Mohon tunggu...
RAHMAT GUNAWIJAYA
RAHMAT GUNAWIJAYA Mohon Tunggu... Administrasi - PENULIS Sejarah

Penulis sejarah yang pernah kerja di perbankan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kredit Kita dan Utang Negara

20 Maret 2018   13:29 Diperbarui: 20 Maret 2018   13:51 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Utang sebenarnya adalah situasi ketika individu atau lembaga memerlukan bantuan karena situasi dan kondisi tertentu sehingga tidak mampu menyelesaikan sesuatu kewajiban atau urusannya dengan kemampuan sendiri. Dalam agama berhutang sebenarnya adalah suatu yang sangat berat karena akan dibawa mati.

Dalam Islam seseorang yang telah meninggal akan diumumkan kepada para kerabat dan temannya jika Almarhum mempunyai hutang piutang maka diumumkan kepada khalayak ramai, mohon segera diselesaikan kepada Ahli Warisnya atau jika sang pemberi hutang mengikhlaskan pinjamannya karena Almarhum dan keluarga ahli waris benar-benar miskin dan tidak mampu menyelesaikan hutangnya maka dimohonkan ampunan dan dosanya.

Hutang boleh dianggap sebagai dosa warisan, oleh sebab itu jika individu mengajukan hutang kepada lembaga perbankan dan telah menikah maka akan diwajibkan meminta persetujuan istri atau suami yang bersangkutan. Karena utang sangat berkaitan dengan pengeluaran dimasa mendatang dalam rangka kelayakan dan kelangsungan hidup ekonomi dimasa datang.

Rumus umum perbankan adalah rasio angsuran pembayaran cicilan hutang tidak lebih dari 30 persen pendapatan bersih.  Artinya jika seseorang mempunyai penghasilan bersih 1 Juta rupiah perbulan. Maka rasio cicilannya maksimal adalah 300 ribu rupiah perbulan. Dengan harapan 70 persen sisanya masih bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari debitur.

Artinya disini yang jadi patokan oleh Kreditur adalah besarnya kemampuan mengembalikan pinjaman dari cicilan bukan besar kecilnya jumlah pinjaman, tetapi seberapa besar kemampuan maksimal debitur mengembalikan atau mengangsur cicilan dari penghasilan yang diperolehnya.

Jadi jika rasio taksiran kemampuan pinjamannya maksimal 300 ribu perbulan dihitung total pinjamannya bisa saja beserta bunga tentunya total pengembaliannya bisa 3000.000 dicicil 10 bulan atau 30.000.000 dicicil 100 bulan dan seterusnya. Kenapa dihitung plus bunga atau jasa karena kalau kita meminjam uang pasti akan dikenakan bunga plus jasa-jasa  administrasi lainnya oleh pihat kreditor dalam hal ini lembaga perbankan dan keuangan.

Bagaimana kalau Negara berhutang apakah harus meminta izin rakyat atau tanggung jawab dan resikonya, soal itu pasti karena Negara dalam mengajukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tentu akan mengusulkan Rancangan Undang-Undang APBN kepada perwakilan Rakyat dalam hal ini DPR yang memiliki hak menyusun anggaran dan peraturan perundang-undangan. Karena Negara jikalau pun harus berhutang tentu untuk kepentingan rakyat dan membiayai pengeluaran Negara.

Selain itu aturan baku rasio cicilan  hutang tidak lebih dari pendapatan atau maksimal 30 persen dari pendapatan juga diperhatikan.  Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang sebesar 27,5 persen masih relatif baik dibanding negara lain.

Posisi utang pemerintah pusat pada 2016 mencapai Rp Rp 3.466,9 triliun atau setara dengan US$ 258,04 miliar. "Rasio utang kita terhadap PDB 27 persen relatif well," ujar Sri Mulyani di Jakarta, beberapa waktu lalu. Dia membandingkan rasio utang pemerintah Indonesia yang masih terjaga dengan negara lain. Rasio utang negara lain terhadap PDB, contohnya Jepang sudah menembus sekitar 250 persen dan Amerika Serikat (AS) 108 persen.(liputan 6, juli 2017).

Produk Domestik Bruto diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun).  PDB berbeda dari produk nasional bruto karena memasukkan pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di negara tersebut. Sehingga PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal usul faktor produksi yang digunakan.

PDB Nominal merujuk kepada nilai PDB tanpa memperhatikan pengaruh harga. Sedangkan PDB riil (atau disebut PDB Atas Dasar Harga Konstan) mengoreksi angka PDB nominal dengan memasukkan pengaruh dari harga.

PDB dapat dihitung dengan memakai dua pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan. Rumus umum untuk PDB dengan pendekatan pengeluaran adalah:

PDB = konsumsi + investasi + pengeluaran pemerintah + (ekspor - impor)

Di mana konsumsi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, investasi oleh sektor usaha, pengeluaran pemerintah oleh pemerintah, dan ekspor dan impor melibatkan sektor luar negeri.

Sementara pendekatan pendapatan menghitung pendapatan yang diterima faktor produksi

PDB = sewa + upah + bunga + laba

Di mana sewa adalah pendapatan pemilik faktor produksi tetap seperti tanah, upah untuk tenaga kerja, bunga untuk pemilik modal, dan laba untuk pengusaha.

Secara teori, PDB dengan pendekatan pengeluaran dan pendapatan harus menghasilkan angka yang sama. Namun karena dalam praktik menghitung PDB dengan pendekatan pendapatan sulit dilakukan, maka yang sering digunakan adalah dengan pendekatan pengeluaran.

Jika melihat rasio hutang Pemerintah Indonesia terhadap lembaga kreditor masih dibawah 30 persen dari pendapatan Negara ( Cicilan Hutang Pemerintah RI sudah 27,5 persen dari rasio pendapatan) masih lebih kecil daripada hutang Pemerintah Jepang yang sudah mencapai 250 persen dan Pemerintah Amerika Serikat yang mencapai 108 persen dari rasio pendapatan. Tapi kondisi kedua Negara tersebut sangat berbeda dengan Indonesia.

Utang pemerintah Jepang dan Amerika Serikat itu adalah bersifat hutang domestik atau hutang dalam negeri kepada rakyatnya. Jadi Pemerintah Amerika Serikat dan Jepang mengeluarkan obligasi atau saham kepada rakyatnya untuk dipinjam sebagai penyertaan modal Negara artinya hutangnya kepada rakyat di dalam negeri.

Kondisinya berbeda dengan Pemerintah Indonesia yang sebagian besar berhutang dengan lembaga donor seperti Bank Dunia, International Moneter Fund (IMF), Asian Development Bank dan sebagainya. Walaupun ada juga utang pemerintah lewat pinjaman obligasi republik Indonesia (ORI) ke rakyat tapi proporsinya lebih kecil.

Sederhananya Pemerintah Amerika Serikat dan Jepang mengeluarkan surat hutang yang nilainya ribuan trilyun untuk dibeli oleh rakyat dengan jaminan investasi pengembalian uang modal dalam jangka tertentu (biasanya jangka waktu diatas 5 tahun)  yang nilainya diatas suku bunga rata-rata perbulan.

Uang modal hasil penjualan obligasi oleh rakyat Amerika dan Jepang itulah yang dijadikan modal APBN nya Amerika dan Jepang, sehingga pemerintah tidak khawatir jika suatu saat terjadi kondisi keuangan Negara agak seret saat jatuh tempo pembayaran hutang pada rakyatnya maka bisa dinegoisasikan ulang karena rakyat pasti percaya Negara tidak akan bangkrut, karena jika rakyat bangkrut maka rakyat juga yang akan menderita. Selain itu rakyat juga akan sulit mengintervensi kebijakan ekonomi Negara tapi harus melalui perwakilan di parlemen yang sarat kepentingan politis.

Hal ini berbeda dengan kondisi utang Pemerintah Republik Indonesia yang sebagian besar berupa utang luar negeri dalam bentuk dollar kepada lembaga donor sehingga jika pada saat jatuh tempo pembayaran hutang pemerintah mengalami kesulitan, maka kebijakan ekonomi dan aset Negara gampang diintervensi dan diambil alih Negara donor. Berbeda kasus jika Pemerintah Republik Indonesia menggantungkan hutang dari menjual saham atau obligasi Negara kepada investor rakyat Indonesia sendiri di dalam negeri.

Pendapatan untuk membayar utang Negara tentunya juga didapat dari sumber penerimaan Negara sebagai berikut :

  • Pajak biasanya dari Pajak Minyak dan Gas (Migas)  dan Pajak Non Migas
  • Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP (Setoran Negara dalam bentuk pelayanan seperti Setoran Masuk Perguruan Tinggi Negeri , Restribusi Pengadilan dan Pelayanan Kesehatan di rumah sakit negeri dan jasa --jasa terkait pelayanan Kementerian/Lembaga )
  • Deviden dari Keuntungan Perusahaan Badan Usaha Milik Negara
  • Hasil Lelang penjualan Barang Milik Negara
  • Penjualan barang Sitaaan barang rampasan atas perintah pengadilan atau rampasan perang
  • Jual Materai dan Bea dan Cukai barang ekspor impor
  • Pendapatan dari penjualan atau sewa aset Negara yang telah berkekuatan hukum
  • Penjualan Obligasi atau Ritel Negara
  • Hibah atau bantuan dari Negara atau lembaga donor.

Tentunya sebagian penerimaan negara ini akan digunakan sebahagiaannya untuk membayar cicilan hutang terlebih dahulu baru sisanya digunakan untuk belanja negara dalam bentuk Belanja Gaji Pegawai Negeri, Belanja Barang Operasional Kementerian Lembaga, Belanja Modal Pembangunan dan Belanja Bantuan Sosial.

Kembali soal pemberian hutang, kadang pemegang kebijakan ekonomi bangga jika memperoleh pinjaman dalam jumlah yang besar dan hal ini wajar, karena mengenai kredit sebenarnya berasal dari kata kredite atau kepercayaan. Artinya orang yang diberi kredit atau pinjaman berarti orang yang dipercaya.

Rasionalnya Bank dan lembaga Keuangan tidak akan memberi pinjaman kepada kredit kepada orang atau lembaga yang tidak jelas. Pemberi kredit tentu sebelumnya akan mempertimbangkan track record debitur sebagai peminjam, jaminan dan kemampuan membayar cicilan hutang di masa depan.

Artinya sebenarnya di dunia ini Lembaga Bank dan Keuangan hanya akan memberi pinjaman kepada orang yang dianggap mampu serta dipercaya serta kredibel , orang miskin tak punya jaminan tentu akan susah memperoleh pinjaman, apalagi jika jumlahnya besar karena peminjam akan menghitung besar kecilnya keuntungan dan lamanya pengembalian pinjaman. Artinya Negara dianggap kredibel dipercaya dan punya jaminan banyak untuk bayar utang oleh lembaga-lembaga donor.

Walaupun sebenarnya tidak sehat juga kalau terlalu banyak berhutang karena akan  menggerogoti masa depan penghasilan yang akan digerus untuk membayar cicilan hutang. Idealnya hutang boleh boleh saja akan tetapi sebisanya porsinya kecil dari pendapatan bersih dan tidak mengganggu pendapatan atau kebutuhan di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun