Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sistem demokrasi yang sedang berlaku di negeri ini jelas perlu disyukuri. Yang kurang dalam sistem ini, perlu terus disempurnakan. Praktik-praktik politik yang dianggap menyimpang, kurang etis atau menyalahi aturan, tentu perlu dikritik.
Sementara, yang sudah berjalan baik, perlu terus ditingkatkan. Kritik adalah pupuk bagi kemajuan sistem apa pun, termasuk sistem politik. Jika kritik dihambat, maka hilanglah kesempatan bagi sistem itu untuk memperbaiki diri sendiri.
Meski demikian, kita tidak boleh terjerembap dalam detail pohon, lalu lupa pada keluasan hutan. Kita tidak boleh lupa pada gambar besar, bahwa kita hidup di negeri yang relatif demokratis. Berkat demokrasi inilah kita dianugerahi nikmat yang luar biasa, yaitu pemilu yang dilangsungkan secara langsung oleh rakyat. Dengan segala kekurangannya, jelas pemilu yang kita miliki saat ini jauh lebih baik dari segi kualitasnya dibandingkan dengan pemilu-pemilu lampau di zaman Orde Baru.
Kita tahu semua, fungsi pemilu pada saat itu hanya sebatas ‘stempel politik’ saja bagi kekuasaan. Tak lebih, tak kurang. Jangan sampai pemilu kita hari ini terjatuh pada kesalahan serupa. Jangan sampai pemilu dimerosotkan kembali sebagai stempel saja. Akan tetapi, di sisi lain, pemilu harap dilihat bukan semata-mata sebagai pemilu saja, dilepaskan dari gambar besarnya.
Pemilu hanyalah wasilahatau sarana saja untuk meraih “al-maqshad al-a’dzam” alias tujuan besar: yaitu negara Indonesia yang bineka, melindungi semua, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Ada bahkan mungkin banyak politisi yang terlibat dalam kompetisi politik, terkurung dalam tujuan-tujuan kecil untuk memenangkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, seraya melupakan gambar besar ini. Bahasa pesantrennya: “al-ghayah tubarrir al-wasa’il”, tujuan menghalalkan cara. Ini adalah tindakan politik yang kerdil. Tindakan politisi yang kerdil seperti ini, aneh bin ajaibnya, diikuti pula oleh sebagian para pendukung dan penyorak politik dengan cara memberikan dukungan yang kerdil pula.
Saat ini, Republik berada dalam kegentingan. Keutamaan publik (public virtue), yang menjadi spirit utama Republik, telah diabaikan demi kepentingan pribadi. Spirit Republik menjadi pudar dan bahkan hilang dalam kuasa manusia yang berjiwa kerdil. Dalam Demokrasi Kita (1960), saat merujuk pujangga Jerman, Johann CF von Schiller (1759-1805), ”tetapi masa besar itu menemui manusia kerdil.” Dikuatkan kata pendiri dan Proklamator Republik Mohammad Hatta (1902-1980), ”Suatu masa yang besar telah dilahirkan oleh abad,” Apa yang menjadi kekhawatiran Hatta di masa silam terbukti benar pada hari-hari ini ketika Republik modern justru dikendalikan oleh manusia yang berjiwa kerdil.
Ketika mengelola kekuasaan, sekalipun dalam negara Republik yang demokratis, manusia kerdil tidak menjadi seorang pemimpin demokrat. Ia menjadi apa yang diistilahkan Daniel Chirot (1994) sebagai tiran modern. Ia bertindak melawan impian para pendiri Republik.
Perhatikanlah, wahai pemimpin kerdil, tentang impian pendiri dan Proklamator Republik Indonesia Soekarno. Bahwa negara Indonesia merdeka didirikan berbasis pada prinsip kesetaraan untuk semua. Impian Republik ini termaktub secara jelas dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945: ”Kita hendak mendirikan suatu negara, semua untuk semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua.”
Tragisnya, penyelenggaraan negara saat ini menarik Republik ke titik nadir. Perilaku pemimpin kerdil membunuh spirit Republik dan berkhianat pada warisan mulia pendirinya. Ia mengubah Republik untuk semua menjadi Republik untuk kepentingan satu orang, satu golongan, dan satu keluarga. Republik yang telah diselewengkan melalui pertunjukan kekuasaan yang absolut sama sekali bukanlah Republik yang diimpikan pendirinya. Kekuasaan yang absolut menggunakan instrumen hukum sebagai lisensi untuk merawat dan mempertahankan kekuasaan yang melayani kepentingan satu orang dan satu keluarga.
Politik sifatnya dinamis. Apa yang terjadi hari ini belum tentu sama esok harinya. Mereka yang memperlakukan politik seperti barang padat yang ”keset” akan mudah kewirangan (malu) dan kecelik (kecele). Konon, kata para ahli, politik adalah seni segala kemungkinan. Tetapi, sebagian para penyorak dan pendukung dalam kompetisi politik malah memperlakukannya sebagai seni sebuah kepastian.
Padahal, sejak awal pendirian Republik, Hatta tidak memberikan ruang sedikit pun terhadap kemungkinan munculnya kekuasaan yang absolut pada negara. Negara kekuasaan pun ditolak secara tegas. Hatta memilih negara republik yang berdasar atas hukum, sesuai dengan penjelasan UUD 1945 yang asli.
Dengan pemerintahan Republik berdasar atas konstitusi, Hatta menyadari bahaya kekuasaan yang bisa mengubah karakter manusia. Inilah kerisauan Hajriyanto Y Thohari (2021): ”Hatta memahami psikologi manusia yang berkuasa. Kekuasaan itu terbukti bisa mengubah sikap dan karakter manusia. Seorang yang antikolusi dan antinepotisme, begitu memegang kekuasaan, berubah menjadi kolutif dan nepotis.”
Kekhawatiran Hatta terbukti benar pada penyelenggaraan Republik saat ini yang hadir tanpa keutamaan publik karena Republik diselewengkan sekadar untuk melayani nepotisme kekuasaan. Melalui pendekatan kekuasaan yang absolut dan tanpa oposisi yang kritis, hukum dan hakim hanya diperalat untuk melayani kepentingan satu orang dan satu keluarga. Inilah skandal keadilan terbesar dalam sejarah Republik Indonesia modern. Konstitusi dirobek-robek untuk melayani nepotisme kekuasaan yang pongah. Republik yang dipakai untuk mengutamakan kepentingan kekuasaan satu orang dan satu keluarga bukan lagi pantas disebut sebagai Republik yang diwariskan pendirinya.
Republik hari-hari ini berjalan tanpa keutamaan publik. Padahal, sesuai amanah Soekarno, Republik harus ditegakkan melalui pembangunan karakter bangsa. Kejayaan bangsa Indonesia tidak saja bergantung pada pembangunan institusi-institusi modern secara maju, tetapi juga terkait langsung dengan pembangunan nilai, moral, dan karakter bangsa. Para pendiri Republik ini menyadari betul bahwa kejayaan Republik Indonesia ditentukan pada perilaku etis dan moral.
Para pendiri negara ini telah meninggalkan warisan penting bagi generasi sekarang, yaitu sikap-sikap politik yang selalu menempatkan kepentingan negara dan rakyat di atas segala-galanya. Inilah kebalikan dari kekerdilan politik yang kita lihat di sebagian kalangan hari-hari ini. Generasi pendiri negara ini memang tidak mewariskan negeri dengan kelimpahan materi. Tetapi, mereka mewariskan sebuah sikap dan perilaku yang bersifat teladan. Warisan ini perlu terus dijaga agar kita tetap bisa waras sebagai bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H