Mohon tunggu...
Rahmat Hadi
Rahmat Hadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

@rahmathadi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyeberang ke Pulau Timang

24 Agustus 2014   23:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:40 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_320785" align="aligncenter" width="640" caption="(Koleksi Pribadi) Pulau Timang, Jogjakarta"][/caption]

Menyeberang ke Pulau tak berpenghuni hanya dengan menggantungkan nyawa di seutas tali nilon sementara deburan ombak pantai selatan Jawa yang terkenal ganas siap memangsa? Ingin tahu rasanya saat berada di pulau itu seorang diri? Simak cerita perjalanannya yang aku lakukan beberapa waktu lalu di bulan Ramadhan bersama rekanku, Donny Alamsyah.

Sebenarnya aku sudah pernah mengunjungi Pulau Timang sebelumnya bersama-sama dengan kawan Komunitas Jalan Kaki di FB, namun saat itu kami tak menyeberang karena tidak sepakat soal harga dan biaya penyeberangan yang oleh JKers dirasa terlalu mahal. Saat aku ceritakan hal itu ke rekanku, Donny Alamsyah, dia menantangku agar kapan-kapan kami ke sana dan mencoba menyeberang. Jadilah pada suatu saat kebetulan dia ada pekerjaan di Jogja, aku lalu menyusulnya dan bersama-sama mengunjungi pulau Timang yang terkenal sebagai tempat mencari lobster itu.

Setelah semalaman menyetir seorang diri dari Jakarta, aku tiba di Jogja jam 2.30 pagi. Saat itu bulan puasa. Aku kemudian menghubungi Donny via WA dan jawabannya singkat, "Masih Syuting!". Sambil menunggu Donny menyelesaikan pekerjaannya aku mencari sahur di kawasan Malioboro lalu menuju ke mesjid keraton untuk shalat subuh. Hingga selesai shalat subuh, Donny belum ada informasi juga apakah dia sudah selesai dan tak terasa aku pun tertidur di mobil di parkiran mesjid Keraton Jogja. Aku baru bangun setelah Donny menelepon dan mengabarkan kalau dia sudah menuju ke Hotel. Aku segera menyusulnya ke Hotel tempat dia menginap. Sebenarnya kami berencana berangkat pagi-pagi sekali ke Wonosari, dimana kami berencana mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan itu.  Namun karena pertimbangan bahwa kami berdua masih sangat mengantuk apalagi dalam kondisi berpuasa, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di hotel sebelum berangkat. Jadilah kami tidur dan akhirnya, baru bangun setelah jam menunjukkan pukul 11 siang.

Selepas Dhuhur, kami meninggalkan hotel dan mampir ke beberapa pusat perbelanjaan di Jogja karena Donny memerlukan beberapa perlengkapan kamera. Setelah semua keperluan di dapatkan barulah  menuju ke Wonosari, Gunung Kidul. Minimnya papan petunjuk saat itu membuat kami hanya mengandalkan GPS yang ada di mobil dan handphone dan menggunakan cara manual untuk memastikannya, bertanya. Jalan berliku di Wonosari, serta banyaknya kawasan pantai yang ada di sana membuat perjalanan terasa menyenangkan. Beberapa kali kami mampir mengambil foto jika ada spot yang bagus.

Tak terasa hari sudah sore saat kami tiba di sebuah pertigaan di samping sebuah tanah lapang yang mirip lapangan sepakbola dimana GPS mengarahkan kami untuk belok kanan dan jika lurus akan menuju ke Pantai Siung. Karena agak ragu, kami mampir bertanya di sebuah warung dan mereka membenarkan bahwa arah itu benar menuju ke Pantai atau Pulau Timang. Mereka malah bertanya apa keperluan kami menuju ke sana sementara hari sudah sore apalagi bulan puasa yang kami jawab, "Pengen foto-foto.."

[caption id="attachment_320786" align="aligncenter" width="640" caption="(Koleksi Pribadi)Jalan kecil ke Pantai Timang"]

14088734921049853394
14088734921049853394
[/caption]

Setelah melewati jalan yang hanya bisa di lalui oleh 1 mobil, kami akhirnya tiba di sebuah rumah yang lebih mirip pondok. Disana masih ada mas Anto, orang yang pernah kutemui beberapa waktu lalu saat datang bersama anak-anak JKers (sebutan untuk anggota Komunitas Jalan Kaki di FB). Aku lalu info ke mas Anto kalau kami ingin menyeberang. Awalnya dia keberatan karena hari sudah sore dan dia butuh bantuan orang. Kami lalu meminta tolong untuk dicarikan orang karena kami sudah jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk menyeberang ke sana. Akhirnya dia bersedia mencarikan orang setelah kami sanggup untuk membantunya. Tak lama Mas Anto sudah kembali lagi dengan seseorang yang akan membantu untuk menarik tali. Tali?

[caption id="attachment_320787" align="aligncenter" width="480" caption="(Koleksi Pribadi) Menyeberang ke Timang"]

14088735901769927536
14088735901769927536
[/caption]

Setelah sepakat untuk membayar harga 200 ribu rupiah per orang, kami berempat menuju ke atas bukit melewati vegetasi yang mirip pohon pandan, kami tiba di bibir tebing dimana terdapat sebuah benda yang mirip kereta kayu. Yah..kereta kayu yang bentuknya seperti kursi dan diatasnya terdapat katrol yang tergantung di seutas tali nilon. Kursi kayu itu juga di kaitkan ke beberapa tali nilon dan tali-tali itulah yang akan menjadi sarana untuk bisa menyeberang ke Pulau Timang. Sementara debur ombak khas pantai selatan di bawah tebing terdengar menggema dan menyemburkan air saat pecahan ombaknya menyentuh bibir tebing.

Karena hari sudah mulai akan gelap, kami bergegas untuk menyeberang, menyusul mas Anto yang sudah menyeberang pertama. Mas Anto lah yang akan membantu menarik tali dari arah pulau Timang sementara temannya yang satu lagi akan mengulur dan menarik sisi tali yang lainnya dari arah kami berdiri saat itu.  Tali pengaman (Safety Belt) yang aku bawa di daypack segera aku keluarkan dan dipasang Donny. Dia yang akan menyeberang pertama kali, sementara aku akan menunggunya dan membantu menarik talinya. Tali pengaman yang melilit di badan Donny di sangkutkan di atas seutas tali di bagian atas dan mulailah kursi kayu  bergerak menyeberang ke Pulau Timang. Sesekali terdengar suara teriakan saat dia tersiram deburan ombak.  Kami bertiga (Aku, Mas Anto dan temannya) yang berjuang menariknya dengan sekuat tenaga.

Setelah Donny sampai di seberang, kursi kayu kembali di tarik agar bisa terkirim ke tempatku berada untuk gantian menyeberang. Tapi...o'ooo, Donny lupa melepaskan Safety Belt di badannya dan mengirimnya kembali bersama dengan kursi.  Jadilah aku akan mneyeberang tanpa menggunakan safety belt. Agak ngeri juga saat aku mulai menaiki kursi kayu tanpa pengaman apapun. Aku hanya berpegangan erat-erat ke tiang kursi. Sesaat aku berteriak agar Mas Anto dan Donny menarik tali . Mulailah aku menyeberang ke Pulau Timang. Angin yang bertiup kencang dan deburan ombak yang sesekali membasahi menambah 'kencangnya' detak jantungku. Betapa tidak, andai tiba-tiba ada angin kencang atau ombak yang besar dan menerpaku, aku bisa saja terlempar dari kursi dan terjatuh ke dalam gulungan ombak yang berderu di bawahku. Untungnya aku selamat tiba di Pulau Timang dan langsung 'toss-tossan ' dengan Donny pertanda kami berhasil. Segera kami mengabadikan moment itu dengan berfoto.

[caption id="attachment_320788" align="aligncenter" width="640" caption="(Koleksi Pribadi) Aku dan Donny di Pulau Timang"]

14088736701544968698
14088736701544968698
[/caption]

Hari sudah semakin gelap dan tampaknya sudah berbuka puasa. Kami tak membawa air atau makanan apapun sementara kami masih ada di Pulau Timang yang kosong. Segera kami berbenah dan Donny mulai menggunakan safety belt lagi. Aku mengingatkan agar safety belt jangan lupa di lepas dan di kaitkan di kursi saat sudah tiba. Sama seperti di awal, aku dan Mas Anto kembali menarik tali agar kursi kayu bisa menyeberang. Saat pengembalian kursi, Mas Anto meminta agar dia menyeberang duluan karena posisi Pulau Timang yang lebih rendah dari pulau seberang, maka akan kesulitan jika hanya ditarik oleh 2 orang untuk kembali. Aku tak punya pilihan apa-apa kecuali menyetujui usulan Mas Anto, apalagi hari sudah gelap. Sesaat setelah kursi tiba, Mas Anto naik dan aku mulai menarik tali agar kereta bergerak lagi. Jadilah aku seorang diri di pulau batu itu. Hari sudah benar-benar gelap. Dari seberang Donny menyalakan senternya yang menjadi penanda bagiku bahwa masih ada orang di seberang pulau. Tak lama kursi kayu datang dan aku mulai naik. Kali ini Donny tak lagi lupa mengembalikan Safety Belt jadi aku merasa ' lebih aman' dibanding saat menyeberang di awal tadi. Deburan ombak Pantai Selatan  yang bergemuruh serta kilatan cahaya lampu senter Donny dari seberang yang terlihat bagiku, selebihnya gelap. Suasananya lumayan horror...

Jam sudah menunjukkan pukul 6.30 malam saat kami tiba kembali di mobil dan segera melaksanakan buka puasa walaupun terlambat. Setelah membayar Mas Anto, kami kembali menyusuri gelapnya jalan-jalan di Wonosari untuk melanjutkan petualangan dengan camping di Pantai Indrayanti dan besoknya menjelajahi Goa Jomblang, masih dalam kondisi berpuasa. Ingin tahu seperti apa suasana malam di Pantai Indrayanti di bulan Ramadhan dan indahnya cahaya surga Goa Jomblang? Ikuti petualangan kami...

Foto by : Rahmat Hadi dan Donny Alamsyah

Bisa pula di saksikan di Youtube kami

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun