Mohon tunggu...
R. AMRAN
R. AMRAN Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Saya seorang jurnalis yang memiliki kesenangan menulis cerita dan perjalanan hidup seseorang sebagai inspirasi, selain itu saya selalu terobsesi untuk menggali suara-suara mereka yang kerap terpinggirkan agar dapat terdengar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenggal Malam Bersama Kinan, Bagian 3: Kisah di Balik Senyum

6 November 2024   02:13 Diperbarui: 6 November 2024   02:17 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sampul Kinan/r.amran

 Kisah di Balik Senyum

Malam-malam berikutnya, Kinan semakin membuka diri. Ia tak lagi sekadar bercerita tentang hidupnya yang keras, tetapi juga tentang ketakutan dan kecemasannya yang tak pernah hilang.

Salah satunya adalah kekhawatiran yang mendalam terhadap Ipeh, anak keduanya yang berusia empat tahun dan mengidap penyakit langka yang mengharuskannya menjalani transfusi darah secara rutin. Saat Kinan menceritakan ini, aku melihat kilatan kepedihan yang dalam di matanya.

"Ipeh itu anak yang manis dan kuat, Bang. Tapi setiap kali aku melihat dia tidur, aku merasa sangat takut... takut jika suatu saat aku tak lagi bisa menemaninya berjuang," bisik Kinan dengan suara yang bergetar. Matanya basah, namun ia segera menghapus air matanya, seolah menolak untuk menunjukkan kelemahan.

Aku mendengar ceritanya dengan hati yang terenyuh. Bagaimana Kinan, dalam segala keterbatasannya, berjuang untuk memberikan kehidupan yang layak bagi Ipeh, meskipun ia tahu penyakit anaknya itu tak memiliki pengobatan yang pasti.

Setiap kali mendengar kabar buruk dari dokter, Kinan hanya bisa berdoa dalam hati, berharap ada keajaiban yang mampu menyembuhkan putrinya.

"Setiap kali Ipeh bertanya kenapa ia harus ke rumah sakit terus, kenapa ia tak bisa bermain seperti anak-anak lain, aku selalu menjawab bahwa dia adalah anak yang spesial. Tapi, Bang, di dalam hati... aku merasa begitu rapuh," ucapnya.

"Setiap kali aku melihat wajah polosnya, aku ingin berteriak ke Tuhan, meminta keadilan. Kenapa harus dia yang menderita?"

Kinan terdiam sejenak, suaranya terhenti oleh sesak di dadanya. Aku bisa merasakan beban yang ia pikul, beban yang tak terbayangkan beratnya. Sambil berusaha menahan isak tangis, ia kembali melanjutkan,

"Aku tahu aku tak bisa memberikan banyak untuk mereka, Bang. Tapi aku selalu berusaha menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anakku. Aku ingin mereka tumbuh dengan kekuatan, dengan harapan. Meskipun aku harus menahan rasa sakit setiap kali melihat Ipeh lemah, aku berusaha memberikan mereka senyuman agar mereka merasa aman."

Mendengar itu, aku merasa betapa dalam pengorbanan Kinan. Setiap malam, di balik senyuman dan tawanya, ia menyembunyikan luka yang begitu mendalam. Ia menelan segala cemas dan ketakutannya, hanya demi melihat senyum di wajah anak-anaknya.

"Ipeh seringkali tak mengerti kenapa dia harus minum obat setiap hari. Kadang dia merengek, menolak, dan aku tak punya kekuatan untuk memaksanya. Yang bisa kulakukan hanyalah memeluknya, membisikkan bahwa Ibu akan selalu di sini, tak akan meninggalkannya. Namun, di balik itu semua, Bang, aku selalu dihantui oleh kekhawatiran... apa yang akan terjadi jika aku tak lagi sanggup menyediakan biaya pengobatannya? Jika aku jatuh, siapa yang akan menjaga mereka?"

Aku terdiam mendengarnya. Kinan menjalani hidup dalam kegelapan yang penuh pengorbanan, dan dalam setiap langkahnya ia membawa harapan yang nyaris tak berujung.

Ia berjuang sendiri, mengabaikan dirinya demi anak-anak yang ia cintai, berharap suatu saat mereka akan meraih kebahagiaan yang tak pernah ia dapatkan.

Di tengah keheningan malam itu, aku merasa sebuah ikatan yang kuat dengan Kinan, sebuah ikatan yang tumbuh dari kekaguman akan perjuangannya. Ia bukan sekadar ibu, ia adalah pelindung, seorang pejuang yang tak kenal lelah melawan keterbatasan.

Bagiku, kisah hidupnya adalah cahaya yang memancar dari dalam luka dan kegetiran, mengajarkanku tentang cinta yang tanpa syarat.

Malam itu, saat aku meninggalkan Kinan, aku tahu kisah ini belum selesai. Aku tahu bahwa kisahnya harus didengar oleh dunia. Kinan adalah simbol dari semua perempuan yang berjuang sendirian, yang mencintai tanpa batas, yang rela terjun ke dalam kegelapan demi secercah harapan untuk orang-orang yang mereka sayangi.

---

Bersambung...

Bagian 4: "Menjadi Ayah dan Ibu"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun