumpulkan untuk dibawa ke pos penjagaan. Seorang tentara Israel naik ke bus dan memeriksa kami dengan pandangan mata yang tajam sambil menghitung jumlah anggota rombongan. Banyak sekali cerita yang dibagi oleh Hisyam, pemandu kami mengenai perlakuan tentara Israel kepada penduduk Palestina dari Betlehem yang akan masuk ke Jerussalem  di pos perbatasan ini.

Terkadang ada yang sampai ditelanjangi untuk memastikan bahwa mereka tidak membawa senjata, bom  atau barang berbahaya lainnya. Bahkan tak jarang mereka tak diizinkan masuk Jerussalem, meskipun hanya untuk beribadah di Masjid Al-Aqsha.

Kami melewati kota Betlehem menuju restoran untuk makan siang. Kami agak sedikit tergesa-gesa karena Masjid Nabi Ibrahim yang terletak di Hebron masih cukup jauh. 

Usai makan siang, kami kembali melanjutkan perjalanan dengan melewati jalan berkelok-kelok. Kawasan perbukitan berwarna kuning kecoklatan mendominasi pemandangan sepanjang perjalanan. Jejeran pohon zaitun dengan daun berwarna hijau seakan menjadi oase penyejuk mata dari kegersangan. Dari kejauhan tampak jejeran pemukiman kaum Yahudi .

Setelah menempuh perjalanan selama sejam, kami tiba di tempat parkir sebuah bangunan berbentuk kotak. Sebelum turun kami sudah diwanti-wanti agar berhati-hati saat akan mengambil gambar. Tentara Israel sering menghukum seseorang hanya karena hal sepele. Konon seorang penduduk Hebron pernah dihukum berdiri selama 4 jam hanya karena terlambat menutup tokonya melewati jam yang sudah ditentukan.

Setelah menunggu hampir sejam karena harus menunggu approval dari tentara Israel penjaga pos yang sedang bertugas akhirnya kami bisa masuk ke dalam lokasi yang disebut Al Khalil atau Al Haram Al Ibrahim (tempat suci Ibrahim). Awalnya keseluruhan bangunan itu adalah masjid, namun oleh pemerintah Israel, sebagian bangunan masjid dimanfaatkan sebagai sinagoge atau tempat ibadah kaum Yahudi.

Di dalam masjid Ibrahim, tepatnya di bawahnya, terdapat Goa Makfilah  berisi makam Nabi Ibrahim, Nabi Ishak (putra Nabi Ibrahim), Siti Sarah (Istri Nabi Ibrahim) dan Nabi Ya’kub (Putra Nabi Ishak/Ayahanda Nabi Yusuf). Saat memasuki area masjid berlapis karpet sajadah berwarna merah, lagi-lagi perasaan haru dan geram timbul saat melihat ruangan di dalam masjid bersekat-sekat pembatas antara masjid dan sinagoge.

Tak seharusnya bangunan suci di buat seperti itu. Sempat teringat sebuah kisah. Saat Umar Bin Khattab pertama kali memasuki Kota Jerussalem setelah di taklukkan dari pasukan Romawi, beliau ditawari oleh salah seorang pendeta untuk melakukan shalat di dalam gereja saat tiba waktu shalat. Umar Bin Khattab menolak dengan halus dengan pertimbangan jika dia shalat di dalam gereja, suatu saat di kemudian hari akan ada umat Islam yang mengklaim gereja itu sebagai masjid karena Khalifah Umar Bin Khattab pernah shalat di dalamnya.

Hal itulah yang beliau hindari dan memilih membersihkan batu dengan jubahnya lalu shalat di atasnya. Tempat itulah yang di kemudian hari dibangun Masjid Umar Bin Khattab. Begitulah Islam bertoleransi.

Setelah shalat Sunnah, kami berkeliling area masjid. Tampak 2 bangunan berbentuk kotak persegi. Itulah simbol makam Nabi Ibrahim dan Nabi Ishak.  Dikatakan simbol karena jasad ke dua Nabi itu berada di dalam goa di bawah bangunan masjid. Interior masjid sepintas mirip dengan interior Masjid Al-Aqsha. Kaligrafi, mihrab, dan lampu-lampu yang tergantung .

Ada satu persitiwa ‘mengerikan’ yang pernah terjadi di masjid ini di tahun 1994 tepatnya di tanggal 25 February. Saat itu seorang Teroris Zionist Yahudi bernama Boroch Goldstain yang (konon) sedang stress masuk ke dalam masjid dan menembaki seluruh Jemaah yang sedang melakukan shalat subuh. Tak kurang dari 35 orang tewas dan 350 orang luka-luka dalam insiden berdarah itu.

Masjid yang seharusnya menjadi tempat ibadah yang suci dan dihormati saat itu berubah menjadi ladang pembantaian manusia. Hingga saat ini, bekas-bekas peluru yang menembus dinding masih bisa terlihat dengan jelas di masjid yang sudah berusia lebih 1000 tahun itu.

Usai melaksanakan shalat Azhar, aku dan rombongan bergegas meninggalkan Masjid Ibrahim untuk kembali menuju Jerussalem. Sungguh banyak hal yang telah aku lihat selama berada di kota suci Jerussalem, Betlehem dan Hebron. Kota-kota yang menghadirkan nuansa spiritual dan religius. Arghhhh….Andai negeri ini aman dan penduduknya hidup berdampingan dalam kedamaian tanpa kawalan dan sorot mata tajam tentara bersenjata laras panjang dimana-mana, mungkin aku akan sering mengunjunginya dan mengeksplore keindahannya. Semoga hal itu akan terjadi suatu hari nanti.. Amin…

*Sumber Foto : Dokumen Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun