Lalu jika pra pandemi saja masyarakat telah keberatan untuk membayar uang kuliah, bagaimana dengan kondisi mereka di tengah ekonomi sulit seperti sekarang ini? Â
Dari awal masuknya pandemi ini ke Indonesia sebetulnya sudah banyak tuntutan dari mahasiswa agar pemerintah dan instansi pendidikan tinggi untuk mengurangi atau menggratiskan biaya kuliah.Â
Hampir seluruh mahasiswa di seantero nusantara menyerukan hal yang sama. Tuntutan untuk mengurangi atau bahkan menggratiskan biaya kuliah tentu saja cukup rasional, selain karena ekonomi masyarakat yang sedang lemah, aktivitas kuliah daring yang selama ini dilakukan praktis tidak sama sekali membuat para mahasiswa menikmati fasilitas kampus seperti lab, kelas, aula, internet, dan kegiatan kuliah tatap muka lainnya.
Perguruan tinggi pun sebagai instansi pada situasi pandemi juga praktis mengalami penurunan pengeluaran seperti perawatan fasilitas, praktikum, seminar, dan agenda kampus lainnya.Â
Hal ini pun tentu saja seharusnya membuat kampus lebih banyak menyimpan uang dari yang seharusnya dikeluarkan pada tahun ajaran ini. Mahasiswa dengan melihat kondisi tersebut jelas wajar meminta kampus untuk mengurangi biaya kuliah, dan sudah sepatutnya juga pihak kampus untuk dapat mengabulkan permintaan mahasiswa ini.
Sekurang-kurangnya dari penjelasan di atas saya merangkum ada tiga alasan tuntutan penurunan uang kuliah dari mahasiswa ini menjadi sangat rasional dan perlu untuk dilaksanakan oleh pemerintah dan instansi, pertama adalah mengenai lemahnya ekonomi masyarakat. Kedua, mahasiswa tidak banyak menikmati fasilitas kampus. Ketiga, pengeluaran dari kampus juga lebih minimal. Â
Sebagai tambahan, soal-soal etis juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dan perguruan tinggi tentang penurunan biaya kuliah. Tentu saja pendidikan sebagai hak masyarakat serta dijamin oleh konstitusi perlu dipenuhi oleh negara dengan tidak membebani masyarakat.Â
Belakangan memang muncul angin segar lewat adanya permendikbud nomor 25 Tahun 2020 tentang pemberian keringanan uang kuliah tunggal (UKT), namun dalam amatan saya peraturan ini tidak tegas, karena lebih banyak bermuatan imbauan dibanding ketetapan sikap pemerintah dalam membantu meringankan beban masyarakat.
Peraturan tidak tegas dari pemerintah ini akan berdampak pada ketidakbijakan perguruan tinggi pula dalam mengambil sikap. Buktinya hingga sekarang, di tengah masa pembayaran UKT mahasiswa di beberapa kampus sudah menjelang akhir, peraturan menteri tersebut belum digubris oleh banyak kampus.Â
Adapun kampus yang merespon, tetapi hasilnya seperti yang ditakutkan oleh mahasiswa masyarakat, yaitu kebijakan kampus tetap saja tidak memuaskan mahasiswa kebanyakan meminta sekurang-kurangnya pengurangan 50% UKT.
Liberalisasi pendidikan tinggi dengan fokus utama mencari profit tentu melukai harapan besar masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi. Apalagi di masa pandemi, setidaknya jika belum banyak masyarakat yang berkesempatan untuk berkuliah, maka jangan sampai mereka yang telah berkuliah malah harus berhenti di tengah jalan hanya karena mereka tidak dapat membayar beban kuliah.Â