Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berdamai dengan Penyesalan

28 Juni 2020   21:45 Diperbarui: 30 Juni 2020   01:00 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/BldrJanet

Setiap perjalanan hidup selalu diiringi dengan banyak lika-liku. Kehidupan selalu berhadapan dengan ketidakpastian dan ketidaksesuaian. Hidup sebagai bagian integral dari kehidupan hadir dan membawa takdir ilahi yang bertolak belakang dengan hakikatnya sendiri yaitu mati.

Sebagai antitesis dari hidup, mati memiliki sifat lahiriah yang sejak awal mula peradaban manusia lekat dengan rasa sakit dan kepedihan.

Kematian sebagai hal paling berat yang rasanya banyak ditakuti setiap makhluk hidup telah menjadi bagian dari kehidupan yang tidak dapat dihindari. Sejak dahulu kematian selalu digambarkan mengerikan dari segala hal ihwal yang ada di muka bumi.

Akan tetapi, belakangan setelah kembali merenung dan merefleksi diri soal hal terberat dalam laku hidup manusia, kira-kira betulkah kematian menjadi hal terberat?

Satu hal lain kemudian terlintas dalam benak, sesuatu yang mampu menjadi pesaing kematian sebagai hal terberat dalam hidup manusia. Ya, itulah penyesalan.

Kita semua tentunya pernah dan sering menyesal terhadap sebuah perkara baik itu ringan maupun berat. Penyesalan sama seperti kematian merupakan takdir manusia yang tak dapat dihindari. Niscaya setiap manusia selalu lekat dengan penyesalan.

Penyesalan bagi sebagian besar orang bahkan ditasbihkan sebagai tantangan dalam hidup yang terberat. Saya sepakat dengan argumen tersebut. Kita selama ini telah banyak melihat kisah-kisah penyesalan ini yang juga banyak tergambar dalam kisah nyata keseharian kita ataupun dalam rekaan film maupun dongeng.

Dari cerita-cerita tersebut terlihat dan terdengar betapa penyesalan amat begitu menyiksa, melukai, dan tak sedikit yang tak dapat menanggungnya kemudian memilih kematian sebagai jalan lebih mudah untuk dilalui.

Perihal penyesalan kita mungkin sering mendegar istilah "Hal termahal di dunia ini adalah waktu, karena waktu tidak dapat diulang". Istilah tersebut memang benar adanya, kemahalan sebuah waktu tidak dapat terbayarkan oleh seberapa besarpun uang dan harta. Waktu merupakan raja dari segala harta. Hanyalah waktu yang tidak dapat diajak bernegosiasi.

Jika saja ada sebuah survei tentang keinginan terbesar setiap manusia, saya rasa akan banyak orang yang berkeinginan untuk kembali ke masa lalu untuk memperbaiki setiap kesalahannya.

Kealpaan dan kesalahan membuat manusia tahu akan pentingnya memperbaiki diri, dan jika saja ada kesempatan untuk itu dengan kembali ke masa lalu, tentu orang-orang akan berbondong-bondong melakukan perjalanan waktu tersebut.

Dalam hidup penyesalan tidak dapat dipungkiri sangat menyakitkan dan memilukan. Rasa penyesalan yang mendalam tak sedikit membuat obsesi untuk kembali ke masa lalu membumbung tinggi di benak setiap orang, namun kenyataan tetap teguh pada pendirian bahwa mustahil merubah kejadian yang telah terjadi selain dengan memperbaikinya di masa kini.

Di sini kemudian muncul pertanyaan, apakah setiap orang punya kemampuan "memperbaiki" tersebut? Faktanya tidak sedikit orang yang frustasi karena tak dapat berbuat banyak atas segala kesalahannya.

Waktu dan kondisi yang ada saat ini seolah tidak memberikan ruang dan waktu untuk dapat melakukan usaha-usaha "perbaikan" tersebut. Sehingga mereka yang kurang kuat justru kembali kalah dalam usaha perbaikannya, dan pada akhirnya menyesal untuk kedua kalinya.

Kejadian reproduksi penyesalan tersebut banyak terjadi sebagai imbas lemahnya modal untuk "memperbaiki diri". Mereka yang kekurangan modal ini kewalahan dalam proses mengupayakan kehidupan yang lebih baik dengan segala tantangannya sambil di satu sisi menanggung luka lama yang masih menganga. Menjalani kehidupan yang penuh ketidakpastian sembari menahan rasa sesal jelas bukan hal yang bisa dengan mudah dilalui.

Kesepakatan saya tentang penyesalan sebagai hal yang berat tentu cukup rasional untuk dikatakan sebagai hal yang benar. Buktinya perasaan menyesal selalu membuat pikiran dan perasaan menjadi tidak karuan.

Kemampuan daya nalar untuk mendayagunakan akal sehat juga ikut terhambat. Sebagai orang yang pernah, sering, dan memiliki banyak penyesalan tentu saya telah merasakan kesusahan dan betapa beratnya hal ini.

Meskipun ihwal penyesalan sifatnya subjektif, tetapi dugaan saya tentang beratnya penyesalan bisa saja diamini oleh banyak orang. Lepas dari gejala teknis penyesalan, secara substantif tentu saja penyesalan hadir tidak dengan hanya membawa rasa sakit, penyesalan juga datang dengan segudang makna yang perlu untuk direngkuh keniscayaannya.

Penyesalan seolah berperan sebagai alarm atas eksistensi kemanusiaan manusia. Orang yang menyesal adalah manusia yang semurni-murninya manusia. Ia masih bisa merasa dan berhati nurani.

Penyesalan sebagai bentuk afirmasi ketidaksempurnaan manusia membuat manusia itu sendiri paham dan mau menerima ketidaksempurnaannya baik itu dalam tindakan maupun pemikiran. Aspek terpenting dari penyesalan adalah bagaimana ke depannya hal yang selama ini kita sesali tidak menjadi semakin membesar.

Merelakan hal yang telah terjadi dapat menjadi kunci bagi jiwa dan pikiran agar dapat berdamai dengan penyesalan. Kata "berdamai" sepertinya lebih tepat disandingkan dengan penyesalan dibandingkan "menghilangkan".

Pada dasarnya penyesalan perlu tetap ada dalam diri manusia sebagai pengingat akan sifat dasarnya yang lekat akan salah dan alpa. Tentu baiknya kita berpikir tentang bagaimana upaya agar tidak kembali membuat penyesalan baru, daripada mencoba merubah hal yang telah terjadi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun