Orang harus masuk dalam kotak yang harus disediakan pemerintah baik itu dalam kotak agama maupun ras, kita tidak boleh saling bersentuhan dan mengekspresikan diri diluar kotak-kotak yang telah didefinisikan oleh pemerintah adalah terlarang. Pada akhirnya kita kehilangan rasa aman berekspresi dan berkembang.
Ini juga adalah sebuah ironi dimana hukum yang harusnya menjadi sebuah instrumen pemberi rasa aman malah merenggut rasa aman itu sendiri. Dalam konsep filsafatnya Michel Foucault kita dapat meminjam kata Panoptisisme sebagai kondisi yang menggambarkan ini semua. Memang secara sadar kita tidak melihat kekuasaan otoriter yang nyata akan tetapi kita tertahan oleh sesuatu kekuasaan tak kasat mata.
Panoptisisme inilah merupakan sebuah produk dari hukum yang kasat mata. Walaupun beberapa hukum memberikan keadilan namun pada kenyataannya yang didakwa adalah orang-orang lemah yang mencoba berbuat benar sesuai perkembangan psikologisnya. Pada akhirnya hukum membuat individu yang satu dengan yang lain menjadi asing.
Aspek hukum yang ideal selanjutnya adalah agar hukum tidak membuat seseorang merasa asing di dunianya. Dampak dari hukum yang membuat tidak merasa aman ini juga memberi orang rasa asing untuk menjalin suatu hubungan dengan dunia luar. Semakin asing manusia dengan dunianya maka semakin asing pula dia dengan dirinya sendiri.
Hukum yang paling baik harusnya dapat memberikan rasa aman dan juga menghilangkan rasa keterasingan. Dengan mengetahui dua hal itu dahulu sebenarnya konstitusi di Indonesia mampu berkembang menjadi hukum yang memanusiakan manusia. Hukum yang menjadikan manusia menjadi seorang manusia.
Memang bukan perkara mudah, namun dimulai dari harapan berbentuk tulisan inilah kita dapat membangun peradaban konstitusi ke arah yang lebih baik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H