Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Perihal Sayang-sayangan

24 Maret 2021   22:26 Diperbarui: 24 Maret 2021   22:42 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Pexels

Mengetengahkan persoalan pada hal yang mungkin dikatakan oleh orang-orang sebagai urusan remeh temeh, persoalan anak muda, dan ihwal berbau perbucinan menjadikan pembahasan tentang sayang menjadi sesuatu yang tidak mudah dan sangat subjektif. Meskipun demikian, tentu saja pada hakikatnya sayang merupakan nilai luhur yang selayak dan sepatutnya ditempatkan pada tempat yang agung.

Lantas mengapa belakangan ini nilai tersebut amat terseok-seok di dalam arus peradaban manusia yang mengetengahkan sayang sebagai urusan nomor sekian dari yang sekian? Seringkali orang mendefinisikan perihal sayang hanya pada tataran terendah yang mampu mereka tafsirkan. 

Gagasan tersebut hadir manakala dalam proses pendefinisian sayang sekedar dilakukan dari proses pengamatan sekilas tentang fenomena "bucin" yang akhir-akhir ini makin merebak di masyarakat.

Memang kiranya fenomena tersebut menjadi bukti faktual bahwa dalam yang senyata-nyata itulah fakta seputar sayang di alam kekinian. Melihat kondisi ini, maka haruslah pembahasan-pembahasan yang menyasar pada pengembalian marwah sayang perlu untuk mendapat perhatian  untuk memperluas permaknaaannya, dan memperdalam tafsirannya. 

Sayang sebagai nilai yang sakral memegang peran vital dalam laju peradaban umat manusia. Sayang yang merupakan bentuk dari rasa peduli dan manifestasi hati nurani inilah yang membuat mengapa seorang ibu dapat begitu sabar dalam mengasuh sebagaimanapun bandel anaknya.

Rasa sayang yang membuat mengapa konferensi perdamaian dunia di tengah situasi krisis perang dunia pertama itu kemudian diadakan. Rasa sayanglah yang membuat para pendiri bangsa ini rela diasingkan ke Boven Digul dan Flores demi sebuah kata "merdeka" yang kita dengan santai nikmati hari ini. Rasa sayang jugalah yang membuat para negarawan, agamawan, dan masyarakat banyak berkorban perasaan demi menjaga kedaulatan bangsa dan negara.

Betapa besar dan mulia sebetulnya kata "sayang" jika kita kemudian memperluas cara pandang dan ruang lingkup bahasannya. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa ihwal sayang yang kekinian, oleh banyak orang terlalu sering dipersempit dan dikerucutkan maknanya pada sesuatu yang bersifat hubungan percintaan antar pasangan semata.

Tak bisa dipungkiri juga memang kala setiap kita berinteraksi baik itu dalam dunia nyata ataupun dunia virtual, banyak ditemukan fenomena sayang-sayangan yang pada akhirnya mau tidak mau dan secara tidak sadar membuat kita mengikuti arus yang seperti orang kebanyakan pikirkan dan lakukan tentang sayang. 

Tren kaula muda yang terlihat fasih mengumbar "sayang" di jagat media sosial cukup memberikan dampak bagi munculnya budaya baru yang terkesan mengobral sayang dan bahkan mengkomersialisasi sayang itu sendiri.

Kita sering melihat "Sayang-sayangan" jenis baru hampir di seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, beberapa contoh sayang yang dikomersialisasikan ini makin menjamur di industri perfilman, musik dan serial sinetron yang makin banyak variannya itu. Sayang juga telah merebak dalam industri makanan dan minuman zaman now dalam bentuk quotes yang memanjakan untuk menjadi bahan rayuan dan kemudian di upload ke media sosial.

Meskipun terdapat banyak persoalan dan perdebatan mengenai apakah hakikat sayang tereduksi atau justru makin terkonstruksi dari apa yang terjadi hari ini, namun kita tentu saja tidak dapat menutup diri bahwa nilai kesakralan yang melekat padanya menjadi semakin kurang begitu terasa. 

Lunturnya nilai sakral tersebut tak heran mendorong beragam upaya lain untuk semakin mendestruksi sayang, salah satunya adalah dengan pengecewaan-pengecewaan yang dengan sengaja makin digembar-gemborkan.

Ironis memang, di masa krisis saat peradaban tengah membutuhkan "sayang" sebagai sebuah konsep teorertis dan praksis yang utuh dan adiluhung namun pada realitanya "sayang" tak cukup mampu memberikan sumbangsih yang terlalu besar untuk dapat membuat interaksi sosial yang terjadi di masyarakat menjadi lebih aman dan tentram. Kohesifitas sosial kini amat sukar ditemui, perdebatan, pertikaian, dan permusuhanlah yang malah mendominasi.

Menyikapi kejadian memilukan itu, sayang belum mampu kembali bangkit dan menunjukan tajinya sebagai perekat bagi setiap insan agar mampu menjadi pribadi yang toleran, saling menghargai, dan berjiwa gotong royong. Cukup mengenaskan memang, degradasi nilai sayang menjadi sekedar "Sayang-sayangan" yang semu manfaatnya kiranya dapat memberikan bahan refleksi guna mencari makna sejati dari kata "sayang" ini.

Tanda bahaya ini juga sepatutnya mengingatkan kita bahwa jangan sampai makna "sayang" sebagai sebuah konsep mulia tentang kebersamaan, kehangatan, dan keharmonisan hilang artinya dalam setiap kamus peradaban manusia. Jangan sampai di hari nanti hanya terdapat satu makna tunggal tentang "sayang" yang tak lain artinya adalah kasihan dan penyesalan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun