Mohon tunggu...
Rahmat Asmayadi
Rahmat Asmayadi Mohon Tunggu... Guru - Pendaki ⛰

Pengajar💡 yang suka ngeblog✏, jejaring sosial, bola⚽, jalan-jalan, hobi dengan gadget dan teknologi📲~

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jangan Berlebihan Menemukan Kembali Indonesia

2 Januari 2025   10:10 Diperbarui: 2 Januari 2025   10:09 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Nusantara (sumber : pos rakyat/images.app.goo.gl)

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sistem demokrasi yang sedang berlaku di negeri ini jelas perlu disyukuri. Yang kurang dalam sistem ini, perlu terus disempurnakan. Praktik-praktik politik yang dianggap menyimpang, kurang etis atau menyalahi aturan, tentu perlu dikritik.

Sementara, yang sudah berjalan baik, perlu terus ditingkatkan. Kritik adalah pupuk bagi kemajuan sistem apa pun, termasuk sistem politik. Jika kritik dihambat, maka hilanglah kesempatan bagi sistem itu untuk memperbaiki diri sendiri.

Meski demikian, kita tidak boleh terjerembap dalam detail pohon, lalu lupa pada keluasan hutan. Kita tidak boleh lupa pada gambar besar, bahwa kita hidup di negeri yang relatif demokratis. Berkat demokrasi inilah kita dianugerahi nikmat yang luar biasa, yaitu pemilu yang dilangsungkan secara langsung oleh rakyat. Dengan segala kekurangannya, jelas pemilu yang kita miliki saat ini jauh lebih baik dari segi kualitasnya dibandingkan dengan pemilu-pemilu lampau di zaman Orde Baru.

Kita tahu semua, fungsi pemilu pada saat itu hanya sebatas ‘stempel politik’ saja bagi kekuasaan. Tak lebih, tak kurang. Jangan sampai pemilu kita hari ini terjatuh pada kesalahan serupa. Jangan sampai pemilu dimerosotkan kembali sebagai stempel saja. Akan tetapi, di sisi lain, pemilu harap dilihat bukan semata-mata sebagai pemilu saja, dilepaskan dari gambar besarnya.

Pemilu hanyalah wasilahatau sarana saja untuk meraih “al-maqshad al-a’dzam” alias tujuan besar: yaitu negara Indonesia yang bineka, melindungi semua, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Ada bahkan mungkin banyak politisi yang terlibat dalam kompetisi politik, terkurung dalam tujuan-tujuan kecil untuk memenangkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, seraya melupakan gambar besar ini. Bahasa pesantrennya: “al-ghayah tubarrir al-wasa’il”, tujuan menghalalkan cara. Ini adalah tindakan politik yang kerdil. Tindakan politisi yang kerdil seperti ini, aneh bin ajaibnya, diikuti pula oleh sebagian para pendukung dan penyorak politik dengan cara memberikan dukungan yang kerdil pula.

Saat ini, Republik berada dalam kegentingan. Keutamaan publik (public virtue), yang menjadi spirit utama Republik, telah diabaikan demi kepentingan pribadi. Spirit Republik menjadi pudar dan bahkan hilang dalam kuasa manusia yang berjiwa kerdil. Dalam Demokrasi Kita (1960), saat merujuk pujangga Jerman, Johann CF von Schiller (1759-1805), ”tetapi masa besar itu menemui manusia kerdil.” Dikuatkan kata pendiri dan Proklamator Republik Mohammad Hatta (1902-1980), ”Suatu masa yang besar telah dilahirkan oleh abad,” Apa yang menjadi kekhawatiran Hatta di masa silam terbukti benar pada hari-hari ini ketika Republik modern justru dikendalikan oleh manusia yang berjiwa kerdil.

Ketika mengelola kekuasaan, sekalipun dalam negara Republik yang demokratis, manusia kerdil tidak menjadi seorang pemimpin demokrat. Ia menjadi apa yang diistilahkan Daniel Chirot (1994) sebagai tiran modern. Ia bertindak melawan impian para pendiri Republik.

Perhatikanlah, wahai pemimpin kerdil, tentang impian pendiri dan Proklamator Republik Indonesia Soekarno. Bahwa negara Indonesia merdeka didirikan berbasis pada prinsip kesetaraan untuk semua. Impian Republik ini termaktub secara jelas dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945: ”Kita hendak mendirikan suatu negara, semua untuk semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua.”

Tragisnya, penyelenggaraan negara saat ini menarik Republik ke titik nadir. Perilaku pemimpin kerdil membunuh spirit Republik dan berkhianat pada warisan mulia pendirinya. Ia mengubah Republik untuk semua menjadi Republik untuk kepentingan satu orang, satu golongan, dan satu keluarga. Republik yang telah diselewengkan melalui pertunjukan kekuasaan yang absolut sama sekali bukanlah Republik yang diimpikan pendirinya. Kekuasaan yang absolut menggunakan instrumen hukum sebagai lisensi untuk merawat dan mempertahankan kekuasaan yang melayani kepentingan satu orang dan satu keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun