Mendengar itu, aku merasa betapa dalam pengorbanan Kinan. Setiap malam, di balik senyuman dan tawanya, ia menyembunyikan luka yang begitu mendalam. Ia menelan segala cemas dan ketakutannya, hanya demi melihat senyum di wajah anak-anaknya.
"Ipeh seringkali tak mengerti kenapa dia harus minum obat setiap hari. Kadang dia merengek, menolak, dan aku tak punya kekuatan untuk memaksanya. Yang bisa kulakukan hanyalah memeluknya, membisikkan bahwa Ibu akan selalu di sini, tak akan meninggalkannya. Namun, di balik itu semua, Bang, aku selalu dihantui oleh kekhawatiran... apa yang akan terjadi jika aku tak lagi sanggup menyediakan biaya pengobatannya? Jika aku jatuh, siapa yang akan menjaga mereka?"
Aku terdiam mendengarnya. Kinan menjalani hidup dalam kegelapan yang penuh pengorbanan, dan dalam setiap langkahnya ia membawa harapan yang nyaris tak berujung.
Ia berjuang sendiri, mengabaikan dirinya demi anak-anak yang ia cintai, berharap suatu saat mereka akan meraih kebahagiaan yang tak pernah ia dapatkan.
Di tengah keheningan malam itu, aku merasa sebuah ikatan yang kuat dengan Kinan, sebuah ikatan yang tumbuh dari kekaguman akan perjuangannya. Ia bukan sekadar ibu, ia adalah pelindung, seorang pejuang yang tak kenal lelah melawan keterbatasan.
Bagiku, kisah hidupnya adalah cahaya yang memancar dari dalam luka dan kegetiran, mengajarkanku tentang cinta yang tanpa syarat.
Malam itu, saat aku meninggalkan Kinan, aku tahu kisah ini belum selesai. Aku tahu bahwa kisahnya harus didengar oleh dunia. Kinan adalah simbol dari semua perempuan yang berjuang sendirian, yang mencintai tanpa batas, yang rela terjun ke dalam kegelapan demi secercah harapan untuk orang-orang yang mereka sayangi.
---
Bersambung...
Bagian 4: "Menjadi Ayah dan Ibu"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H