Sejak pandemi corona menerjang seantero dunia, kini di bulan ketiga, aktivitas sosial masyarakat nyaris lumpuh sepenuhnya. Setiap negara berjibaku menunstaskan penyebaran corona dengan berbagai daya upaya, menutup akses publik, kontak sosial, bahkan hingga mengunci sepenuhnya kegiatan masyarakat. Kota hantu seketika merebak dimana-mana. Jalan dan pusat aktifitas masyrakat seolah mati.
Kisah pilu yang terjadi di dunia membuat rasa kemanusiaan menjadi sebuah kunci guna menjadi tombak melerai bahaya pandemi ini. Tentu saja selain upaya di bidang medis dan birokrasi, upaya kemanusiaan jelas tak bisa dipandang sebelah mata.
Corona yang menjadi musuh bersama secara gamblang membuktikan bahwa eksistensi kemanusiaan tengah dalam kondisi yang amat rentan. Ketika kemanusiaan tak dijadikan landasan berpikir serta bersikap, maka otoritas manusia sebagai makhluk yang berakal, bermoral, dan bernalar patut dipertanyakan adanya.
Contoh pilu sebagai imbas corona hari ini banyak berdatangan dari hendak diadakannya regulasi darurat bencana yang diterapkan pemerintah. Dalam kondisi ini masyarakat secara sukarela harus menuruti apa kehendak pemerintah dan kepentingan medis, salah satu yang utama adalah membatasi kontak fisik dengan cara kerja dan belajar dari rumah.
Narasi tersebut disebarluaskan secara masif oleh setiap orang dan tentu oleh pemerintah. Pemerintah menyerukan untuk tidak keluar rumah, agar virus dapat mudah dikendalikan. Hingga semakin hari narasi "di rumah aja" menjadi dewa disegala penjuru, ia kini disembah dan menjadikan mereka yang tak ikut aturan sebagai pembelot yang layak dicaci maki.
Serangan demi serangan banyak terpampang di berbagai tempat. Mereka yang tak ikut dalam slogan "di rumah aja" menjadi objek utama jab dan hook oleh barisan pemusnah virus garis keras. Secara singkat memang apa yang mereka serukan tidaklah salah, dan justru perlu, tetapi generalisasi kritikan terhadap mereka yang secara "terpaksa" harus keluar rumah justru merupakan pandemi baru dan tak kalah berbahaya.
Apa yang dimaksud sebagai keadaan "terpaksa" adalah mereka kaum miskin yang mendapat penghasilan harian guna mencukupi ekonominya. Regulasi pemerintah yang melakukan PSBB membuat dilema para kaum papa ini kian besar, dan terpaan hujatan terhadap mereka makin kencang.
Dilema ini tentu berat, yaitu antara pencegahan penularan dan kebutuhan pokok seperti makan. Keduanya sektor primer yang tak bisa dilakukan bersama-sama, apalagi pada kondisi ekonomi rendah. Di sisi lain, seruan untuk bekerja dari rumah, bagi kaum ini bukannya tidak ingin diikuti, hanya saja jika tak keluar rumah, mereka takkan makan. Haruskah saya tidak mati karena corona, tetapi mati kelaparan bersama keluarga? Keluh mereka.
Kebijakan sebuah regulasi dan narasi yang dibangun tentu saja harus sejalan dan seirama dengan implementasi dan konteksnya di lapangan. Narasi elitis macam kerja di rumah tidak akan berlaku bagi para kaum miskin. Sampai disini, patutkah kita menghujat mereka yang "terpaksa" keluar rumah jika kondisinya sedemikian sulitnya?
Ketika di berbagai media terlihat beberapa sekelompok masyarakat menjadikan keterpaksaan mereka sebagai bahan guyonan untuk melakukan penghujatan secara tidak langsung adalah sebenar-benarnya ketidakjernihan berpikir. Tentu jika hendak digali secara mendalam akar permasalahannya adalah kerancuan penetapan regulasi.
Andai kata kaum miskin mendapat garansi kebutuhan pokok hidupnya oleh pemerintah, tentu mereka akan dengan mudah patuh dan disiplin terhadap apa yang diinginkan pemerintah dalam kerangka besar penanggulangan pandemi corona. Namun, jika kebijakan masih tak jelas seperti sekarang ini, apakah kaum miskin punya pilihan lain dari bekerja? Tentu saja ini sulit.
Mereka pun jelas enggan untuk keluar rumah. Ketaktuan mereka juga tak kalah besar dari kaum mapan yang bisa bekerja dari rumah. Satu contoh kisah mungkin bisa menjadi gambaran akan besarnya dilema kaum miskin di tengah pandemi ini. Seorang wanita parubaya, mungkin usianya 40 tahun, duduk termangu di depan gerbang rumah bibi. Ia tampak membawa beberapa jinjing kresek hitam di sampingnya.
Di tubuhnya terlilit kain samping yang mengikat sebuah karung besar dipunggungnya. Wajahnya nampak lusuh, baju dan celananya kotor akibat duduk di depan gerbang. Saat mendekat, terdengar sayup ia memanggil.
"A mau beli kacang tanah" Tatapnya nanar, matanya berair.
Melihat ekspresinya saja rasa iba sudah hinggap. Apalagi suaranya lemah, cenderung pasrah ketika menawarkan dagangannya. Sekilas di tengah perbincangan pertanyaan corona terlontarkan.
"Itukan bisa buat mereka yang mampu, ibu kalau nggak gini, anak-anak nggak bisa makan, toh belum ada bantuan pula, kalo saja ada ibu juga pingin di rumah sambil ngurus anak-anak, ibu juga takut sama penyakit ini"
Apakah mereka salah? Dalam menjawab perkara benar dan salah, konteks dan substansi hal ihwal perlu dianalisis lebih tajam. Jangan-jangan mereka malah yang menjadi korban. Tersangkanya? Tentu para pembuat regulasi yang tak humanis, diskriminatif, dan sekelompok orang yang merasa paling benar. Bahkan, belakangan ini kabarnya muncul regulasi ngawur, semua dipaksa di rumah, dan pembuat regulasi tak wajib memberi bantuan, bukankah ini tepat dikatakan lepas tanggung jawab? Siapa benar siapa salah? Atau tak ada dari keduanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H