Hari-hari setelah memasuki semester tujuh, para anggota senior ikhwan mistis masih dirundung ketakutan dan kegelisahan. Banyak dari mereka yang termenung di kantin belakang kampus sambil sesekali melihat ke arah asrama putri, mungkin untuk sedikit mencari ketenangan. Akan tetapi tetap saja, beban hanya hilang sesaat lalu kembali menggerayangi pikiran mereka, membenamkannya dalam rasa penuh ketidakpastian.
Apalagi bagi kaum ikhwan mistis proletar, beban yang dirasakan menjadi sangat bertambah dengan jalan pikiran yang bercabang. Ya, persoalan yang menjadi beban ini tak lain adalah cerita klasik para mahasiswa, yaitu pembayaran semester atau yang sekarang lebih tren disebut uang kuliah tunggal (UKT). Mereka merasa sangat keberatan untuk membayarkan iuran wajib ini karena jumlahnya yang tidak sedikit, bahkan banyak diantara mereka yang orang tuanya harus terpaksa menjual serta menggadai ini dan itu hanya untuk mengenyam pendidikan yang sebetulnya sudah dijamin oleh konstitusi.
Wahyu, Ical, Dede, dan sejumlah ikhwan mistis proletar sering bertukar nasib, saling berbagi cerita tentang kepedihan hidup, dan kebingungan mencari pembiayaan UKT untuk semester depan. Selain itu, ikhwan borjuis dengan rasa solidaritas tinggi juga tak segan untuk ikut guyub dalam perbincangan yang sebenarnya menjadi musuh bersama bagi setiap mahasiswa dan masyarakat secara umum.
Sambil menundukan wajah Izal berkata "Gua juga bingung semester depan mau bayar UKT gimana, bapak gua kena PHK 5 bulan lalu"
"Wah wah, tapi pas bayar UKT jumlahnya tetep kaya dulu kan jumlahnya?" Tanya Bursh
"Iya Bursh, tetep aja, lucu aja katanya bayar kuliah itu kan sesuai sama kemampuan orang tua, nah sekarang orang tua gua penghasilannya turun dari sebelumnya, tapi kenapa tetep aja UKT yang harus dibayarnya sama? Udah bilang ke kampus, katanya nggak bisa turun, paling dikasih tenggat waktu pembayaran lebih lama aja!"
"Iya Zal, emang bener kalo masalah terkait pengurangan biaya semester itu belum ada solusi konkrit yang bener bisa meringankan kita sebagai mahasiswa, dan kalo opsi penambahan tenggat waktu juga sebenarnya bukan solusi terbaik" Ungkap Bursh dengan nada serius.
Setelah itu perbincangan menjadi lebih serius dan mendalam. Bursh kembali menjelaskan perihal masalah dunia pendidikan tinggi, terutama dari beban biaya kuliahnya juga yang tinggi. Tak heran dengan realita seperti ini masyarakat enggan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi. Kalau dicari alasan utamanya, tentu saja tidak lain adalah soal pembiayaannya yang besar, kalau ditanya soal keinginan, mana ada orang tua yang tidak ingin anaknya melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.
Masalah biaya pendidikan tinggi kemudian juga dirasakan oleh mereka yang sudah masuk ke perguruan tinggi itu sendiri. Salah satunya adalah tentang tidak sesuainya jumlah biaya kuliah dengan kesanggupan orang tua. Kasus tidak tepat sasaran ini banyak terjadi hampir di semua perguruan tinggi, baik negeri ataupun swasta.Â
Selain itu, masalah menjadi semakin pelik, manakala ada mahasiswa yang asalnya tidak keberatan dengan jumlah UKT tertentu kemudian menjadi keberatan ketika orang tua terhimpit masalah sehingga tak lagi sanggup menanggung UKT sebelumnya, namun nahasnya dari otoritas perguruan tinggi pun tidak dapat merubah jumlah tanggungan biayanya.
"Sebetulnya ada undang-undang yang mengatur soal kebijakan UKT ini, bahkan pesannya supaya biaya kuliah ini tidak menjadi faktor penghambat proses kuliah itu sendiri, makanya pesan UU ini supaya sistem UKT tidak rigid, alias harus fleksibel, dan salah satu kewenangannya ada di tangan rektor" Para ikhwan mistis mengangguk paham mendengar ucapan Ical.