Berita penangkapan Zaim Saidi mendadak viral dan menjadi bahasan media selama beberapa hari. Beliau tak lain adalah pendiri pasar muamalah di Depok. Sebuah tempat pertemuan perdagangan yang menggunakan dinar dan dirham sebagai alat tukarnya.
Beragam pandangan pun seketika muncul. Ada yang menganalogikan alat tukar dinar-dirham ini dengan kembalian permen di minimarket. Lain halnya dengan yang menyebutkan tak ada bedanya dengan kupon atau voucher belanja karena toh dinar-dirham juga dibeli dengan rupiah.Â
Ada yang menyayangkan penangkapan Zaim Saidi karena menempatkan beliau sebagai orang berilmu, maka merangkulnya untuk tujuan pengembanan ekonomi syariah di Indonesia lebih bijaksana alih-alih ditangkap dan dipenjara.
Tidak selesai di sana, pelanggaran penggunaan mata uang rupiah sebagai alat tukar yang sah, lagi-lagi harus menghebohkan urusan muamalah sesuai syariat yang alhasil, mengarahkan dan menggeneralisasi opini kepada konsep muamalah Islam yang tidak taat pemerintah.
Isu radikalisme, masih terus dihangatkan. Namun demikian, ada hal menarik dari kasus ini, yang sebaiknya, mau kita kupas dengan rendah hati dan kepala dingin.
Berdagang dalam Islam
Islam mengisyaratkan sebuah keseimbangan perilaku bagi umat, baik di dalam hubungan dengan Tuhan, maupun dengan manusia. Dalam bahasa yang lebih mudah, habbluminallah adalah hubungan ibadah (kepada Allah), dan habbluminannaas adalah interaksi kepada sesama manusia, di mana salah satu kegiatannya adalah dalam transaksi perdagangan.
Berdagang di dalam Islam pun telah banyak contoh yang bisa kita pedomani, baik dari baginda nabi Muhammad saw., maupun dari para sahabat. Apa yang dipraktikkan oleh pasar muamalah, yang tidak hanya berada di Depok, adalah salah satu contoh bentuk perdagangan. Bukan sekadar berdagang, mereka pun menerapkan sebuah sistem pembayaran yang tidak lazim (di Indonesia) yaitu dengan menggunakan dinar-dirham.
Prinsip Dasar Bermuamalah
Pada dasarnya, berdagang di dalam Islam hanya membutuhkan prinsip yang simple, yaitu ridho. Maknanya memang luas. Ridho bisa berarti tidak ada penipuan di dalam transaksi yang terjadi. Ridho juga bermakna kedua belah pihak (pembeli dan penjual) saling sepakat dengan apa yang mereka pertukarkan. Dalam hal lain, ridho juga berarti tidak ada paksaan satu sama lain agar tercapai kemaslahatan di antara keduanya.
Mengangkat poin tersebut, pasar muamalah Depok yang sudah berdiri sejak tahun 2014 ini adalah tempat bertemunya pembeli dan pedagang yang saling ridho. Enam tahun mereka bertransaksi di tempat yang tidak tersembunyi, dengan barang-barang dagangan yang juga legal, serta alat tukar (yang meskipun tidak lazim) namun didapatkan juga dengan menukar rupiah.
Namun di luar masalah alat tukar, pasar muamalah tidak lebih dari sebuah tempat bertemunya penjual dan pembeli. Itu saja. Mereka hanya sedang berdagang, membeli, bertransaksi, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan yakinlah, mereka yang menggunakan dinar-dirham pun barangkali masih juga menyimpan rupiah di tempat penyimpanan uang mereka masing-masing.
Hal ini berarti, mereka hanya menjalankan perdagangan secara 'ridho' saja. Di pasar itu, alat tukar yang digunakan adalah dinar-dirham, dan para pembeli tidak keberatan dengan itu. Para penjual pun Insyaallah jujur dengan harga konversi rupiah ke dinar atau dirhamnya. Maka itu menjadi sebab mereka bertahan dan 'baik-baik saja' selama 6 tahun.
Alat tukar dan Alat Pembayaran
Hal berikutnya adalah tentang alat pembayaran. Rupiah adalah alat pembayaran satu-satunya yang sah di NKRI menurut undang-undang. Hal ini kemudian menjadi alasan penangkapan Zaim Saidi yang memprakarsai transaksi jual-beli dengan dinar dan dirham tadi.
Pembahasan ini menjadi menarik, bahkan sebagian masyarakat menyandingkan dengan kembalian permen yang kerap dilakukan oleh minimarket ternama dengan alasan tidak ada uang receh. Di sisi lain, transaksi barter juga digunakan sebagai analogi karena faktanya pertukaran barang semacam itu juga masih terjadi di sebagian masyarakat Indonesia. Di lain pihak, jual beli voucher oleh swalayan dan supermarket juga menjadi bahan pembanding transaksi ini.
Mereka yang mati-matian bertahan agar tidak ada uang selain rupiah, tentu tidak salah. Namun maaf kalau saya berpendapat agak santai, bahwa yang disebut alat pembayaran tentu berbeda dengan alat tukar.
Rupiah sebagai alat pembayaran di seluruh wilayah kedaulatan NKRI, tentu saja harus saya hormati dan patuhi. Bahkan faktanya, baik permen, voucher belanja, atau sang fenomenal dinar-dirham pun masih tetap harus dibeli dengan rupiah. Tidak ada yang tergeser atau tergantikan di sini.
Hal ini berarti, baik permen, voucher, maupun dinar-dirham hanya digunakan sebagai alat tukar pada beberapa tempat yang 'meridhoinya'. Permen diterima di minimarket, voucher diterima di supermarket atau kedai kopi waralaba, sedangkan dinar-dirham diterima di pasar muamalah. Simpel.
Produk Ekonomi Syariah di Indonesia
Ada pendapat yang berbeda yang muncul dan sempat terbaca di linimasa sebuah media sosial. Seorang netizen berkomentar bahwa Zaim Saidi seharusnya 'dirangkul' karena keilmuan tentang perkara muamalah yang dimiliki, yang siapa tahu, bisa memajukan perekonomian Indonesia. Bukan bermaksud menggiring opini pada wacana ekonomi berbasis syariat, namun faktanya Indonesia terlihat sedang memulai membuka pintu pada bidang ekonomi keislaman. Ada dua hal yang nyata terjadi:
1. Wakaf Uang
Gerakan Nasional Wakaf Uang sudah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 25 Januari 2021 lalu. Gerakan ini tentu saja setelah melihat potensi wakaf di Indonesia yang besar. Alhasil, celah ini pun diambil sebagai langkah optimalisasi potensi masyarakat, yang tidak lagi terbatas pada benda saja. Pemanfaatannya pun tidak lagi terbatas pada bidang sosial, pendidikan, dan ibadah, tetapi juga untuk perekonomian secara umum termasuk pembangunan.
2. Bank Syariah Indonesia
Tidak jauh dari peresmian Gerakan Nasional Wakaf Uang, Presiden juga meresmikan Bank Syariah Indonesia pada 1 Februari 2021 kemarin. BSI adalah hasil merger 3 bank milik Himbara. Fakta lainnya, BSI ini akan dijalankan sesuai dengan prinsip Syariah, demi pemerataan ekonomi masyarakat.
Ketidaksantaian dalam kasus Zaim Saidi ini sebenarnya menggelitik (bagi saya). Lagi-lagi Indonesia dihadapkan pada sebuah paradoks, ketika pemerintah membuka pintu penerapan syariat Islam dalam sektor ekonomi, namun pada saat yang sama ada juga tempat (pasar), yang juga bisa katakana sebagai bagian dari sektor ekonomi, yang sudah menerapkan syariat Islam dalam transaksinya namun dihentikan di usia 6 tahun operasionalnya.
Andai saja, Zaim Saidi dan pasar muamalah Depok ini diperbolehkan terus berjalan, lalu mendapat dukungan berupa pembinaan dan edukasi dari pemerintah sehingga mereka bisa bersinergi dengan baik, maka terbayanglah sebuah kebangkitan perekonomian berbasis keislaman yang tetap taat dan patuh kepada kedaulatan NKRI. Mungkin, pasar muamalah akan menjadi produk resmi pemerintah ketiga setelah wakaf uang dan BSI. Mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H