Mohon tunggu...
Rahma Roshadi
Rahma Roshadi Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer Bahagia

Penikmat tulisan dan wangi buku

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Cerita Penulis Debutan

2 Februari 2021   07:00 Diperbarui: 2 Februari 2021   07:03 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Entah tulisan ini akan dibaca banyak orang atau tidak, akan dapat review atau tidak, bodo amat. Hal terpenting bagi saya saat ini adalah, sambil membuat tulisan ini, saya bahagia dan senyum-senyum sendiri. Tertawa dalam hati, menertawakan kebodohan diri sambil meratapi sebuah tujuan yang salah saya pahami.

Dulu, ketika masih duduk di bangku SD, ada seorang anak yang (mungkin) sudah terlihat talentanya dalam menulis. Setiap mendapat tugas Bahasa Indonesia untuk membuat tulisan atau disebutnya mengarang, tulisannya tidak pernah kurang dari 2 lembar folio garis alias full 4 halaman. Meskipun, tugas yang diminta adalah merangkum sebuah cerita yang ada di buku. Alhasil, alih-alih mendapat nilai baik, saya justru mendapat teguran dari guru.

"Kenapa banyak sekali? Tugasnya 'kan merangkum!"

Dasar melankolis, anak SD ini tidak menjawab secara lisan namun hatinya menggumam "Ceritanya terlalu bagus untuk disingkat-singkat. Sudah bagus hanya 2 lembar folio, kalau kebablasan bisa jadi 1 buku solo."

Karunia ini tidak pernah dia sadari, meskipun berkali-kali ibu memberi 'clue', salah satunya waktu dia hendak masuk perguruan tinggi. Anak ini ngotot ingin masuk ke kedokteran hanya karena sudah dapat PMDK di sebuah universitas di Jakarta. Tapi kata Ibu, "Daripada kamu tersiksa, udah aja kuliah sastra. Kamu pasti suka."

Lagi-lagi si melankolis tidak menjawab. Anak ini hanya menahan air mata, sambil membatin, "Kalau saya masuk sastra, apa kata dunia. Anak IPA dari SMA Negeri favorit se-provinsi, dapat PMDK pula, malah nyastro." Sejenak dia terngiang kata-kata guru fisika di sekolahnya, yang merasa tabu kalau ada muridnya yang sampai kuliah sastra dan nggak masuk perguruan tinggi negeri.

Dasar anak melankolis, diterima saja saran ibunya, walaupun nggedumel. Semakin banyak grundelan di dalam hatinya, semakin dia tidak bisa melihat talenta yang dia punya. Dia tetap nggak nyadar, segitunya sudah lulus kuliah sastra dengan predikat cumlaude. Eh, malah pengen kerja di bank. Katanya gajinya besar, dan mereka menerima sarjana lulusan apapun.

Singkat cerita, karunia ini 'terasa' lagi mengetuk-ketuk relung hati. Dia ingin kembali diasah dan muncul ke permukaan bumi. Anak ini pun membuka pintu hatinya, lalu bilang, "Saya akan jadi penulis, supaya bisa terkenal, sukses, bukunya best seller dan kaya dari hasil royalti dan juara lomba menulis."

Mulailah dia menulis. Satu hari, dua hari, seminggu, sebulan, setahun, sampai sekarang ... lewat dua tahun. Hadiah lomba terbesar yang pernah ia terima hanyalah voucher belanja seratus ribu rupiah. Dia mulai galau, jangan-jangan menjadi penulis hanya emosi saja karena nggak punya pekerjaan. Seperti ada yang berbisik, "udahlah tinggalin aja. Nggak ada uangnya, nggak berguna."

Sembari menyeduh kopi susu dia berpikir, untuk membuat tulisan untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu sudah, nggak akan nulis lagi. Sembari mikir mau nulis apa, tiba-tiba seseorang kirim pesan WA. Dia dulu yang suka bantu-bantu ibu, waktu Ibu masih sehat. Dia minta tolong, minta diberi masukan untuk tulisannya yang mau dia kirim ke media online untuk lomba kisah nyata inspiratif. Dijawabnya "Oke", sambil terus mikir setelah ini mau nulis tentang apa. Sampai 3 hari lamanya.

Ceritanya dipersingkat lagi, ya. Tiga hari kemudian, mbak-mbak yang minta direview tulisannya itu kirim WA lagi, Panjang sekali.

"Tulisannya menang lomba. Alhamdulillah Ya Allah saya ketemu njenengan. Saya dapat hadiah sedikit, tapi cukup untuk bayar SPP anak. Lalu beberapa teman yang saya kirimi ceritanya, mereka bilang ke saya minta nomor rekening sambil minta maaf karena tidak tahu kondisi saya yang sekarang seperti ini. Terima kasih, Mbak. Saya belum bisa balas semuanya, tapi kebaikan mbak waktu itu membuat saya dan keluarga kembali berkecukupan."

Ya Allah .... (anak ini tercenung).

Dia yang butuh pekerjaan, dia juga yang butuh pemasukan, dia yang ingin tulisan-tulisannya 'menghasilkan', tapi ternyata dia hanya jadi perantara untuk kebahagiaan dan kecukupan orang lain. Di antara kebingungannya membaca WA itu bolak-balik, anak ini mikir. Dalam sekali mikirnya.

"Kok atiku seneng banget, Ya Allah. Ternyata di tengah kekurangan, pengangguran, dan ndak punya apa-apa, saya bisa mbantu orang. Bahkan membuat orang lain menjadi kembali berkecukupan."

Dasar melankolis. Dia nangis, meratapi kebodohannya yang masih serba kepengen urusan materi duniawi. Dia pikir tujuan menulis hanya untuk bisa dapat uang, juara lomba, buku best seller, dan sebagainya yang serba dunia. Ternyata, dia juga bisa bahagia meskipun hanya jadi perantara rezeki Tuhan untuk hamba yang dipilihNya. Walaupun tanpa dibalas dapat hadiah juga, tapi mendengar orang lain bahagia, ternyata rasanya jauh lebih bahagia.

Dasar melankolis. Dasar Aku. Alfatihah untuk Ibu, dan juga Bapak yang sudah ketemuan di surga keridhoanNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun