Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PTN-BH, Betulkah Menjanjikan Kampus Merdeka?

3 Februari 2020   19:22 Diperbarui: 3 Februari 2020   19:34 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/andrew_t8

Beberapa waktu lalu Mendikbud yang baru yaitu Nadiem Makarim kembali mengeluarkan kebijakan yang menggemparkan jagad pendidikan nasional. Setelah sebelumnya ada kebijakan merdeka belajar dan guru merdeka, kini ia hadir ke depan publik dengan menganggungkan program besutan barunya yaitu kebijakan kampus merdeka.

Tak perlu lama berbagai media langsung riuh rendah memberitakan kebijakan baru ini, dan tak lama juga bagi publik untuk bisa menilai rancangan dari kebijakan tersebut. Ada empat poin utama yang digaunkan Nadiem lewat kampus merdeka, yaitu otonomi pembukaan prodi baru, akreditasi secara otomatis, syarat menjadi PTN-BH dipermudah, dan hak belajar tiga semester di luar program studi.

Awalnya saya melihat angin segar dengan adanya kebijakan baru ini. Namun setelah dikaji lebih dalam lagi, kebijakan ini saya kira tidak sepenuhnya merepresentasikan makna dari kata merdeka itu sendiri. Terutama bagian yang paling saya soroti adalah mengenai kebijakan dipermudahnya syarat menjadi PTN-BH.

Mengapa ada kesangsian terhadap aturan tersebut? Perlu kita cermati bersama dari latar sejarah kemunculan PTN-BH itu sendiri. Ia membawa misi untuk memberikan otonomi bagi perguruan tinggi untuk mengurus dirinya sendiri, sehingga bantuan dari pemerintah nantinya akan dikurangi, terutama misalnya dari suntikan dana yang diberikan pemerintah.

Maka universitas yang sudah menyandang gelar PTN-BH mengalami banyak perubahan dari sisi manajemen, dan tentu saja nantinya berkaitan dengan manajemen keuangan universitas. Banyak cerita tentang perubahan atas perubahan PTN biasa menjadi PTN-BH, salah satu yang paling mencolok adalah dari jumlah iuran yang harus dibayarkan oleh mahasiswa.

Analisis terkait problematika PTN-BH ini sudah menjadi bahan kritik oleh beberapa pengamat pendidikan. Hal tersebut seperti yang dikatan oleh Darmaningtyas dalam bukunya "Melawan Liberalisme Pendidikan". Ia mengatakan bahwa pembentukan PTN-BH merupakan bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola pendidikan yang murah dan dapat diakses oleh setiap kalangan masyarakat.

PTN-BH seolah menjadi bentuk lepas tangan dari pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama dalam akses ke pendidikan tinggi. Apa yang dikatakan Darmaningtyas juga seirama dengan yang dikatakan senior saya di kampus. Mereka berkata bahwa uang kuliah tunggal (UKT) mereka beberapa tahun yang lalu kebanyakan tidak sampai dua juta dan juga tanpa uang pangkal masuk kampus.

Ironisnya, setelah kebijakan ini diterapkan oleh kampus, jumlah UKT mahasiswa dan uang pangkal meroket berlipat ganda. Ada yang asalnya UKT per semester sekian rauts ribu kini menjadi lebih dari lima juta. Belum lagi uang pangkal yang selangit bagi mahasiswa jalur mandiri semakin membuat orang tua gigit jari untuk menyekolahkan anak mereka. Maklum saja biaya uang pangkal sendiri bisa belasan sampai puluhan juta rupiah,

Kemerdekaan yang dimaksud oleh menteri terhadap kampus pada akhirnya menjadi bias jika dibenturkan dengan kebijakan mempermudah perubahan status menjadi PTN-BH. Kita perlu ingat bahwa unsur dari kampus itu ada juga mahasiswa. Oleh sebab itu ketika mengatakan kampus merdeka maka setiap unsur dari kampus itu sendiri harus merdeka pula, termasuk mahasiswa didalamnya.

Kampus merdeka yang kini digaungkan, terutama yang berkaitan dengan PTN-BH, hanya memberikan kemerdekaan bagi birokrat kampus saja dalam mengeksploitasi peluang untuk mendapatkan laba. Kebijakan mempermudah PTN-BH di kemudian hari akan berubah menjadi hal yang sangat mengerikan bagi mahasiswa dan bagi kemajuan pendidikan tinggi secara umum.

Memang ada berbagai program beasiswa untuk menutupi biaya mahal di PTN-BH, tetapi perlu kita ingat bahwa kuotanya sendiri terbatas. Lalu bagaimana juga dengan mereka yang baru mau masuk namun terhalang oleh tembok besar bernama uang pangkal atau UKT yang mahal? Maka jangan heran jika masih banyak orang tua yang enggan mengkuliahkan anaknya hanya gara-gara persoalan biaya.

Kita dalam memandang pendidikan tinggi beberapa kali masih terlalu berfokus pada hasrat untuk merengkuh gelar world class university, padahal secara tidak sadar kita juga kerap  melupakan bahwa angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi masih dibawah 40 persen, yang artinya masyarakat masih kesulitan untuk mengenyam bangku perkuliahan.

Kampus merdeka seharusnya bisa memerdekakan dan membebaskan seluruh unsur kampus dan masyarakat secara luas agar tidak lagi terkurung dari kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang murah dan mudah. Definisi kemerdekaan penting untuk dipandang secara komprehensif, sehingga kebijakan yang mengatasnamakan kemerdekaan tidak hanya memerdekakan satu pihak saja, tapi memerdakakan seluruhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun