Belakangan ini pemerintah mulai kelihatannya mulai merubah strategi perang melawan virus corona dengan pendekatan yang lebih longgar. Pelonggaran pemberlakuan PSBB di beberapa daerah telah dilakukan bahkan di daerah yang termasuk zona berbahaya seperti Jabodetabek, Jawa Timur, dan Jawa Barat.Â
Sejalan dengan kebijakan tersebut pemerintah berdalih bahwa sudah saatnya masyarakat "berdamai" dengan virus corona yang sampai saat ini belum pula ditemukan vaksinnya. Pertimbangan pemerintah ini juga dikaitkan dengan upaya mengurangi dampak kemerosotan ekonomi agar tidak semakin memburuk.
Slogan new normal kemudian menjadi hits yang terus menerus didengungkan oleh pemerintah agar masyarakat bisa mulai kembali melakukan aktivitas kesehariannya namun dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.Â
New normal memungkinkan banyak sektor untuk kembali beraktivitas seperti industri, perkantoran, pasar, pariwisata, dan dunia pendidikan. Terkhusus dalam dunia pendidikan, kebijakan new normal dapat memberikan akses terhadap sekolah dan perguruan tinggi untuk kembali menjalankan proses pendidikan secara tatap muka.
Dalam ranah pendidikan adanya kebijakan new normal ini yang hanya berfokus kepada pembukaan sekolah tidak cukup banyak memberi manfaat. Mengapa demikian?Â
Di masa pandemi seperti ini, pembukaan sekolah yang memungkinkan adanya kerumunan dalam jumlah besar malah justru membahayakan terhadap para pelajar kita untuk terpapar virus corona. Selain itu pembukaan sekolah di masa pandemi dikhawatirkan dapat menjadi area baru kluster dari penyebaran virus.
Terlepas dari bahaya virus corona kebijakan new normal dalam dunia pendidikan semestinya juga lebih jauh memikirkan tentang bagaimana orang tua dan para pelajar agar tetap terus bisa melanjutkan belajarnya baik di tingkat pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi.Â
Hal ini justru menjadi topik penting yang juga tidak boleh dilupakan oleh pemerintah dan instansi terkait karena seperti yang diketahui bersama bahwa pandemi ini telah menyebabkan kelumpuhan ekonomi yang cukup parah dan salah satunya yang paling berdampak kepada masyarakat adalah penurunan jumlah penghasilan.
Realitas masyarakat yang mengalami penurunan bahkan kehilangan penghasilan akan berdampak pula pada kesanggupan untuk membayar biaya pendidikan.Â
Jenjang pendidikan dasar dan menengah  negeri mungkin tidak terlalu dipusingkan dengan beban biaya pendidikan karena sebagian besar ditanggung oleh pemerintah, namun bagaimana dengan biaya kuliah di pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta yang terkenal mahal?  Â
Jika kita melihat ke belakang bahkan sebelum pandemi corona hadir, banyak masyarakat yang menilai bahwa biaya untuk kuliah sangatlah mahal. Tak heran jika banyak masyarakat yang berpikir seribu kali untuk memasukan anaknya ke bangku perkuliahan, alasan utamanya tak lain karena takut tidak dapat membayar anaknya kuliah hingga tuntas.Â
Lalu jika pra pandemi saja masyarakat telah keberatan untuk membayar uang kuliah, bagaimana dengan kondisi mereka di tengah ekonomi sulit seperti sekarang ini? Â
Dari awal masuknya pandemi ini ke Indonesia sebetulnya sudah banyak tuntutan dari mahasiswa agar pemerintah dan instansi pendidikan tinggi untuk mengurangi atau menggratiskan biaya kuliah.Â
Hampir seluruh mahasiswa di seantero nusantara menyerukan hal yang sama. Tuntutan untuk mengurangi atau bahkan menggratiskan biaya kuliah tentu saja cukup rasional, selain karena ekonomi masyarakat yang sedang lemah, aktivitas kuliah daring yang selama ini dilakukan praktis tidak sama sekali membuat para mahasiswa menikmati fasilitas kampus seperti lab, kelas, aula, internet, dan kegiatan kuliah tatap muka lainnya.
Perguruan tinggi pun sebagai instansi pada situasi pandemi juga praktis mengalami penurunan pengeluaran seperti perawatan fasilitas, praktikum, seminar, dan agenda kampus lainnya.Â
Hal ini pun tentu saja seharusnya membuat kampus lebih banyak menyimpan uang dari yang seharusnya dikeluarkan pada tahun ajaran ini. Mahasiswa dengan melihat kondisi tersebut jelas wajar meminta kampus untuk mengurangi biaya kuliah, dan sudah sepatutnya juga pihak kampus untuk dapat mengabulkan permintaan mahasiswa ini.
Sekurang-kurangnya dari penjelasan di atas saya merangkum ada tiga alasan tuntutan penurunan uang kuliah dari mahasiswa ini menjadi sangat rasional dan perlu untuk dilaksanakan oleh pemerintah dan instansi, pertama adalah mengenai lemahnya ekonomi masyarakat. Kedua, mahasiswa tidak banyak menikmati fasilitas kampus. Ketiga, pengeluaran dari kampus juga lebih minimal. Â
Sebagai tambahan, soal-soal etis juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dan perguruan tinggi tentang penurunan biaya kuliah. Tentu saja pendidikan sebagai hak masyarakat serta dijamin oleh konstitusi perlu dipenuhi oleh negara dengan tidak membebani masyarakat.Â
Belakangan memang muncul angin segar lewat adanya permendikbud nomor 25 Tahun 2020 tentang pemberian keringanan uang kuliah tunggal (UKT), namun dalam amatan saya peraturan ini tidak tegas, karena lebih banyak bermuatan imbauan dibanding ketetapan sikap pemerintah dalam membantu meringankan beban masyarakat.
Peraturan tidak tegas dari pemerintah ini akan berdampak pada ketidakbijakan perguruan tinggi pula dalam mengambil sikap. Buktinya hingga sekarang, di tengah masa pembayaran UKT mahasiswa di beberapa kampus sudah menjelang akhir, peraturan menteri tersebut belum digubris oleh banyak kampus.Â
Adapun kampus yang merespon, tetapi hasilnya seperti yang ditakutkan oleh mahasiswa masyarakat, yaitu kebijakan kampus tetap saja tidak memuaskan mahasiswa kebanyakan meminta sekurang-kurangnya pengurangan 50% UKT.
Liberalisasi pendidikan tinggi dengan fokus utama mencari profit tentu melukai harapan besar masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi. Apalagi di masa pandemi, setidaknya jika belum banyak masyarakat yang berkesempatan untuk berkuliah, maka jangan sampai mereka yang telah berkuliah malah harus berhenti di tengah jalan hanya karena mereka tidak dapat membayar beban kuliah.Â
Sudah saatnya masa "new normal" ini menjadi momentum bagi pendidikan tinggi untuk menjawab keraguan masyarakat selama ini, apakah lembaga ini bertujuan mencetak generasi unggul atau bertujuan mencetak banyak harta dan untung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H