"Tulisannya menang lomba. Alhamdulillah Ya Allah saya ketemu njenengan. Saya dapat hadiah sedikit, tapi cukup untuk bayar SPP anak. Lalu beberapa teman yang saya kirimi ceritanya, mereka bilang ke saya minta nomor rekening sambil minta maaf karena tidak tahu kondisi saya yang sekarang seperti ini. Terima kasih, Mbak. Saya belum bisa balas semuanya, tapi kebaikan mbak waktu itu membuat saya dan keluarga kembali berkecukupan."
Ya Allah .... (anak ini tercenung).
Dia yang butuh pekerjaan, dia juga yang butuh pemasukan, dia yang ingin tulisan-tulisannya 'menghasilkan', tapi ternyata dia hanya jadi perantara untuk kebahagiaan dan kecukupan orang lain. Di antara kebingungannya membaca WA itu bolak-balik, anak ini mikir. Dalam sekali mikirnya.
"Kok atiku seneng banget, Ya Allah. Ternyata di tengah kekurangan, pengangguran, dan ndak punya apa-apa, saya bisa mbantu orang. Bahkan membuat orang lain menjadi kembali berkecukupan."
Dasar melankolis. Dia nangis, meratapi kebodohannya yang masih serba kepengen urusan materi duniawi. Dia pikir tujuan menulis hanya untuk bisa dapat uang, juara lomba, buku best seller, dan sebagainya yang serba dunia. Ternyata, dia juga bisa bahagia meskipun hanya jadi perantara rezeki Tuhan untuk hamba yang dipilihNya. Walaupun tanpa dibalas dapat hadiah juga, tapi mendengar orang lain bahagia, ternyata rasanya jauh lebih bahagia.
Dasar melankolis. Dasar Aku. Alfatihah untuk Ibu, dan juga Bapak yang sudah ketemuan di surga keridhoanNya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H