Di tengah kesulitan ekonomi, Kinan menyadari bahwa hidup tak akan memberinya kemewahan untuk menangis atau meratapi nasib.
"Aku sempat bekerja sebagai marketing, dan usaha Laundry Bang, tapi uangnya tak cukup untuk makan, apalagi untuk biaya sekolah anak-anakku," ucapnya pelan.
"Aku mencoba berbagai pekerjaan, tapi selalu saja ada batasnya. Lalu, suatu waktu, aku bertemu dengan seorang teman lama yang menawarkan pekerjaan ini padaku."
Ia menceritakan bagaimana hatinya berperang, bagaimana ia merasa dunia runtuh lagi ketika terpaksa menerima tawaran itu. "Awalnya, aku benci diriku sendiri, benci pada keadaan. Tapi... mereka butuh aku. Anak-anakku butuh makan, adik-adikku butuh pendidikan. Apa yang bisa kulakukan?"
Di setiap kalimat yang ia ucapkan, aku melihat perjuangan seorang ibu yang rela melawan arus, meski ia tahu arus itu mungkin akan menenggelamkannya.
Kinan lalu bercerita tentang anak-anaknya, tentang bagaimana ia berusaha keras menjaga mereka dari kenyataan yang ia sembunyikan mati-matian. Setiap ia pulang ke rumah ia selalu menampakkan ketegaran meski sebenarnya ia cukup menderita. Tak ada satu pun dari mereka yang tahu apa yang ia lakukan setiap malam.
"Aku hanya ingin mereka punya masa depan," kata Kinan, kali ini suaranya sedikit bergetar.
"Aku ingin mereka meraih impian yang tidak pernah bisa kuraih. Aku ingin mereka hidup di dunia yang berbeda dari dunia yang kupijak sekarang."
Mendengar itu, hatiku serasa dihantam kenyataan yang tak pernah kubayangkan. Dunia yang kuanggap sekadar gemerlap malam ternyata menyimpan begitu banyak cerita, cerita yang jarang terlihat di permukaan.
Kinan bukan sekadar perempuan malam dia seorang ibu, seorang kakak, seorang perempuan yang rela melakukan apa saja demi orang-orang yang ia cintai.
"Apa kau pernah berpikir untuk berhenti, Kinan?" Â tanyaku pelan, mungkin agak canggung.