Fromm tidak setuju akan hal ini dengan mengemukakan bahwa landasan karnivora sekalipun tidak membuktikan agresi merupakan bawaan karena itu merupakan dorongan instrumental pencarian makan.
 Pada bab 8 sekaligus bagian akhir untuk tesis yang menentang istingtifisme ini, kita dijelaskan melalui pendekatan antropologis mengenai agresi pada manusia.Â
Bukti tersebut meliputi ditemukannnya sifat agresi yang minim antara pemburu primitif, lalu juga pada perang primitif melalui penelitian Q.Wright menyatakan bahwa manusia yang paling primitf adalah yang paling tidak suka berperang.
 Hal tersebut dikarenakan masyarakat primitif dan prasejarah tidak punya kepemilikan pribadi yang besar dan bekerja sama dengan komunitasnya.
Perang yang terorganisir baru dicapai ketika terjadi revolusi masyarakat pemburu dan pengumpul makanan menjadi masyarakat perkotaan.Â
Fromm memang tidak menyajikan analisisnya secara statistik namun dia memberikan gambaran bahwa juga terdapat masyarakat primitif yang cinta damai.Â
Melalui analisis tiga puluh suku primitif, Fromm mengkategorikannya menjadi tiga yakni, sistem A yang cinta kehidupan yang diwakilkan oleh suku Indian Zuni, sistem B yang non-destruktif tapi agrsif yang diwakilkan oleh suku Manu, dan terakhir sistem C yang penuh destruktifitas dan diwakilkan oleh suku Dobu.
Kekerasan seperti kanibalisme yang terkadang menjadi indikator dari tindak agresi sebetulnya jarang dilakukan dan dilakukan hanya pada ritual tertentu seperti bukti pada temuan tengkorak Neanderthal di Monte Circeo.Â
Kendati bukan merupakan sebuah motivasi dari dalam diri manusia maka dorongan instingtifis mengenai agresi kedestruktifan dapat diragukan.
Ragam Agresi dan Kedestruktifan Beserta Kondisi-kondisinya
Bagian ketiga buku ini kita dijelaskan berbagai macam agresi beserta beberapa studi kasus mengenainya. Pada bab ke 9 kita akan dijelaskan berbagai agresi lunak yang bersifat defensif dan bawaan. Agresi tersebut tidak dmaksudkan untuk menyiksa atau membunuh namun hanya dipakai untuk pertahanan diri.Â