Mohon tunggu...
R. AMRAN
R. AMRAN Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Saya seorang jurnalis yang memiliki kesenangan menulis cerita dan perjalanan hidup seseorang sebagai inspirasi, selain itu saya selalu terobsesi untuk menggali suara-suara mereka yang kerap terpinggirkan agar dapat terdengar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenggal Malam Bersama Kinan, Bagian 2: Perjalanan Kinan

4 November 2024   17:38 Diperbarui: 4 November 2024   17:47 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sampul Kinan/er-amran


Malam-malam berikutnya, aku mendapati diriku kembali ke tempat itu. Ada rasa penasaran yang tak terjawab dan perasaan yang membawaku untuk datang lagi.

Dunia malam yang dulu terasa asing kini menjadi bagian dari pencarianku untuk memahami sosok Kinan, perempuan yang menyimpan luka dan kegetiran dalam pandangan matanya yang tenang.

Sebagai seorang jurnalis, aku selalu haus mengungkap fakta yang kerap terpinggirkan kisah-kisah di balik tirai yang sering diabaikan oleh masyarakat, dan Kinan adalah salah satu kisah itu.

Malam itu, ketika aku datang, Kinan sudah menungguku di pojok ruangan. Kami duduk bersama, seperti dua teman lama yang tak perlu banyak basa-basi. Perlahan, ia mulai bercerita, seakan menyusuri luka-luka lamanya.

"Kau mungkin tak akan pernah benar-benar mengerti, Bang," ucapnya dengan suara rendah, hampir berbisik.

"Sejak suamiku pergi, aku belajar bahwa hidup bisa berubah dalam hitungan detik, dan ketika itu terjadi, tidak ada yang bisa menolong selain dirimu sendiri." Suaranya bergetar, tetapi ada kekuatan dalam kata-katanya.

Ia menghela napas panjang, tatapannya menerawang, seolah-olah memandang masa lalunya yang begitu dekat namun tak lagi bisa ia raih.

Kinan bercerita bagaimana awal mula kehidupannya berantakan, ketika polisi datang mengetuk pintu rumahnya di suatu hari, membawa pergi suaminya dengan tuduhan yang tak bisa ia bantah. Kala itu, dunia yang ia bangun runtuh begitu saja, meninggalkannya dalam kesunyian dan ketakutan.

"Aku tahu suamiku terlibat dalam hal seperti itu," katanya, suaranya tercekat. "Ia memang selalu kuingatkan, kadang aku marah, tapi aku tak punya daya untuk melawan," Kinan terdiam sejenak, menghapus air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. "Dia adalah cinta pertamaku, lelaki yang kupikir akan selalu ada di sisiku."

Ketika suaminya dipenjara, kehidupan Kinan berubah total. Ia yang selama ini bergantung pada penghasilan suaminya kini harus mencari nafkah sendiri, dengan tiga anak yang masih kecil dan dua adik yang ia tanggung.

Di tengah kesulitan ekonomi, Kinan menyadari bahwa hidup tak akan memberinya kemewahan untuk menangis atau meratapi nasib.

"Aku sempat bekerja sebagai marketing, dan usaha Laundry Bang, tapi uangnya tak cukup untuk makan, apalagi untuk biaya sekolah anak-anakku," ucapnya pelan.

"Aku mencoba berbagai pekerjaan, tapi selalu saja ada batasnya. Lalu, suatu waktu, aku bertemu dengan seorang teman lama yang menawarkan pekerjaan ini padaku."

Ia menceritakan bagaimana hatinya berperang, bagaimana ia merasa dunia runtuh lagi ketika terpaksa menerima tawaran itu. "Awalnya, aku benci diriku sendiri, benci pada keadaan. Tapi... mereka butuh aku. Anak-anakku butuh makan, adik-adikku butuh pendidikan. Apa yang bisa kulakukan?"

Di setiap kalimat yang ia ucapkan, aku melihat perjuangan seorang ibu yang rela melawan arus, meski ia tahu arus itu mungkin akan menenggelamkannya.

Kinan lalu bercerita tentang anak-anaknya, tentang bagaimana ia berusaha keras menjaga mereka dari kenyataan yang ia sembunyikan mati-matian. Setiap ia pulang ke rumah ia selalu menampakkan ketegaran meski sebenarnya ia cukup menderita. Tak ada satu pun dari mereka yang tahu apa yang ia lakukan setiap malam.

"Aku hanya ingin mereka punya masa depan," kata Kinan, kali ini suaranya sedikit bergetar.

"Aku ingin mereka meraih impian yang tidak pernah bisa kuraih. Aku ingin mereka hidup di dunia yang berbeda dari dunia yang kupijak sekarang."

Mendengar itu, hatiku serasa dihantam kenyataan yang tak pernah kubayangkan. Dunia yang kuanggap sekadar gemerlap malam ternyata menyimpan begitu banyak cerita, cerita yang jarang terlihat di permukaan.

Kinan bukan sekadar perempuan malam dia seorang ibu, seorang kakak, seorang perempuan yang rela melakukan apa saja demi orang-orang yang ia cintai.

"Apa kau pernah berpikir untuk berhenti, Kinan?"  tanyaku pelan, mungkin agak canggung.

Kinan tersenyum kecil, namun matanya tetap menyiratkan kepedihan. "Setiap hari, Bang. Setiap malam aku bertanya pada diriku sendiri sampai kapan aku akan hidup seperti ini. Tapi... sampai kapan aku mampu membiayai mereka dengan cara lain? Aku tidak tahu, dan itu yang membuatku bertahan di sini."

Di tengah obrolan kami, Kinan menunjukkan sebuah foto dari handphonenya yang layarnya penuh garis retakan. Foto tiga anak yang tersenyum polos, tak tahu bahwa dunia ibu mereka begitu rumit dan penuh luka. "Mereka adalah alasan aku tetap berdiri," ujarnya sambil menatap foto itu dengan penuh cinta.

Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Dalam foto itu, kulihat senyum bahagia, senyum yang mungkin hanya dimiliki oleh anak-anak yang merasa aman dan dicintai. Tanpa sadar, aku merasa begitu menghargai perjuangan Kinan, memahami beban yang ia pikul setiap hari.

Setiap malam ia menelan semua penghinaan, semua hinaan, hanya demi senyum di foto itu, demi kebahagiaan yang ingin ia berikan pada anak-anaknya.

"Aku tak pernah tahu sampai kapan bisa terus begini, Bang," ucapnya, kali ini pandangannya sedikit meredup. "Tapi selama mereka masih butuh aku, aku akan bertahan."

Malam semakin larut, dan aku tahu waktuku bersama Kinan semakin singkat. Namun, dalam setiap kata yang ia ucapkan malam itu, aku belajar tentang pengorbanan, tentang cinta yang tak mengenal batas.

Kinan bukan sekadar sosok perempuan yang terjebak dalam dunia gelap, ia adalah cahaya bagi keluarganya, yang rela tenggelam dalam kegelapan asalkan orang-orang yang ia cintai bisa hidup di bawah sinar yang lebih terang.

Sebelum aku pergi, aku menatap Kinan sekali lagi, seolah-olah ingin mengabadikan sosoknya dalam ingatan. Aku tahu kisahnya tak akan pernah benar-benar pudar, dan aku berjanji pada diriku sendiri untuk menceritakan kisah ini pada dunia.

Kisah seorang perempuan yang berjuang di tengah keterbatasan, yang mencintai tanpa syarat, yang bertahan demi sebuah harapan.

Ketika aku melangkah keluar dari tempat itu, aku merasa ada sesuatu yang tertinggal sepotong hati yang aku biarkan bersama Kinan, bersama perjuangan dan luka yang ia bawa.

Dan malam itu, aku menyadari, di balik setiap senyum dan tawa di tempat ini, ada cerita yang tak pernah selesai. Sebagai jurnalis, aku merasa tergerak untuk terus menyelidiki dan mengungkap kisah-kisah serupa, karena setiap suara yang terpinggirkan berhak untuk didengar.

---

Bersambung...
Bagian 3: Kisah di Balik Senyum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun