Mereka pun jelas enggan untuk keluar rumah. Ketaktuan mereka juga tak kalah besar dari kaum mapan yang bisa bekerja dari rumah. Satu contoh kisah mungkin bisa menjadi gambaran akan besarnya dilema kaum miskin di tengah pandemi ini. Seorang wanita parubaya, mungkin usianya 40 tahun, duduk termangu di depan gerbang rumah bibi. Ia tampak membawa beberapa jinjing kresek hitam di sampingnya.
Di tubuhnya terlilit kain samping yang mengikat sebuah karung besar dipunggungnya. Wajahnya nampak lusuh, baju dan celananya kotor akibat duduk di depan gerbang. Saat mendekat, terdengar sayup ia memanggil.
"A mau beli kacang tanah" Tatapnya nanar, matanya berair.
Melihat ekspresinya saja rasa iba sudah hinggap. Apalagi suaranya lemah, cenderung pasrah ketika menawarkan dagangannya. Sekilas di tengah perbincangan pertanyaan corona terlontarkan.
"Itukan bisa buat mereka yang mampu, ibu kalau nggak gini, anak-anak nggak bisa makan, toh belum ada bantuan pula, kalo saja ada ibu juga pingin di rumah sambil ngurus anak-anak, ibu juga takut sama penyakit ini"
Apakah mereka salah? Dalam menjawab perkara benar dan salah, konteks dan substansi hal ihwal perlu dianalisis lebih tajam. Jangan-jangan mereka malah yang menjadi korban. Tersangkanya? Tentu para pembuat regulasi yang tak humanis, diskriminatif, dan sekelompok orang yang merasa paling benar. Bahkan, belakangan ini kabarnya muncul regulasi ngawur, semua dipaksa di rumah, dan pembuat regulasi tak wajib memberi bantuan, bukankah ini tepat dikatakan lepas tanggung jawab? Siapa benar siapa salah? Atau tak ada dari keduanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H