Indonesia merupakan negara terbesar ke - 4 didunia, data BPS tahun 2018 menunjukan jumlah penduduk Indonesia 265 juta jiwa dan mencakup 39 persen dari total populasi di wilayah Asia Tenggara. Dan memiliki demographic bonus dengan 60 persen dari penduduknya berusia dibawah 30 tahun. Tetapi, dewasa ini Sumber Daya Manusia serta demographic bonus yang kita miliki belum dapat dimaksimalkan sepenuhnya, sedangkan negara ini mengharapkan kaum pemuda untuk dapat menjadi generasi penerus yang akan membangun bangsa ini.Â
Jika melihat kebelakang sejarah panjang perjuangan Indonesia, banyak para pemuda yang terlibat dalam memperjuangkan Republik Indonesia. Dimulai dari ratusan tahun lalu seorang pemuda bernama Gadjah Mada yang bercita-cita mempersatukan suatu bangsa yang dikenal pada masa itu dengan sebutan Nusantara.Â
Kemudian pada tahun 1928 para pemuda berhasil mencetuskan sebuah label tanda perjuangan para pemuda dan tanda lahirnya suatu bangsa, yang kita kenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Perjuangan pemuda ini masih berlanjut hingga tahun 1945 dimana para pemuda bertikai dengan golongan tua untuk kemudian menculik Bung Karno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.Â
Pada tahun 1966 perjuangan belum selesai, para pemuda yang pada saat itu sudah dikenal dengan sebutan mahasiswa memprotes keras pemerintahan Orde Lama Presiden seumur hidup Ir. Soekarno, ketika gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI semakin keras, pemerintah tidak segera mengambil tindakan.Â
Keadaan negara Indonesia sudah sangat parah, baik dari segi ekonomi maupun politik. Harga barang naik sangat tinggi terutama Bahan Bakar Minyak (BBM). Oleh karenanya, pada tanggal 12 Januari 1966 Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia KAMI dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia KAPPI memelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut (tiga tuntutan rakyat) Tritura.Â
Isi Tritura adalah pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan kabinet Dwikora , dan menuntut untuk menurunkan harga pangan. Rentetan demonstrasi yang terjadi menyuarakan Tritura akhirnya diikuti keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno yang memerintahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.Â
Baca supersemar selengkapnya  http://sejarahri.com/supersemar-sejarah-yang-menjadi-rahasia/.Â
Tetapi, jiwa kritis pada para pemuda khususnya Mahasiswa ini belumlah redam. Dimasa pemerintahan Orde Baru kekuasaan Presiden Soeharto, mereka terus melancarkan aksi kritikan dan protes keras terhadap pemerintahan yang korup. Meskipun kadang beberapa dari mereka yang meng-kritik akan diintimidasi, hilang entah kemana atau dipenjarakan dengan status tahanan politik.Â
Puncak perjuangan Mahasiwa pada Orde Baru ini terjadi pada tahun 1998 dimana krisis ekonomi dan terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia pada tanggal 11 Maret 1998 meledakkan peristiwa yang disebut sebagai Tragedi Reformasi 1998 hingga menjadi sorotan dunia. Puluhan ribu mahasiswa dari berbagai daerah turun kejalanan ibukota bahkan sempat menduduki gedung MPR untuk menuntut agar diturunkannya Presiden Soeharto dan mengadakan pemilihan ulang.Â
Tragedi Reformasi ini terjadi sepanjang tahun 1998 menjadi catatan sejarah perjuangan para pemuda dan mahasiswa Indonesia untuk mewujudkan demokrasi sesuai cita cita bangsa.Â
Baca sejarah Reformasi selengkapnya https://www.idntimes.com/news/indonesia/uni-lubis/kronologi-reformasi-mei-1998-terjungkalnya-kekuasaan-soeharto-1
Berdasarkan latar belakang sejarah panjang perjuangan pemuda dan mahasiswa Indonesia. Lantas, dewasa ini faktor apa yang mempengaruhi berkurangnya nalar kritis pada mahasiswa ? Bagaimana solusi untuk membangun kembali nalar kritis mahasiswa tersebut ?
Puluhan tahun berlalu, kekuasan berubah , zaman berubah, teknologi berkembang. Dimana mahasiswa sebelumnya tidak terpapar dengan kenikmatan teknologi berubah menjadi mahasiwa yang telah bergantung dengan teknologi. Apakah teknologi ini salah ? Teknologi memang dapat memudahkan manusia di zaman yang modern seperti ini jika digunakan dengan baik dan bijak. Tetapi, saat ini teknologi bagaikan racun yang mematikan bagi generasi muda Indonesia.
 Mereka tidak lagi duduk berdiskusi tentang bangsa ini, melainkan mereka duduk membahas apapun tentang media sosial bahkan mereka sibuk dengan game yang tersaji di smartphone mereka. Sedangkan bangsa ini tetap membutuhkan kaum intelektual seperti mahasiswa dan pemuda yang kritis untuk membangun bangsa.Â
Mereka seperti telah melupakan Bangunlah jiwanya , bangunlah badannya untuk Indonesia Raya , dalam artian membangun manusia Indonesia bukan hanya membangun badannya (fisik) saja, tetapi seharusnya juga membangun jiwanya (ruh dan semangat pelakunya) untuk kemajuan dan kebesaran Indonesia Raya.Â
Kaum intelektual tidak seharusnya tunduk pada kekuasaan, mereka harus kritis agar dialektika dapat terjadi, tesis dan antitesis bermunculan. Dengan nalar kritis, muncul lah berbagai sudut pandang mengenai kebijakan kebijakan yang telah diperbuat pemerintah, dengan tujuan untuk membangun bangsa ini.Â
Karena pada dasarnya kritik itu membangun, bagaimana negara ini bisa bangun dari keterpurukan jika rakyat bahkan kaum intelektualnya hanya tunduk pada kekuasaan.Â
Dewasa ini, solusi untuk membangun jiwa nasionalisme para pemuda khususnya dikalangan mahasiswa sebagai kaum intelektual tidaklah mudah. Mereka lebih senang berkecimpung di dunia maya dan bermain game ketimbang meningkatkan daya kritis mereka dengan berliterasi. Karena sesuai dengan cita cita bangsa yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945Â memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.Â
Membaca merupakan salah satu cara untuk meningkatkan literasi, dengan daya literasi yang tinggi secara tidak langsung pemahaman mereka akan segala persoalan akan bangkit sehingga dapat timbul nalar kritis terhadap persoalan tersebut. Literasi juga dapat menangkal penyebaran berita hoax yang marak pada saat ini, berita hoax sangat mudah menyebar di media sosial akibat rendahnya kemampuan berliterasi.Â
Dengan minat membaca yang tinggi, maka ketika mendapat informasi, mereka akan mencari tau terlebih dahulu sumber kebenaran informasi tersebut dan dapat menyimpulkan sendiri apa sebenarnya maksud dari informasi tersebut, bahkan mereka akan meng-kritik informasi tersebut jika mereka menganggap itu tidak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan, maka timbulah nalar kritis itu.Â
Kalangan Mahasiswa pada saat ini memang krisis nalar kritis, bagaimana kita dapat memajukan kesejahteraan umum dan membangun suatu bangsa jika jiwa kritis para pemuda dan terutama di kalangan mahasiswa sangatlah minim.Â
Sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya kemana semangat jiwa nasionalisme mahasiswa saat ini, apakah mereka para mahasiswa tertidur pulas dalam kenikmatan teknologi, maka ini saatnya mahasiswa bangun. Kritiklah sesuatu jika memang pantas di kritik, jangan hanya bungkam pada penindasan. Bungkam pada penindasan merupakan pengkhianatan terbesar kaum intelektual.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H