Mohon tunggu...
Rahmat Asmayadi
Rahmat Asmayadi Mohon Tunggu... Guru - Pendaki ⛰

Pengajar💡 yang suka ngeblog✏, jejaring sosial, bola⚽, jalan-jalan, hobi dengan gadget dan teknologi📲~

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jangan Berlebihan Menemukan Kembali Indonesia

2 Januari 2025   10:10 Diperbarui: 2 Januari 2025   10:09 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Nusantara (sumber : pos rakyat/images.app.goo.gl)

Politik sifatnya dinamis. Apa yang terjadi hari ini belum tentu sama esok harinya. Mereka yang memperlakukan politik seperti barang padat yang ”keset” akan mudah kewirangan (malu) dan kecelik (kecele). Konon, kata para ahli, politik adalah seni segala kemungkinan. Tetapi, sebagian para penyorak dan pendukung dalam kompetisi politik malah memperlakukannya sebagai seni sebuah kepastian.

Padahal, sejak awal pendirian Republik, Hatta tidak memberikan ruang sedikit pun terhadap kemungkinan munculnya kekuasaan yang absolut pada negara. Negara kekuasaan pun ditolak secara tegas. Hatta memilih negara republik yang berdasar atas hukum, sesuai dengan penjelasan UUD 1945 yang asli.

Dengan pemerintahan Republik berdasar atas konstitusi, Hatta menyadari bahaya kekuasaan yang bisa mengubah karakter manusia. Inilah kerisauan Hajriyanto Y Thohari (2021): ”Hatta memahami psikologi manusia yang berkuasa. Kekuasaan itu terbukti bisa mengubah sikap dan karakter manusia. Seorang yang antikolusi dan antinepotisme, begitu memegang kekuasaan, berubah menjadi kolutif dan nepotis.”

Kekhawatiran Hatta terbukti benar pada penyelenggaraan Republik saat ini yang hadir tanpa keutamaan publik karena Republik diselewengkan sekadar untuk melayani nepotisme kekuasaan. Melalui pendekatan kekuasaan yang absolut dan tanpa oposisi yang kritis, hukum dan hakim hanya diperalat untuk melayani kepentingan satu orang dan satu keluarga. Inilah skandal keadilan terbesar dalam sejarah Republik Indonesia modern. Konstitusi dirobek-robek untuk melayani nepotisme kekuasaan yang pongah. Republik yang dipakai untuk mengutamakan kepentingan kekuasaan satu orang dan satu keluarga bukan lagi pantas disebut sebagai Republik yang diwariskan pendirinya.

Republik hari-hari ini berjalan tanpa keutamaan publik. Padahal, sesuai amanah Soekarno, Republik harus ditegakkan melalui pembangunan karakter bangsa. Kejayaan bangsa Indonesia tidak saja bergantung pada pembangunan institusi-institusi modern secara maju, tetapi juga terkait langsung dengan pembangunan nilai, moral, dan karakter bangsa. Para pendiri Republik ini menyadari betul bahwa kejayaan Republik Indonesia ditentukan pada perilaku etis dan moral.

Para pendiri negara ini telah meninggalkan warisan penting bagi generasi sekarang, yaitu sikap-sikap politik yang selalu menempatkan kepentingan negara dan rakyat di atas segala-galanya. Inilah kebalikan dari kekerdilan politik yang kita lihat di sebagian kalangan hari-hari ini. Generasi pendiri negara ini memang tidak mewariskan negeri dengan kelimpahan materi. Tetapi, mereka mewariskan sebuah sikap dan perilaku yang bersifat teladan. Warisan ini perlu terus dijaga agar kita tetap bisa waras sebagai bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun