Lunturnya nilai sakral tersebut tak heran mendorong beragam upaya lain untuk semakin mendestruksi sayang, salah satunya adalah dengan pengecewaan-pengecewaan yang dengan sengaja makin digembar-gemborkan.
Ironis memang, di masa krisis saat peradaban tengah membutuhkan "sayang" sebagai sebuah konsep teorertis dan praksis yang utuh dan adiluhung namun pada realitanya "sayang" tak cukup mampu memberikan sumbangsih yang terlalu besar untuk dapat membuat interaksi sosial yang terjadi di masyarakat menjadi lebih aman dan tentram. Kohesifitas sosial kini amat sukar ditemui, perdebatan, pertikaian, dan permusuhanlah yang malah mendominasi.
Menyikapi kejadian memilukan itu, sayang belum mampu kembali bangkit dan menunjukan tajinya sebagai perekat bagi setiap insan agar mampu menjadi pribadi yang toleran, saling menghargai, dan berjiwa gotong royong. Cukup mengenaskan memang, degradasi nilai sayang menjadi sekedar "Sayang-sayangan" yang semu manfaatnya kiranya dapat memberikan bahan refleksi guna mencari makna sejati dari kata "sayang" ini.
Tanda bahaya ini juga sepatutnya mengingatkan kita bahwa jangan sampai makna "sayang" sebagai sebuah konsep mulia tentang kebersamaan, kehangatan, dan keharmonisan hilang artinya dalam setiap kamus peradaban manusia. Jangan sampai di hari nanti hanya terdapat satu makna tunggal tentang "sayang" yang tak lain artinya adalah kasihan dan penyesalan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H