Mohon tunggu...
Rahma Roshadi
Rahma Roshadi Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer Bahagia

Penikmat tulisan dan wangi buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Riani Ingin Belajar Mengaji

17 Maret 2019   14:50 Diperbarui: 17 Maret 2019   15:04 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Riani ingin belajar mengaji saja, Pak." Sebuah ingin yang tertutur datar dari seorang anak yang mulai mencari jati dirinya. Riani, anak perempuan satu-satunya dari Bapak Doktorandus Hasan Arif dan Ibu Salmah. Kedua orang tua Riani adalah punggawa negara yang demikian taat pada aturan-aturan negara dan juga perintah atasan.

"Nduk, kamu jangan bikin malu Bapak sama Ibu." Hela nafas berburu dengan kepul asap tembakau dari cangklong yang mulai berkerak oleh nikotin.
"Bikin malu apa to, Pak? Riani ndak mencuri. Riani juga bukan pengen jadi garong yang korupsi uang rakyat. Riani cuman pengen belajar ngaji. Riani pengen masuk pesantren, mondok, ngapalin Alquran, terus belajar ilmu-ilmu agama dengan baik dan kafah, supaya hidup kedepannya nanti jelas." Riani setengah merengek pada bapaknya yang lebih memilih mencermati arah asap menghilang daripada suara anaknya yang bersahutan dengan harap.

"Nduk, hidup jelas menurutmu kui opo to?" Sang bapak mengalihkan pandangan dari langit-lagit ke ubun-ubun anaknya. Dengan dagu sedikit tertahan. Mata sejenak berhenti berkedip. Sedikit tarikan nafas panjang dan penjelasan idealis seorang bapak akan dimulai.

"Kamu kan tau, Bapak Ibumu ini kerjo di pemerintahan. Bapak ibumu ini ndak punya keahlian lain selain jadi pegawai yang nurut sama ndoro-ndoro kita di kantor. Atasan bapak sama ibu, juga punya ndoro lagi yang lebih tinggi. Lha ndoronya ndoro itu, nek mbok teruske bisa sampai presiden."
"Hubungannya pak presiden sama Riani pengen mondok niku nopo, Pak?" tanya datar sang anak yang benar-benar tak paham dengan jalur kerja di otak sang ayah.

"Hubungannya? Nduk, kamu ndak pernah liat tivi apa? Kamu ndak pernah ndenger berita, desas-desus yang viralnya lagi rame banget itu. Semua orang lagi rame-ramenya hijrah. Lagi rame-ramenya ngikut ulama. Lagi kenceng-kencengnya menyampaikan pendapat sampai bawa massa majelis taklim. Dan itu semua, sama pemerintah dibilang radikal. Itu semua bakal dikasi stempel pemberontak, yang mau menguasai negara kita dan mengganti dasar negara pancasila."

"Tapi kan..."

"Lha trus bayangken! Kalo kamu sekarang mondok dan ngikut belajar agama sama kiai, terus jadi seperti mereka. Posisi Bapak sama Ibu kan bisa ikut bahaya. Bapak sama Ibu kan harus nurut sama pemerintah. Lha kok malah anaknya yang ikut-ikut demo ke pemerintah." Suara bapak sudah semakin menggelegar. Nada dasar yang digunakan pun semakin tinggi, begitu juga dengan pola pikirnya, yang tak terkejar oleh logika Riani yang masih jernih dengan segudang rencana masa depan.

Riani, hanyalah salah satu sosok anak perempuan yang terkekang cita-cita luhurnya untuk memperdalam ilmu agama Islam secara kafah. Dalam waktu dekat, dia akan menyelesaikan studi di bangku SMA. Pilihan jenjang studi selanjutnya akan sangat menentukan masa depannya yang masih sangat panjang. Dalam benak Riani, masuk ke universitas umum hanya akan menghasilkan ilmu-ilmu dunia. Pelajaran agama tidak diberikan dengan sangat detil di sekolah-sekolah seperti itu. Sementara nuraninya yang masih polos sudah mulai terketuk, bahwa pendidikan agama bagi seorang perempuan adalah bekal utama untuk menjadi seorang ibu yang baik. Karena bukan tidak mungkin, kalau Riani kuliah dan lulus nanti, dia hanya tinggal menunggu waktu untuk dinikahkan oleh jodoh pilihan Bapak.

Riani masuk ke dalam kamarnya. Pandangan matanya lebih memilih untuk menerawang membayangkan gelombang demo berjilid yang terjadi di ibu kota sana. Sekumpulan orang, komunitas, organisasi, yang semuanya menggunakan pakaian ala negeri Arab. Menandakan bahwa mereka semua muslim. Mereka bersatu atas nama ukhuwah islamiyyah. Beberapa orang yang memimpin gerakannya mengumbar orasi di atas panggung dan juga di mobil bak terbuka. Tidak ada yang salah dengan arus masa yang seiman itu. Bagi Riani, si anak SMA, itu sekedar kumpul layaknya demo biasa. Tapi entah kenapa, Ayah bilang itu bahaya.

Riani sejenak berbaring. Angannya membawa lamunannya semakin jauh ke Jakarta. Kalau diikuti dengan perjalanan fisik badannya, bisa habis ongkos ratusan ribu untuk naik kereta dari Jawa. Tanpa sadar, sedikit senyum tergambar di bibir Riani. Andai dia ada disana, bersama mas-mas dan mbak-mbak hijrah itu, pasti bakal ketemu banyak orang-orang terkenal. Artis-artis beken yang lagi ngetren berkomunitas. Dan yang pasti, kiai-kiai kondang yang sedang gencar meluruskan syariat islam. Ah, pasti adem ada di sana. Walaupun penuh berjejal peluh, tapi saudara seiman yang guyub akan menghadirkan atmosfer layaknya embun dingin yang menggerujuk kepala yang panas dengan urusan dunia. Pasti akan banyak teman, nambah saudara, sering sharing islami, dan....

"Nduk!" suara Ibu menarik lamunan Riani dari Jakarta kembali ke kamarnya.
"Nggih, Bu."
"Belum tidur?"
"Belum."
"Kamu pasti mikir omongan Bapakmu tadi to?"
"Iya, Bu. Bapak kenapa ngomong gitu to Bu? Riani ndak ngerti. Kan Riani cuman pengen belajar ngaji. Biar besok-besok ndak nyesel. Udah besar tapi cuman tau ilmu agama di kulitnya saja. Nantinya juga kan faedahnya buat Bapak sama Ibu juga kalau Riani paham agama."
"Ibu ngerti, nduk. Ibu ngerti banget jalan pikiranmu. Termasuk Ibu ngerti, kalau kamu pasti sudah mikir panjang soal kepengenmu belajar agama Islam dengan kafah ke pondok. Tapi kamu juga harus ngerti satu hal."
"Bapak?"
Ibu tersenyum. Senyuman hangat yang mengelus wajah sang putri.
"Bukan Bapak, tapi kamu harus ngerti dengan apa yang sedang terjadi di sekitar kita sekarang. Di tetangga kanan kiri kita. Di masyarakat kita. Di negara kita. Bapak itu cuman kebawa arus saja. Apa yang dia bilang ke kamu barusan, adalah apa yang dibilang orang-orang di kantor kepada Bapak."
"Nduk, kamu pasti udah ngerti sedikit-sedikit kalo Ibu ngobrol soal politik. Paling ndak kamu ngerti kalo sebentar lagi negara kita ini mau coblosan. Ibu ndak mudeng soal partai partaian. Ibu juga belom tau nanti mau milih sopo. Wong kampanye di tivi saja belom mulai kok. Tapi diluar sana, semua orang sepertinya sudah mulai membuat jurang pemisah, antara pendukung satu dengan yang lain.

Kebetulan, ada sekelompok orang yang jauh lebih paham soal agama, pengen meluruskan soal beragama yang benar dengan mengajak orang-orang yang maksiat untuk hijrah, kembali ke jalan Allah. Tapi yang seperti itu, kemudian disebut-sebut radikal. Pengen mengganti pancasila dengan syariat Islam. Sebenernya, ya, belom tentu. Mungkin mereka cuma pengen bicara soal agama buat dirinya dan kelompoknya sendiri, supaya hidupnya pada bener sesuai harapan gusti Allah. Kebetulan  aja, mereka yang ngumpul itu lama-lama tambah banyak, jadi disambungkan dengan soal coblosan tadi." Penjelasan yang nggrambyang dari Ibu dan sama sekali tak bersambut komentar dari Riani.

"Riani tetep ndak mudeng, Bu. Hubunganya pak presiden sama Riani pengen belajar ngaji apa to?"
"Nduk, kita itu tinggal di tempat yang banyak orang. Buaanyaak banget. Dan setiap orang itu boleh ngomong apa saja yang mereka pengen omongkan. Orang-orang juga boleh bersikap, bertindak, dan berperilaku, sesuai selera mereka masing-masing. Bapak misalnya, Bapak selama ini di kantor itu jadi orang yang sendika dawuh sama atasan. Bapak memilih jadi orang yang nurut sama aturan apapun yang dibuat sama atasannya. Trus kamu, kamu yang pengen belajar ngaji. Kamu pasti belajar ngaji juga kerana pengen nurut sama aturannya Gusti Allah, to? Nah, diluar sana, yang satu RT, satu RW, satu keluarahan, terus sampai se-Indonesia, banyak banget orang-orang model kamu, dan juga model Bapak. Sama persis kayak kalian berdua waktu ngobrol tadi. Bapak bilang kamu jangan bikin malu Bapak, karena di rumah ini Bapak sebagai kepala rumah tangga, harus tanggung jawab sama perilaku anggota-anggota keluarganya. Termasuk kamu, Nduk. Sementara kamu sendiri, ndak paham sama pikirannya Bapak. Soalnya kamu cuman mikir gimana caranya nyenengke gusti Allah, dengan ngikutin perintahNya dan mendalami pelajaran-pelajaran dari agamaNya. Cara yang kamu pilih, ya, mondok itu tadi. Bagi Bapak, kamu ngisin-ngisini, mbangkang wong tuo. Bagi Kamu, Bapak kok aneh sama Gusti Allah, apa ndak mikir perkara ahirat." Ibu sejenak menghentikan pejelasannya. Dipandanginya Riani yang sedikit tertunduk. Barangkali sejenak mencerna kalimat demi kalimat yang berderet.

"Trus, kalo kayak gini. Meurutmu sing salah sopo, Nduk?" Ibu mencoba menggali pola pikir anaknya. Sampai mana ia mampu mencerna.
"Ngapunten, Bu. Tapi kok menurut Riani, sebenernya ndak ada yang salah ya, Bu. Sebenernya dua-duanya bisa saja berjalan masing-masing. Bapak tetep nurut sama aturan atasan. Riani biar masuk pondok sendirian."

Jawaban Riani sejenak memuaskan Ibu. Ternyata anaknya cukup ikhlas mengosongkan gelas sebelum menerima ilmu yang baru.
"Kamu bisa bener, Nduk. Cuman, balik lagi, masalahnya ndak sekedar antara Bapak sama Kamu. Kan tadi ibu bilang, di luar sana, bakal berapa juta orang yang berbeda pendapat kayak Kamu dan Bapak tadi sore. Sementara, Ibu disini bisa menjelaskan kalo cuma ke satu orang. Di luar sana, apa iya ada ibu-ibu lain yang menjelaskan ke bapak dan anak yang berantem dengan masalah yang sebenernya sama."

"Nduk, ibu senenng banget, di usia kamu yang masih segini, kamu udah mikir bekal agama. Memang itu kebutuhan yang paling penting, karena dunia sudah mulai tua. Ibu mendukung sekali kalo kamu pengen belajar agama dengan lebih dalam dan detil, sehinga kamu bisa menjalankan syariatnya Gusti Allah dengan amanah. Cuma satu pesan Ibu, Kamu juga harus tau kalau agama diturunkan untuk membawa kebaikan. Bukan untuk membuat kita jadi merasa paling pinter dan paling soleh, lalu kita pakai untuk menghina dan merendahkan orang lain. Jangan sampai ilmu agama yang kamu pelajari nanti, menjadikan kamu berani menghakimi orang lain, yang mungkin, masih seneng hura-hura sama dunia. Kamu punya kewajiban untuk sebatas mengingatkan, bukan memaksa, apalagi sampai bertengkar gara-gara pandangan agama. Karena begitulah hakikatnya beragama."

"Bu, trus Bapak gimana?"

"Biar Ibu yang jelasken ke Bapak, seperti Ibu jelasken ke Kamu sekarang. Ibu juga pengen Bapak ngerti, kalau ndak semua yang belajar agama itu pasti bakal jadi pembangkang sama orang tua atau keluarga besarnya. Justru kalau orang belajar agama dengan baik, orang pasti akan menghormati sesamanya, apalagi orang tuanya. Biar Ibu yang jelaskann ke bapakmu, kalau nurut ke Gusti Allah itu penting. Sama pentingnya seperti yang dilakukan Bapak nurut ke ndoro-nya di kantor. Justru itu akan jadi nilai baik buat Bapak di mata atasannya, karena Bapak sebagai pemimpin rumah tangga, bisa mendidik anaknya menjadi anak soleh, yang nurut sama gusti Allah, dan Insya Allah pasti akan nurut sama orang tua."

Percakapan Ibu dan Riani berakhir dengan pelukan hangat penghantar tidur. Sebuah dialog tentang 'ingin' yang terhalang 'opini'. Riani hanyalah satu dari beberapa anak yang menahan inginnya untuk melangkah mengerti lebih dalam tentang pesantrennya, karena sosok 'ayah' yang mengawasi dengan kacamata radikalisme. Riani hanya ingin belajar mengaji. Demikian juga sang ayah, yang tak ingin punya anak-anak durhaka.
Indonesia diluar sana, di masa yang akan datang, adalah Riani dan ayahnya yang ingin didamaikan dengan pelukan santun sang ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun