Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Peran Psikologi dalam Perkembangan Konstitusi di Indonesia agar Hukum Lebih Memanusiakan Manusia

11 Juli 2023   10:49 Diperbarui: 11 Juli 2023   10:53 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi harapan kita agar hukum dapat memanusiakan manusia. Namun terlebih dahulu semestinya kita lebih tahu bagaimana manusia itu dan lebih dalam lagi menelaah jiwa manusia itu. Setelah memahami inti manusia, yakni jiwanya maka kita dapat merancang hukum bukan hanya untuk menindas namun juga menjadikan manusia sebagai manusia.

Psikologi sebagai ilmu jiwa jelas memiliki peran yang sangat penting bagi terbentuknya hukum yang memanusiakan manusia ini. Bukan hanya pada bidang legal psychology dan psikologi forensik sebagai tombak psikologi di bidang hukum namun secara luas psikologi dapat memberikan sumbangsih bagi konstitusi di Indonesia.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang berperan aktif dalam menegakkan prinsip konstitusi di Indonesia seharusnya dapat menggandeng para pakar psikologi tidak hanya pakar hukum dalam meraih pendekatan hukum yang lebih manusiawi.

Lalu apa harapan bagi peran psikologi pada perkembangan konstitusi di Indonesia? Bagaimana psikologi dapat memanusiakan manusia? Simak ulasannya.

Hukum yang Tidak Mengekang Potensi Kepribadian

"Hukum adalah alat rekayasa sosial", begitu kata Henry Ward Beecher. Hukum dimaknai sebagai alat yang mengatur, memaksa, dan bahkan mengekang seseorang. Kita mesti tahu bahwa alasan hukum memperlakukan manusia demikian karena harus menjaga keadilan dan keamanan manusia tersebut.

Beberapa dari kita mesti setuju bahwa hukum adalah perwujudan kepentingan orang banyak. Namun hukum juga terkadang memukul rata semua orang dan memang benar adanya bahwa semua sama di mata hukum karena ilusi keadilan adalah melihat semua orang sama. Padahal sebenarnya setiap orang tidak sama dan unik.

Keadilan bukan berarti menyamaratakan semua manusia berikut juga kepribadiannya sehingga dia mesti di hukum sama. Akibat dari hukum yang terlalu kaku menyamaratakan inilah setiap potensi kepribadian yang muncul sebagai perilaku yang unik dipandang sebagai bentuk kriminal.

Terlebih dahulu kita harus tahu bahwa yang kita maksud adalah hukum-hukum yang secara langsung tidak mengambil hak seseorang tapi hukum ini merenggut hak si tertuduh atas dasar norma. Potensi kepribadian yang dimiliki oleh si tertuduh pada akhirnya tidak dapat dimaksimalkan dengan baik.

Dalam hal ini memang hukum dibentuk dari landasan yuridis yang didasarkan pada etika. Jika meminjam konsep dari Erich Fromm dalam buku Man for Himself-nya, terdapat dua jenis etika yaitu etika yang humanis dan etika yang otoriter. 

Etika humanis berasal dari manusia sebagai penyusun dan pelaksananya sedangkan etika otoriter berasal dari kekuatan otoritas tertentu yang tidak berperan melaksanakan dan hanya mengatur saja.

Sebaiknya etika humanis dipakai sebagai landasan yuridis ketimbang etika otoriter. Memang kita ketahui bahwa pemerintah harus menundukkan rakyatnya jika sistem pemerintahan mau berjalan dengan baik. Setiap rakyat yang mengganggu dan tidak sama seperti apa yang pemerintah inginkan harus di pukul rata.

Namun yang perlu kita ketahui lagi adalah jika potensi-potensi ini tidak diberikan tempat yang sesuai maka dorongan dari potensi tersebut akan masuk ke perilaku yang merusak baik diri orang tersebut maupun orang lain. Hal tersebut seperti yang dikatakan Erich Fromm dalam bukunya berjudul Akar Kekerasan:

"Kekerasan berasal dari ditahannya potensi-potensi manusia dimana dia dapat mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang lebih baik".

Aksi Kriminal Dapat Berasal dari Hukum Itu Sendiri

Hukum kadang tidak membuat seseorang bebas dari tindak kriminal namun terkadang hukum menjadi sebuah mesin pencipta para kriminal. Dengan adanya hukum tertentu membuat perilaku tertentu yang dilarang hukum tersebut sebagai sebuah tindak kriminal.

Apabila perilaku yang dilarang oleh hukum tersebut adalah murni dari potensi kepribadiannya maka sama saja hukum adalah alat pencipta kriminal. Bisa jadi pula jika perilaku yang dianggap kriminal ini akan tertahan dan menimbulkan suatu agresi dari dalam maupun luar seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Maka oleh karena itu hukum harus dipertimbangkan secara matang dalam mengatur manusia. Hukum harus membuat manusia menjadi manusia dan tidak memperlakukannya sebagai objek hukum. Dengan mengetahui berbagai aspek, dorongan, dan juga perilaku psikologis hendaknya kita mampu membuat hukum ideal.

Lalu seperti apa hukum yang lebih ideal didasari oleh ilmu psikologi?

Hukum yang Membuat Rasa Aman dan Tidak Terasing

Hukum yang sejatinya layak untuk perkembangan psikologis seseorang terletak pada bagaimana orang tersebut mendapatkan rasa aman dan juga tidak merasa terasing dari masyarakat. Saat ini kita banyak mengetahui bahwa hukum banyak diselewengkan untuk membuat seseorang terkotak-kotak.

Orang harus masuk dalam kotak yang harus disediakan pemerintah baik itu dalam kotak agama maupun ras, kita tidak boleh saling bersentuhan dan mengekspresikan diri diluar kotak-kotak yang telah didefinisikan oleh pemerintah adalah terlarang. Pada akhirnya kita kehilangan rasa aman berekspresi dan berkembang.

Ini juga adalah sebuah ironi dimana hukum yang harusnya menjadi sebuah instrumen pemberi rasa aman malah merenggut rasa aman itu sendiri. Dalam konsep filsafatnya Michel Foucault kita dapat meminjam kata Panoptisisme sebagai kondisi yang menggambarkan ini semua. Memang secara sadar kita tidak melihat kekuasaan otoriter yang nyata akan tetapi kita tertahan oleh sesuatu kekuasaan tak kasat mata.

Panoptisisme inilah merupakan sebuah produk dari hukum yang kasat mata. Walaupun beberapa hukum memberikan keadilan namun pada kenyataannya yang didakwa adalah orang-orang lemah yang mencoba berbuat benar sesuai perkembangan psikologisnya. Pada akhirnya hukum membuat individu yang satu dengan yang lain menjadi asing.

Aspek hukum yang ideal selanjutnya adalah agar hukum tidak membuat seseorang merasa asing di dunianya. Dampak dari hukum yang membuat tidak merasa aman ini juga memberi orang rasa asing untuk menjalin suatu hubungan dengan dunia luar. Semakin asing manusia dengan dunianya maka semakin asing pula dia dengan dirinya sendiri.

Hukum yang paling baik harusnya dapat memberikan rasa aman dan juga menghilangkan rasa keterasingan. Dengan mengetahui dua hal itu dahulu sebenarnya konstitusi di Indonesia mampu berkembang menjadi hukum yang memanusiakan manusia. Hukum yang menjadikan manusia menjadi seorang manusia.

Memang bukan perkara mudah, namun dimulai dari harapan berbentuk tulisan inilah kita dapat membangun peradaban konstitusi ke arah yang lebih baik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun