Berita resesi seks yang berpotensi terjadi di Indonesia sangat banyak diperbincangkan. Walaupun masih lama akan terjadi, kondisi yang telah dialami Jepang dan Korsel ini menjadi suatu titik balik bagi perubahan demografi di Indonesia.
 Resesi seks diartikan sebagai kondisi di mana seseorang atau pasangan yang enggan memiliki anak atau memiliki sedikit anak.
Kalau kita merunut katanya dari kata "resesi" yang berarti kelesuan atau kemunduran jika disandingkan dengan kata "seks", maka sebenarnya kebutuhan seks sebenarnya tidak berkurang walau bagaimanapun juga dampak dari ekonomi, sosial, politik atau apapun karena itu kebutuhan biologis manusia.
Menurut pendapat saya bukan seks yang ter-resesi namun seks yang mungkin teralienasi, meminjam kata alienasi dari marxisme.Â
Seks yang dimaknai sebagai ikatan cinta dan cara untuk menghasilkan keturunan dan lainnya harus terdistorsi karena ekonomi dan kehidupan mekanis dari sistem kapitalis.Â
Mari kita bahas pendapat saya lewat pandangan psikologi terkhusus dari teori Sigmund Frued dan Erich Fromm.
Seks Sebagai Libido dan Kebutuhan Biologis Manusia
Tidak perlu dipungkiri bahwa seks merupakan suatu kebutuhan biologis manusia layaknya makan dan minum. Namun berbeda dengan kedua konsumsi tersebut, seks muncul dari kolaborasi antara stimulus internal dan eksternal dalam diri manusia.Â
Stimulus internal dapat kita lihat dari matangnya organ reproduksi dan stimulus eksternal berasal dari pembelajaran kita pada lingkungan.
Insting seksual adalah salah satu insting eros jika memakai teori psikoanalisis-nya Sigmund Freud, insting yang membuat manusia mempertahakan hidupnya.Â
Lebih jauh lagi, menurut Freud pemuaasan seks pada zona erogenous (zona pemuas rangsangan seksual) dapat meredakan sementara stres atau neurotik.Â
Psikoseksuaal Freud memang sedikit kontroversial terutama saat menyangkut seksualitas pada anak-anak dan oedipus complex (suka kepada ibu atau orang tua sebagai objek seksual).
Dalam teori humanisme Abrahama Maslow khususnya pada konsep Piramida Kebutuhan-nya, memasukan kebutuhan seks sebagai kebutuhan fisiologis yang berada paling dasar pada piramida kebutuhan.Â
Hal tersebut membuat sebelum aktualisasi diri dipenuhi, harus terlebih dahulu terpenuhi kebutuhan fisiologis yang berada paling dasar.
Seks yang Teralienasi
Dalam sejarah manusia seks yang merupakan  suatu kebutuhan bukan suatu yang menjijikan maupun mesum, peradaban telah membuat seks sebagai sesuatu yang mulia ditandai dengan ritual yang bernama pernikahan.Â
Melalui pernikahanlah seks dijaga agar tidak merusak manusia dan menumbuhkan rasa kasih  sayang. Dari situ para penerus peradaban lahir dari hangatnya keluarga yang berasal dari ritual seks tertinggi, pernikahan.
Seks secara normal berkaitan erat dengan cinta, juga dengan hangatnya keluarga, dan upaya untuk mengurus serta membesarkan buah hati. Semua itu memiliki hubungannya dengan seks yang telah direstui peradaban.Â
Agama sebagai fondasi sosial dan peradaban memperkuat ritual-ritual pernikahan bersama dengan sangsi-sangsinya, hal ini menunjukan bagaimana sakralnya seks itu.
Namun dewasa ini kita melihat zaman telah memaksa kita melepas ikatan-ikatan yang ada pada seks dengan cinta, kasih sayang, kekeluargaan dan memiliki anak.Â
Zaman modern memaksa kita memaknai seks sebagai sexual intercourse (hubungan intim) saja tanpa ada kaitannya dengan aspek-aspek yang telah lama diikat peradaban.
Mengenai resesi seks ini dapat kita lihat bagaimana ekonomi menekan berbagai ikatan seks dengan aspek lainnya ke sudut masing-masing. Hanya dengan kekuatan uang, sedikit demi sedikit beberapa aspek itu dengan seks mulai dieratkan.Â
Sistem ekonomi membuat seks makin teralienasi dari rasa cinta dan kekeluargaan. Berbagai aspek ini termasuk seks itu sendiri bisa diperjualbelikan dengan terpisah dan tanpa ada makna di dalamnya.
Perkembangan psikologi yang seharusnya didapatkan baik oleh masa dewasa madya untuk membina keturunan dan oleh dewasa awal untuk membina keintiman (Intimacy dan generativity jika meminjam dari teori psikososial Erik Erikson) jadi tidak dapat dipenuhi. Pemenuhan ini dapat menjadi suatu neurosis bagi tahap perkembangan selanjutnya.
Kesimpulan
Memang dampak yang terakhir ini bersifat hipotesis dan dapat terjadi jika resesi seks berada di titik paling ekstrem namun bukan berarti tidak mungkin mustahil terjadi.Â
Resesi seks seharusnya dapat diimbangi dengan fasilitas dan sistem ekonomi yang memadai bagi para pasangan ataupun seseorang untuk membina rumah tangga.
Memaknai seks bukan hanya kebutuhan sexual intercourse semata namun juga kebutuhan yang berkaitan dengan kasih sayang, kekeluargaan dan membina anak patut dipahami bagi kita agar seks kembali ke tempatnya dan tidak teralienasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H