Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berdamai dengan Penyesalan

28 Juni 2020   21:45 Diperbarui: 30 Juni 2020   01:00 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/BldrJanet

Dalam hidup penyesalan tidak dapat dipungkiri sangat menyakitkan dan memilukan. Rasa penyesalan yang mendalam tak sedikit membuat obsesi untuk kembali ke masa lalu membumbung tinggi di benak setiap orang, namun kenyataan tetap teguh pada pendirian bahwa mustahil merubah kejadian yang telah terjadi selain dengan memperbaikinya di masa kini.

Di sini kemudian muncul pertanyaan, apakah setiap orang punya kemampuan "memperbaiki" tersebut? Faktanya tidak sedikit orang yang frustasi karena tak dapat berbuat banyak atas segala kesalahannya.

Waktu dan kondisi yang ada saat ini seolah tidak memberikan ruang dan waktu untuk dapat melakukan usaha-usaha "perbaikan" tersebut. Sehingga mereka yang kurang kuat justru kembali kalah dalam usaha perbaikannya, dan pada akhirnya menyesal untuk kedua kalinya.

Kejadian reproduksi penyesalan tersebut banyak terjadi sebagai imbas lemahnya modal untuk "memperbaiki diri". Mereka yang kekurangan modal ini kewalahan dalam proses mengupayakan kehidupan yang lebih baik dengan segala tantangannya sambil di satu sisi menanggung luka lama yang masih menganga. Menjalani kehidupan yang penuh ketidakpastian sembari menahan rasa sesal jelas bukan hal yang bisa dengan mudah dilalui.

Kesepakatan saya tentang penyesalan sebagai hal yang berat tentu cukup rasional untuk dikatakan sebagai hal yang benar. Buktinya perasaan menyesal selalu membuat pikiran dan perasaan menjadi tidak karuan.

Kemampuan daya nalar untuk mendayagunakan akal sehat juga ikut terhambat. Sebagai orang yang pernah, sering, dan memiliki banyak penyesalan tentu saya telah merasakan kesusahan dan betapa beratnya hal ini.

Meskipun ihwal penyesalan sifatnya subjektif, tetapi dugaan saya tentang beratnya penyesalan bisa saja diamini oleh banyak orang. Lepas dari gejala teknis penyesalan, secara substantif tentu saja penyesalan hadir tidak dengan hanya membawa rasa sakit, penyesalan juga datang dengan segudang makna yang perlu untuk direngkuh keniscayaannya.

Penyesalan seolah berperan sebagai alarm atas eksistensi kemanusiaan manusia. Orang yang menyesal adalah manusia yang semurni-murninya manusia. Ia masih bisa merasa dan berhati nurani.

Penyesalan sebagai bentuk afirmasi ketidaksempurnaan manusia membuat manusia itu sendiri paham dan mau menerima ketidaksempurnaannya baik itu dalam tindakan maupun pemikiran. Aspek terpenting dari penyesalan adalah bagaimana ke depannya hal yang selama ini kita sesali tidak menjadi semakin membesar.

Merelakan hal yang telah terjadi dapat menjadi kunci bagi jiwa dan pikiran agar dapat berdamai dengan penyesalan. Kata "berdamai" sepertinya lebih tepat disandingkan dengan penyesalan dibandingkan "menghilangkan".

Pada dasarnya penyesalan perlu tetap ada dalam diri manusia sebagai pengingat akan sifat dasarnya yang lekat akan salah dan alpa. Tentu baiknya kita berpikir tentang bagaimana upaya agar tidak kembali membuat penyesalan baru, daripada mencoba merubah hal yang telah terjadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun