Mohon tunggu...
Rahma Roshadi
Rahma Roshadi Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer Bahagia

Penikmat tulisan dan wangi buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Riani Ingin Belajar Mengaji

17 Maret 2019   14:50 Diperbarui: 17 Maret 2019   15:04 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kebetulan, ada sekelompok orang yang jauh lebih paham soal agama, pengen meluruskan soal beragama yang benar dengan mengajak orang-orang yang maksiat untuk hijrah, kembali ke jalan Allah. Tapi yang seperti itu, kemudian disebut-sebut radikal. Pengen mengganti pancasila dengan syariat Islam. Sebenernya, ya, belom tentu. Mungkin mereka cuma pengen bicara soal agama buat dirinya dan kelompoknya sendiri, supaya hidupnya pada bener sesuai harapan gusti Allah. Kebetulan  aja, mereka yang ngumpul itu lama-lama tambah banyak, jadi disambungkan dengan soal coblosan tadi." Penjelasan yang nggrambyang dari Ibu dan sama sekali tak bersambut komentar dari Riani.

"Riani tetep ndak mudeng, Bu. Hubunganya pak presiden sama Riani pengen belajar ngaji apa to?"
"Nduk, kita itu tinggal di tempat yang banyak orang. Buaanyaak banget. Dan setiap orang itu boleh ngomong apa saja yang mereka pengen omongkan. Orang-orang juga boleh bersikap, bertindak, dan berperilaku, sesuai selera mereka masing-masing. Bapak misalnya, Bapak selama ini di kantor itu jadi orang yang sendika dawuh sama atasan. Bapak memilih jadi orang yang nurut sama aturan apapun yang dibuat sama atasannya. Trus kamu, kamu yang pengen belajar ngaji. Kamu pasti belajar ngaji juga kerana pengen nurut sama aturannya Gusti Allah, to? Nah, diluar sana, yang satu RT, satu RW, satu keluarahan, terus sampai se-Indonesia, banyak banget orang-orang model kamu, dan juga model Bapak. Sama persis kayak kalian berdua waktu ngobrol tadi. Bapak bilang kamu jangan bikin malu Bapak, karena di rumah ini Bapak sebagai kepala rumah tangga, harus tanggung jawab sama perilaku anggota-anggota keluarganya. Termasuk kamu, Nduk. Sementara kamu sendiri, ndak paham sama pikirannya Bapak. Soalnya kamu cuman mikir gimana caranya nyenengke gusti Allah, dengan ngikutin perintahNya dan mendalami pelajaran-pelajaran dari agamaNya. Cara yang kamu pilih, ya, mondok itu tadi. Bagi Bapak, kamu ngisin-ngisini, mbangkang wong tuo. Bagi Kamu, Bapak kok aneh sama Gusti Allah, apa ndak mikir perkara ahirat." Ibu sejenak menghentikan pejelasannya. Dipandanginya Riani yang sedikit tertunduk. Barangkali sejenak mencerna kalimat demi kalimat yang berderet.

"Trus, kalo kayak gini. Meurutmu sing salah sopo, Nduk?" Ibu mencoba menggali pola pikir anaknya. Sampai mana ia mampu mencerna.
"Ngapunten, Bu. Tapi kok menurut Riani, sebenernya ndak ada yang salah ya, Bu. Sebenernya dua-duanya bisa saja berjalan masing-masing. Bapak tetep nurut sama aturan atasan. Riani biar masuk pondok sendirian."

Jawaban Riani sejenak memuaskan Ibu. Ternyata anaknya cukup ikhlas mengosongkan gelas sebelum menerima ilmu yang baru.
"Kamu bisa bener, Nduk. Cuman, balik lagi, masalahnya ndak sekedar antara Bapak sama Kamu. Kan tadi ibu bilang, di luar sana, bakal berapa juta orang yang berbeda pendapat kayak Kamu dan Bapak tadi sore. Sementara, Ibu disini bisa menjelaskan kalo cuma ke satu orang. Di luar sana, apa iya ada ibu-ibu lain yang menjelaskan ke bapak dan anak yang berantem dengan masalah yang sebenernya sama."

"Nduk, ibu senenng banget, di usia kamu yang masih segini, kamu udah mikir bekal agama. Memang itu kebutuhan yang paling penting, karena dunia sudah mulai tua. Ibu mendukung sekali kalo kamu pengen belajar agama dengan lebih dalam dan detil, sehinga kamu bisa menjalankan syariatnya Gusti Allah dengan amanah. Cuma satu pesan Ibu, Kamu juga harus tau kalau agama diturunkan untuk membawa kebaikan. Bukan untuk membuat kita jadi merasa paling pinter dan paling soleh, lalu kita pakai untuk menghina dan merendahkan orang lain. Jangan sampai ilmu agama yang kamu pelajari nanti, menjadikan kamu berani menghakimi orang lain, yang mungkin, masih seneng hura-hura sama dunia. Kamu punya kewajiban untuk sebatas mengingatkan, bukan memaksa, apalagi sampai bertengkar gara-gara pandangan agama. Karena begitulah hakikatnya beragama."

"Bu, trus Bapak gimana?"

"Biar Ibu yang jelasken ke Bapak, seperti Ibu jelasken ke Kamu sekarang. Ibu juga pengen Bapak ngerti, kalau ndak semua yang belajar agama itu pasti bakal jadi pembangkang sama orang tua atau keluarga besarnya. Justru kalau orang belajar agama dengan baik, orang pasti akan menghormati sesamanya, apalagi orang tuanya. Biar Ibu yang jelaskann ke bapakmu, kalau nurut ke Gusti Allah itu penting. Sama pentingnya seperti yang dilakukan Bapak nurut ke ndoro-nya di kantor. Justru itu akan jadi nilai baik buat Bapak di mata atasannya, karena Bapak sebagai pemimpin rumah tangga, bisa mendidik anaknya menjadi anak soleh, yang nurut sama gusti Allah, dan Insya Allah pasti akan nurut sama orang tua."

Percakapan Ibu dan Riani berakhir dengan pelukan hangat penghantar tidur. Sebuah dialog tentang 'ingin' yang terhalang 'opini'. Riani hanyalah satu dari beberapa anak yang menahan inginnya untuk melangkah mengerti lebih dalam tentang pesantrennya, karena sosok 'ayah' yang mengawasi dengan kacamata radikalisme. Riani hanya ingin belajar mengaji. Demikian juga sang ayah, yang tak ingin punya anak-anak durhaka.
Indonesia diluar sana, di masa yang akan datang, adalah Riani dan ayahnya yang ingin didamaikan dengan pelukan santun sang ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun