Perubahan sosial terus berlangsung di masyarakat. Fenomena tersebut tidak lepas dari perkembangan pengetahuan dan teknologi. Dalam tulisan Klaus Schwab (2016), menandai perubahan tersebut dalam tiga fase revolusi. Kata Schwab, perubahan tatanan sosial pertama ditandai dengan revolusi industri pertama yang dimulai pada pertengahan kedua abad ke-18. Peristiwa tersebut, dimulai dengan perubahan-perubahan dalam bidang agraria, dimana tenaga manusia mulai digantikan oleh mesin. Selanjutnya, revolusi industri kedua, terjadi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Peristiwa ini ditandai masuknya listrik dan pembuatan jalan-jalan bagi kendaraan bermesin. Berikutnya adalah revolusi Industri ketiga yang terjadi tahun 1960an. Revolusi ditahap ini menciptakan perangkat komputer atau sering disebut digital revolution.
Kemajuan berbasis teknologi, sejak revolusi industri pertama sampai saat ini, begitu banyak mempengaruhi bidang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Tanpa kita sadari, di belahan dunia lain, di negara-negara Eropa telah memasuki masa revolusi industri keempat. Revolusi industri keempat berbeda dari revolusi-revolusi sebelumnya. Revolusi keempat telah menggabungkan unsur teknologi dan biologi yang membuatnya berbeda dari revolusi-revolusi sebelumnya. Seperti penemuan robot yang bisa menyerupai dan berpikir seperti manusia, serta perkembangan teknologi pengeditan DNA manusia yang mulai dilakukan.
Perkembangan pengetahuan dan teknologi, berdampak pada perubahan dinamika sosial. Perubahan tersebut begitu cepat, menuntut orang-orang harus selalu kreatif agar supaya terus dapat bersinergi dengan perubahan-perubahan yang dilahirkan oleh perkembangan pengetahuan dan teknologi. Perkembangan pengetahuan dan teknologi, separuhnya, juga telah banyak mempengaruhi orang-orang dalam memilih pekerjaan.
Dalam beberapa masyarakat, "kerja" memiliki banyak perbedaan makna. Masing-masing kebudayaan, memaknai aktifitas yang disebut kerja itu, atau kata yang diartikan sebagai kerja dan bagian-bagian komponen proses kerja sangatlah berbeda. Perkembangan pengetahuan dan teknologi juga berkontribusi dalam meredefinisi makna dari kerja serta menciptakan beberapa generasi manusia yang berbeda dalam tiap perkembangannya. Misalnya generasi X. Manusia-manusia yang masuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang lahir di antara tahun 1960-1980. Generasi ini, dikatakan memilih kerja yang mengutamakan kemapanan dan jenjang karir yang jelas. Perkembangan itu, juga hari ini, telah melahirkan generasi baru, generasi Milenial, yang juga punya nama lain Generasi Y, adalah kelompok manusia yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1995. Orang-orang yang hidup dizaman Milenial, berbeda dengan orang-orang generasi X. Generasi Y dikatakan cenderung tidak mementingkan kemapanan dan jenjang karir, tetapi lebih pada kesenangan dan kenyamanan di tempat di mana ia bekerja. Berdasarkan latar belakang tersebut, Â dalam tulisan ini, penulis akan berusaha menjelaskan bagaiamana generasi X dan Y, memilih dan membangun karirnya.
Dinamika kerja Generasi X dan Y
Generasi X (Xers) adalah sebuah istilah untuk satu generasi dari orang-orang Eropa atau Amerika lahir antara 1960 dan 1980 (Gardiner, Grace dan King 2015; McNeese-Smith dan Crook 2003; Stuenkel, de la Cuesta dan Cohen 2005; Zemke; Raines dan Filipczak 2000). Xers dikenal sebagi generasi yang cerdas dan independen. Mereka cenderung mencari kerjaan yang seimbang antara kerja dan kehidupan personal. Â Kerja generasi X, banyak dimotivasi oleh nilai (gaji) yang mereka peroleh dari pekerjaannya (Lancaster dan Stillman 2005; Stuenkel, de la Cuesta dan Cohen 2005). Â Generasi Xers nampak sangat menyeimbangkan antara kerja dan hidup, dan hubungan kerja yang positif, ketimbang generasi Boomers dan generasi Y.(Eisner 2005; Beutell dan Wittig-Berman 2008; Shen Kian, Wan Yusoff dan Rajah 2013; Wan Yusoff dan Shen Kian 2013).
Santos & Cox (2000) mengatakan, Generasi X dalam kehidupannya, lebih banyak fokus pada pembangunan karir dan keinginan mereka yang besar untuk meningkatkan kemampuan dalam bidangnya, demi untuk jenjang karir dan nilai jual mereka di masa depan. Begitu pun bila mereka ingin berhenti dari pekerjaan, keputusan itu, lebih mendasarkan pada pertimbangan masa depan karirnya dan besaran gaji yang mereka terima (Hammil, 2005). Kerja, dalam generasi X pada prinsipnya, memang lebih pada kematangan dan kemapanan yang diperoleh dari jenjang karir di tempat mereka bekerja.
Berikutnya adalah generasi Y, disebut juga generasi milenial. Orang-orang dari generasi ini, memiliki karakter yang sama dan dipandang sebagai generasi yang tidak terlalu memusingkan keadaan yang terjadi di negaranya. Generasi Y lahir antara 1980-1995 (Horvthov, Blha dan opkov 2016; Knight 2014; Zemke, Raines dan Filipczak 2000). Dalam studi lintas budaya Murphy, Gordon dan Anderson (2004), menemukan bahwasanya generasi Y, tidak mempersiapan dirinya untuk bekerja sapanjang waktu layaknya generasi baby-Boomers yang mereka katakan sangat konvensional. Wan Yusoff dan Shen Kian (2013) dalam (Smola dan Sutton 2002; Eisner 2005; Morrison, Erickson dan Dychtwald 2006; Shaw dan Fairhurst 2008; Cogin 2012; Shen Kian, Wan Yusoff and Rajah 2013) mengatakan bahwa generasi Y mengartikan kerja hanyalah satu proritas dalam hidup, namun buka prioritas utama. Generasi Y, memang tidak terlalu memusingkan jenjang karir dalam pekerjaan mereka.Â
Telah banyak studi ilmiah menunjukkan bahwa ada perbedaan tujuan dan motifasi lintas generasi dalam mencari dan memaknai kerja. Glas (2007), menemukan bahwa generasi X dan generasi Y hampir seluruhnya berbeda dalam dunia kerja, apalagi dengan generasi Baby-Boomers, generasi sebelum X. Â Generasi Y Tidak hanya terlihat berbeda secara penampilan, juga dalam pemanfaatan dan penggunakan teknologi dan juga pola pikir mereka sangatlah berbeda.
A longitudinal study of job mobility menyatakan, di sepuluh tahun awal, dalam pasar tenaga kerja, seorang pekerja muda akan bekerja di beberapa tempat, tidak menetap. Temuan lainnya, pekerja muda lebih sering gonta-ganti kerjaan sampai tiga-empat kali dalam 1 setahun. Sementara generasi X, perilaku atau keputusan mereka dalam mencari kerja, banyak dipengaruhi keluarga, seperti orang tua, nenek, dll. Disaat mereka bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan, Â mereka begitu loyal dan mengikuti seluruh peraturan di dalamnya. Hal tersebut dilakukan guna menjamin keseimbangan karir kerja mereka. Generasi ini, sangat memperhatikan jenjang karir dalam pekerjaannya. Sebab itu akan berimplikasi pada keseimbangan dan menjamin kehidupan, ekonomi, dan keluarga.
Kerja dan Pencari Kerja Era Milenial
Telah kita ketahui sebelumnya, bahwa periode di mana seseorang itu lahir, ikut membentuk budaya berpikir dalam menentukan berbagai macam keputusan termaksud dalam memilih kerja. Hari ini, dunia kerja telah dihidupi dua generasi yang berbeda, generasi X dan Y. Tentu saja, kedua generasi ini mempunyai pandangan yang berbeda mengenai makna kerja.
Beberapa studi yang telah dilakukan Tan Shen Kian (2012) dan Ji Bejtkovsk (2016) mengatakan, bahwa paradigma kedua generasi tersebut sangat berbeda dalam memilih kerja dan membangun karir. Fenomena tersebut juga ditemukan di Indonesia. Seperti survey yang berfokus pada studi mengenai perilaku kerja milenial, Â sebuah survey yang dilakukan oleh PT. Unilever Indonesia, Tbk. menyatakan bahwa 60 persen dari pekerja dewasa muda Indonesia yang baru meniti karier sudah pindah tempat kerja dalam kurun waktu satu sampai tiga tahun (Ngantung, 2013).
Faridah Lim, Country Manager Jobstreet.com Indonesia (2016) menyebutkan bahwa generasi millenial adalah generasi "kutu loncat" (Ningrum, 2016; diambil dari tekno.liputan6.com). Hasil survei yang dilakukan perusahaan penyedia informasi lowongan pekerjaan JobStreet.com terhadap 3.500 responden di Indonesia menunjukkan hampir 65,8 persen generasi milenial adalah kutu loncat alias tidak betah bekerja dalam waktu lama di satu perusahaan. Mereka akan pindah kerja dalam waktu kurang dari 1 tahun (Ningrum, 2016; diambil dari tekno.liputan6.com).
Dalam penelitian Yuen (2016) mengenai intensi job hopping pada para pekerja dari generasi millenial di Hong Kong, diketahui bahwa para pekerja generasi millenial memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih rendah dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Yuen (2016) menjelaskan bahwa kepuasan kerja yang rendah dapat mengarah kepada intensi untuk melakukan job hopping. Hasil penelitiannya konsisten dengan penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa karyawan yang lebih muda memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk berpindah tempat kerja (Ertas, 2015; Pitts, 2011; dalam Yuen, 2016). Generasi milenial memiliki intensi job hopping yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Selain kepuasan kerja, loyalitas yang rendah juga merupakan hal yang dikaitkan dengan job hopping (Aswathappa, 2005; dalam Yuen, 2016).
Kedua generasi, X dan Y, telah digambarkan dalam karakteristik yang berbeda. Dalam beberapa penelitian terdahulu, banyak fakta menjelaskan bahwa meraka memiliki masing-masing sifat yang tentunya banyak dipengruhi suasana atau periode di mana mereka lahir. Sebab itu mereka berbeda. Generasi X yang digambarkan setia kepada satu jenis pekerjaan, sebaliknya, generasi Y, dalam beberapa studi mengatakan, mereka cenderung gonta-ganti pekerjaan, kurang lebih tiga-empat kali dalam setahun. Perilaku generasi milenial yang sering gonta-ganti pekerjaan sebenarnya sangat sederhana, yaitu masalah kenyamanan. Dalam berita yang dimuat tirto.id, bahwa generasi milenial tidak suka kantor yang kaku, jam kerja yang ketat, membuat mereka ,generasi milenial, tidak betah kerja.Â
Generasi ini mendambakan tempat bekerja yang fleksibel, yang justru membuat mereka bisa bekerja lebih efektif dan kreatif. Gambaran semacam itu dapat kita lihat di dalam perusahaan internet terbesar di dunia, Google. Para pekerja rata-rata anak muda bersliweran dengan bebas. Begitu pula pakaiannya. Ada yang hanya memakai celana pendek dan kaus. Ada pula yang memakai celana jeans dengan atasan kemeja santai. Juga ada yang memakai kemeja Hawaii seperti mau pergi ke pantai. Di dalam kantor google, ada replika Space Ship One yang digunakan untuk pergi ke luar angkasa. Ada perosotan raksasa, kafe yang segalanya gratis, tempat tidur siang, dan arena olahraga yang besar. Para generasi milenial lebih memimpikan tempat kerja yang santai dan tidak mengikat. Mereka, generasi milenial, tidak ingin hidup atau kerja seperti generasi Baby-Boomber dan generasi X sebelumnya yang mereka pandangan begitu kaku dan konvensional. Kekauan itu mereka lihat nampak pada jam-jam kerja, pakaian, dan suasana kantor, yang sering mebuat pekerja stres.
Studi yang dilakukan The American Institute of Stress pernah merilis data bahwa 46 persen penyebab stres terkait kerja dan tempat kerja. Nyaris serupa, survei dari lembaga Integra mengatakan bahwa 65 persen pekerja mengatakan bahwa stres di tempat kerja bikin hidup mereka tambah berat. Citra kantor yang mengekang ini kemudian membuat pekerjaan lepas (freelance) identik dengan kebebasan. Generasi Milenial kemudian tumbuh dalam bayangan kantor yang mengerikan itu. Ketika mereka dewasa dan mulai bisa bekerja, sebisa mungkin mereka tidak ingin ketakutan itu hadir lagi. Maka mereka, para milenial itu, membuat iklim kantor yang menyenangkan. Beberapa malah terkesan nyaris tak punya peraturan yang mengikat.
Dalam Data Karir.com yang dikutip liputan6.com, mengatakan, karakteristik Generasi Y itu sangat unik karena sudah tumbuh di tengah hiruk pikuk teknologi nirkabel yang sedang berkembang. Maka tidak heran kalau generasi ini sering dikatakan sebagai angkatan kerja yang produktif, penuh kejutan dan ide brilian, dan bisa jadi generasi yang andal. Data Karir.com menyebutkan bahwa Generasi X (dengan jumlah pengguna fitur sebanyak 1.448 orang) yang menyandang gelar S1 tercatat sebanyak 64% dan tersebar dalam proporsi jabatan sebagai Department Manager (23%), Senior Staff (18%) dan Supervisor (17%). Sementara kelompok generasi Y (dengan jumlah pengguna fitur sebanyak 5.273 orang), 62% di antaranya tercatat mengantongi gelar S1, dan meski 51% di antara total jumlah pengguna fitur masih berada pada entry level, persentase pada Senior Staff di kalangan kelompok pekerja ini telah mencapai 22% dan pada tingkat Supervisor 13%. Hal ini membuktikan bahwa generasi milenial itu bisa lebih produktif ketimbang generasi-generasi sebelumnya, ketika mereka mendapatkan kenyamanan di tempat-tempat dimana mereka bekerja.
Perilaku produktif generasi milenial seperti itu, sedikit banyak berkorelasi dengan suasana nyaman di mana mereka bekerja. Generasi milenial lebih suka bekerja pada suasana-suasana tempat yang santai, bebas, dan pastinya tidak terkungkung dan kaku. Seperti dilansir dalam majalahcsr.id, bahwa untuk mendapatkan perhatian para milenial, perusahaan atau tempat kerja harus dapat menghadirkan keseruan di tempat kerja dengan berbagai fasilitas, antara lain:
- Snack bar gratis
- Cuti tak terbatas
- Kesempatan untuk bekerja secara remote
- Fasilitas gym
- Gaming room
- Team dinner untuk seluruh anggota tim
Tempat-tempat kerja milenial cenderung tidak terkesan formal. Mereka lebih suka bekerja layaknya mereka sedang tidak bekerja, bebas menggunakan pakaian apa saja. Dan yang paling penting mereka tidak ingin bekerja layaknya generasi Baby-Boomber dan generasi X.
Referensi:
Bejtkovsk, J. (2016). The Current Generations: The Baby Boomers, X, Y and Z in the Context of Human Capital Management of the 21st Century in Selected Corporations in the Czech Republic. Littera Scripta, 2016, Volume 9, Issue 2.
Kian, T. S.2012. Generation X and Y and Their Work Motivation. Proceedings International Conference of Technology Management, Business and Entrepreneurship.
liputan6.com. (2018, Januari, 16). Liputan6. diakses Juni 6, 2918, from https://www.liputan6.com/bisnis/read/2409234/apa-itu-generasi-x-dan-generasi-y-di-dunia-kerja
majalahcsr.id. (2018, Februari, 26). majalahcsr.id. diakses Juni 6, 2018, from http://majalahcsr.id/generasi-millenial-ubah-persepsi-tempat-kerja/
Press, T. U. (1980). Social Anthropologoy of Work. Current Anthropology, Vol. 21, No. 3, 299-314.
Ratna Dyah Suryaratri, M. A.2018. Modal Psikologis dan Intensi Job Hopping Pada Pekerja Generasi Millenial. IKRAITH-HUMANIORA, Vol. 2, No. 2, MARET 2018.
Schwab, K.2016. The Fourth Industrial Revolution. Swiss: World Economic Forum.
Wibisono, N. (2016, September, 16). Tirto.id. diakses Juni 6, 2018, from https://tirto.id/kantor-ideal-bagi-generasi-milenial-bKSh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H