Dunia psikologi memang tidak lepas dari dualisme faktor yang mempengaruhi perilaku, bawaan (nature) atau lingkungan (nurture) jadi perdebatan yang tidak ada habisnya.Â
Dua faktor tersebut juga mengilhami banyak mazhab psikologi seperti Behaviorisme yang mendasari teorinya dengan lingkungan. Setiap perilaku dapat dikendalikan asal lingkungan yang memberikan stimulus dapat dikendalikan.
Dua konsep behaviorisme yang banyak digunakan yakni classical conditioning dari J.B. Watson dan operant conditioning menurut B.F. Skinner mempengaruhi sebagian besar keilmuan psikologi khususnya di Amerika Serikat.Â
Siapapun yang berhubungan dengan dunia psikologi pasti setuju dengan aliran behaviorisme karena pendekatannya yang lebih empiris dan mudah dipahami.Â
Aliran-aliran lain seperti psikoanalisis atau humanis tampaknya kurang dalam pembuktian ilmiah dan juga masih dibayang-bayangi oleh pendekatan filsafat.
Sebenarnya konsep dari teori behaviorisme sangatlah sederhana, yakni dengan adanya stimulus dari lingkungan akan dihasilkan respons dari individu. Hukumnya pasti jika ada perilaku maka perilaku tersebut berasal dari stimulus dari luar.Â
Tidak ada suatu penyelewengan akan hal tersebut dan itu sudah dianggap hukum pakem atas perilaku. Melalui hal tersebutlah timbul optimisme bahwa segala perilaku dapat dikontrol asal dapat memodifikasi stimulus atau lingkungan.
B.F. Skinner dan Neobehaviorisme-nya
Dalam sejarah perkembangan behaviorisme, kita tidak bisa melupakan sosok B.F. Skinner yang memperbarui konsep dari behaviorisme dari pengkondisian klasik (classical conditioning) yang terpaku pada rekayasa perilaku yang tidak terkondisikan kepada sebuah konsep baru yakni pengkondisian operan-nya (operant conditioning) yang dinilai lebih menitikberatkan pada unsur kognitif manusia.
Dalam pengondisian operannya dapat kita temui bahwa pelestarian dari perilaku tergantung pada pengambilan makna dari si subjek, jika dirasa itu buruk dan menyakitkan maka akan selalu dihindari dan jika dirasa baik dan menyenangkan akan terus diulang.Â
Melalui konsepnya ini membuat para ilmuan yang ragu karena aspek kognitif manusia yang dapat "memilih" bisa dijelaskan.
Namun sangat disayangkan bahwa semua itu masih dikatakan kurang memjelaskan secara memuaskan manusia dengan segala kehebatannya jika perilakunya tidak dapat diinisiasikan dari dalam dirinya.Â
Walaupun begitu bukan berarti semua konsep behaviorisme ini salah kaprah namun terasa sedikit kurang bernafaskan kebebasan dalam teorinya.
Sanggahan dari Erich Fromm atas Behaviorisme yang berujung pada masyarakat sibernetik dan kapitalisme
Erich Fromm sebagai seorang psikoanalisis menyanggah teori behaviorisme dari Skinner. Dalam buku Akar Kekerasan (1973), Fromm merasa bahwa konsep behaviorisme hanya sebuah bukti dari prosedur laboratorium yang subjeknya berasal dari dunia sosial.Â
Seperti kita ketahui bahwa banyak para pendukung behaviorisme yang melakukan uji coba perilaku menggunakan subjek hewan dengan asumsi bahwa perilaku hewan sama dengan manusia dan begitu juga asal muasalnya.
Subjek seperti tikus yang dibawa ke laboratorium dan menerapkan beberapa posedur ilmiah tanpa harus mempertimbangkan bahwa interaksi sosial sangat berbeda jauh dengan penelitian yang ada di laboratorium terlebih memakai hewan sebagai subjeknya.Â
Memang secara saintifik dapat dipercayai bukti empiriknya, namun secara realitas dimana berbagai interaksi sosial berkombinasi dan bersebrangan dalam membentuk perilaku amat sangat susah diterapkan.
Jikalau perilaku memang dapat dikontrol dengan modifikasi lingkungan tersebut maka yang akan terjadi adalah terbentuknya masyarakat sibernetik yang mengandalkan ke praktisan dan juga minim kebebasan.Â
Kita tahu bahwa setiap manusia tidak pernah bebas sepenuhnya namun dengan modifikasi ini seolah mengkerdilkan hasrat manusia sendiri dalam berkembang menjadi lebih baik.
Homo Machina atau manusia mesin merupakan ungkapan yang banyak dikaitkan pada pandangan behaviorisme.
Masyarakat sibernetik yang mungkin sedang kita alami menuntut kita berperilaku dengan sesuai pasar dan juga pengumpulan keuntungan.Â
Sehingga, dalam kaitannya dengan meluasnya sistem permesinan yang menguntungkan ini juga meningkatkan perkembangan kapitalisme walaupun juga dibarengi dengan melesatnya teknologi karena dibangun dari prinsip saintifik.
Peran sains memang tidak lepas dari adanya kebutuhan kapitalisme yang berprinsip pada pengambilan keuntungan.Â
Bayangkan bagaimana keuntungannya jika semua orang dapat dimodifikasikan sehingga perilakunya cocok dengan pasar atau dapat mentaati berbagai aturan produksi, sangat fantastis keuntungannya jika ada yang berniat demikian.
Pengondisian perilaku kita dengan pengambilan keuntungan sebesar-besarnya dapat kita lihat dari ketergantungan kita terhadap gadget, kendaraan, dan lainnya yang bahkan orang yang tidak perlupun jadi terpaksa membelinya.
Masyarakat kita juga sangat gandrung dengan kepraktisan teknologi hingga terkadang lupa esensi dari hidup ini dan terpaku pada pengkondisian terhadap perilaku yang konsumtif.
Masyarakat kita terkagum-kagum akan kecanggihan robot yang menyerupai perilaku manusia sampai mereka lupa bahwa sebenarnya mereka sendiri yang mendekati perilaku robot dan bukannya robot yang mendekati perilaku manusia.
Simpulan
Jika melihat dari keobjektifan konsep behaviorisme memang dapat kita temukan sebuah konsep yang tidak diragukan lagi kebenarannya namun ada yang terlupakan jika kita melihat bahwa segala sesuatu dapat dilihat dari stimulus lingkungan.Â
Kekurangan itu ada pada filosofi dari perkembangan manusia itu sendiri yang harusnya ada "hasrat" dari dalam guna menyeimbangkan keduanya.
Antara motivasi dari luar (nurture) dan juga dari dalam (nature) haruslah memiliki keseimbangan.Â
Teori belajar kognitif dari Albert Bandura, teori humanisme Abraham Maslow, dan juga teori Locus of Control dari Julian Rotter mungkin dapat menengahi perdebatan antara Nature versus Nurture ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI