Rencana Sumitro
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal. Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif. Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah. Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya. Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah. Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap(12 Agustus 1955-3 Maret 1956)Indonesia mengirimkan delegasi ke negeri belanda.
Tujuan perundingan finensial Hasilnya pada tanggal 17 Januari 1956 tercapai rencana persetujuan finek antara lain:
- Persetujuan Finek dan hasil KMB di bubarkan.
- Hubungan Finek Indonesia-Belanda berdasarkan hubungan bilateral.
- Hubungan Finek berdasarkan UU Nasional tidak diikat dengan perjanjian lain.
Persetujuan ini tidak di terima oleh pemerintah Belanda,sehinga pemerintah indonesia mengambil langkah sepihak dengan membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 13 Februari 1956.
Biro Perancang Negara
Pada bulan Mei 1956, Biro Perancang Negara menghasilkan Rancangan Pembangunan Lima Tahun (1956–1961). Rencana Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan ini disetujui DPR.
Karena situasi politik dan ekonomi, Rencana Pembangunan Lima Tahun ini tidak dapat dilaksanakan. Faktor-faktor yang memberatkan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun antara lain:
- Rendahnya pendapatan negara karena merosotnya harga ekspor bahan mentah.
- Perjuangan pembebasan Irian Jaya yang mendorong pemerintah untuk melaksanakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia.
- Ketegangan yang terjadi antara pusat dan daerah.
- Dewan-dewan yang terbentuk di beberapa daerah di luar Jawa mengambil kebijakan sendiri dalam hal ekonomi dengan melakukan perdagangan barter langsung ke luar negeri.
- Banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk membiayai operasi penumpasan pemberontakan- pemberontakan di berbagai daerah.
Demikian situasi dan kebijakan ekonomi pada masa demokrasi liberal yang memakan waktu hampir 10 tahun dari tahun 1950 sampai tahun 1959 bertepatan dengan keputusan dekrit dari Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959.
Sumber    :
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2018. Sejarah Indonesia: Buku Guru SMA/MA, SMK/MAK Kelas XII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2018. Sejarah Indonesia: Buku Siswa SMA/MA, SMK/MAK Kelas XII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- Nur Cahyo, Adi. 2020. Belajar Praktis Sejarah Indonesia. Klaten: Viva Pakarindo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H