Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengulik Narsisme Mahasiswa Kiri Bersemester Dua Digit

28 Juni 2023   01:43 Diperbarui: 28 Juni 2023   01:51 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Pixabay.com

"Lu punya duit, lu punya kuasa. Tapi buat gua ngga nyet.", Jawab seorang abang-abangan berambut gondrong (diduga mahasiswa semester dua digit).

"Oke", jawab teman abang-abangan ini mengiyakan.

"Ibaratnya gua bermateri lawan orang yang bermateri. Bisa jadi gua menang...soal pemikiran", lanjut abang-abang ini dengan sangat filosofis.

Itulah beberapa cuplikan dari salah satu video podcast yang sempat viral akhir-akhir ini. Sebenarnya yang dikatakan si abang-abang tadi ada benarnya tapi banyak juga yang melihat hal ini norak. Memang yang disampaikan terlihat filosofis tapi sebenarnya biasa-biasa saja dan hanya dibumbui kata-kata kasar agar lebih edgy.

Stereotip mahasiswa kiri yang doyan filsafat dan berambut gondrong juga melekat pada figur ini. Mahasiswa yang skripsinya belum digarap dan sudah menjadi donatur tetap bahkan hantu penunggu kampus bisa kalah sepuh daripada mereka. Orang yang hanya baca sampai kata pengantar buku Madilog dari Tan Malaka dan seolah-olah sudah tahu segala hal tentang filsafat.

Orang-orang tersebut memang sepertinya ada setiap kampus dan layak diulik sifat narsisme mereka. Tapi alangkah baiknya kita kerucutkan dahulu pengertian subjek kita ini agar tidak ada kesalahpahaman dan tidak melebar kemana-mana.

Mahasiswa kiri semester akhir yang doyan filsafat

Orang yang kita maksud adalah para mahasiswa yang sudah melampaui dua digit semester namun skripsinya tidak ada kemajuan. Bukan karena cuti sakit atau kerja tapi hanya menutupi kemalasan mereka dengan nongkrong dan berpikir bahwa dirinya cukup keren memikirkan berbagai seluk beluk filsafat alih-alih memikirkan skripsinya.

Entah kenapa kebanyakan penampilannya agak-agak mirip dengan rambut gondrong dan rokok ditangan. Kebanyakan mereka adalah laki-laki, sangat jarang ditemui perempuan. 

Sering nongkrong di kantin kampus tapi tidak mengerjakan skripsi hanya basa-basi memikirkan kehidupan dengan filosofis khas mahasiswa kiri, tentu dengan ciri bahasa kasar diakhir argumen.

Memang ada dari mereka yang benar-benar paham dengan filsafat tapi ada juga yang merasa sok tahu dengan hal itu. Dengan berbekal baca buku Dunia Sophie tak sampai habis maka dia merasa mampu membicarakan filsafat, bahkan buka podcast. 

Sebenarnya mengapa ada rasa edgy dalam diri mereka, mahasiswa kiri semester dua digit yang doyan filsafat?

Narsisme dan Inferioritas

Narsisme bisa jadi adalah penyebab mengapa mereka merasa paling oke dan paling mengerti tentang filsafat. Dibarengi dengan adanya Dunning-Kruger Effect membuat mereka merasa pantas menjelaskan berbagai hal, overestimate dirilah pokoknya. Mereka ingin dilihat bahwa dengan membicarakan hal-hal rumit seperti filsafat, mereka bisa dianggap.

Rasa idealis mereka berkata bahwa semua yang tidak sependapat dengan mereka harus dilawan. Mereka membelot dari apa yang semestinya dan karena itu mereka memilih jalan kiri dengan harapan dapat sekeren Soe Hok Gie tapi sayangnya mereka malas membaca dan berpikir hingga yang ada pada mereka cuma rasa narsis belaka. "Tong kosong nyaring bunyinya", jika dijelaskan dengan pribahasa.

Mungkin juga ini timbul dari rasa inferioritas mereka karena tak kunjung menyelesaikan skripsi. Mereka tak ingin dianggap bodoh karena skripsi yang tak kunjung di-ACC dosen pembimbing sehingga muncullah suatu inisiatif untuk mendalami filsafat dan membicarakannya di setiap waktu.

Apa kelak saya seperti itu?

Dua bulan ke depan saya sudah memasuki semester 5 dan yang berarti dua semester lagi saya mungkin ada di fase seperti mereka. Memang nilai-nilai saya aman-aman saja tapi tidak menutup kemungkinan bahwa saya jadi lebih filosofis ketika mengerjakan skripsi, terlebih jika sering dapet revisi.

Tulisan ini bisa jadi membuat saya menjilat ludah sendiri ketika tiba-tiba mendadak lebih filosofis dan memanjangkan rambut hingga gondrong. Tapi tidak masalah sebenarnya, daripada pusing skripsi lebih baik menjadi filsuf kampus.                                            

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun