Di suatu pagi yang cerah, angin berembus lembut, menerpa tubuh seraya menebarkan aura sejuk yang menyegarkan. Aku duduk di bawah rindangnya pohon di belakang kampus. Sambil menikmati secangkir kopi, lengkap ditemani sejumlah gorengan makin membuat suasana pagi itu terasa khidmat untuk dinikmati.
Saat tengah menikmati hari sambil bersantai, dari jauh terlihat seorang lelaki paruh baya, berjalan lambat sambil memegang tongkat, mungkin umurnya sekitar 60 tahunan. Semakin dekat ia berjalan, semakin jelas penampilannya. Tubuhnya kurus, dengan kerutan efek usia yang nampak dari wajahnya. Peci hitam juga menghiasi kepalanya, bajunya putih kekuning-kuningan dengan desain klasik ala zaman orde lama. Kacamatanya pun gaya antik, gagangnya berkilauan terkena sorot matahari, mungkin berbahan alumunium atau karbon, entahlah.
Lama ia  berjalan, rupanya makin mendekat ke arah pohon di seberang sana. Memang di kampusku ada dua pohon rindang besar, satu yang kutempati sekarang, dan satu lagi yang sedang pak tua itu hampiri. Setelah beberapa saat, ia kemudian terduduk disana, lalu mengibaskan kedua tangannya, mungkin karena gerah. Tak lupa ia juga mengelap wajahnya dengan kain yang ia tarik dari saku belakang celananya.
Hampir selama duduk, ia hanya memandang ke atas pohon itu, sambil sesekali melirik suasana kampus. Lalu dari dalam tas koper yang dibawanya ia mengeluarkan sebuah buku dan lantas membacanya. Lewat rasa penasaran atas kehadiran pak tua yang asing ini, aku coba bangkit dari duduk untuk kemudian menghampirinya. Namun saat baru berdiri, pak tua itu menoleh, dan menggerakan tangannya seperti memberi aba-aba untuk mendekat. Ya pucuk dicinta ulam pun tiba.
Bergegas aku menuju kearahnya, dengan langkah pasti sampai pula ketempatnya. Ia masih tertunduk membaca saat aku mendatanginya. "Ada apa pak?" Dan betapa tertohoknya aku ketika ia mendongkakan wajahnya, "Mungkinkah?" Pikirku dalam hati. Ia persis sekali dengan pahlawan nasional itu. Beberapa saat aku dibuat tertegun dan bungkam, lalu dengan sedikit rasa kaget dan ngeri kuberanikan diri bertanya.
"Apa bapak Ki Hadjar Dewantara?"
Ia tak segera menjawab "Benarkah pak?" Desakku.
"Bisa jadi" Ia tersenyum.
Jawabannya cukup membingungkanku, "Maksudnya pak?"
"Seseorang bisa saja mati, namun itu hanya raganya, ruhnya tetap kekal" Katanya dengan wajah teduh.
"Jadi benar bapak ini Ki Hadjar Dewantara itu?" Aku masih mencoba meyakinkan diri
"Anggap saja demikian"
Sungguh tidak masuk akal memang, tapi ini jelas dia, ataukah kembarannya? Entahlah.
"Lantas ada apa bapak kesini?"
"Lihat-lihat saja boleh kan, bosan berpuluh tahun di alam sana" Balasnya sambil terkekeh.
Aku sedikit terkaget mendengar jawabannya yang seolah bercanda namun tetap cukup horror itu. "Oh begitu, lantas menurut bapak bagaimana?" Tanyaku.
"Bagaimana apa maksudnya?"
"Ya kondisi dunia saat ini?"
"Hmmmmm, dalam banyak hal lebih baik dari zamanku"
"Begitukah pak?" Tanyaku polos.
"Ya, begitulah, terutama soal teknologi"
"Memang saat ini teknologi sangat berkembang pesat pak"
"Ya, aku pun mengamatinya dari dunia sana"
"Oh ya?" Tanyaku heran "Lalu bagaimana menurut bapak?"
Ia kemudian menegakan posisi duduk, buku yang digenggamnya kini ia letakan di sampingnya.
"Ya" ia memulai "Memang dari semua kemajuan dan modernisasi yang terjadi, teknologi merupakan aspek yang saya lihat paling menonjol, misalnya dalam transportasi dan gaya hidup semisal telepon, sangat cepat sekali inovasinya, tentu dengan tujuan untuk memudahkan aktivitas manusia" Terangnya.
"Namun dari semua itu, terkadang manusia juga lupa bahwa inovasinya dengan membawa konsekuensi terhadap sekitarnya, misalnya alam dan budaya" Tambahnya.
"Ya ya, misalnya konsekuensi bagaimana pak?"
"Banyak sekali, misalnya alam, dengan makin gencarnya produksi mobil dan motor yang beraneka ragam, tentu berbanding lurus dengan meningginya kebutuhan bahan bakar, dan sejurus dengan itu maka eksploitasi bahan bakar fosil pun makin intens, jangan tanya dampaknya bagi alam bagaimana, anda pun sudah tahu bukan?"
"Kebanyakan memang betul yang barusan bapak sampaikan, namun bukankah sudah sewajarnya demikian? Dalam artian memang harus selalu ada konsekuensi atas inovasi?"
"Ya, setiap inovasi memang akan ada dampaknya, namun nilai yang hilang dari proses inovasi dewasa ini adalah aspek kemaslahatan, bukan hanya untuk manusia, tetapi juga alam sebagai tempat kita hidup. Ingat bahwa manusia juga punya hubungan yang erat dengan alam. Maka jika teknologi yang dihasilkan justru merusak alam, secara langsung juga manusia berusaha mencoba memutuskan hubungan dengan alam, dan jangan heran jika alam akan marah karenanya".
"Pantas saja bencana sekarang ada dimana-mana ya pak!"
"Begitulah, bukan hanya bencana kaitan dengan alam, bencana dalam tubuh  atau singkatnya penyakit, pun sekarang makin aneh-aneh daripada zaman saya dahulu. Paling tenar malaria, kalau sekarang kan udah ribet sekali namanya" Jawabnya dengan tenang.
"Ternyata di alam sana bapak sangat up to date ya dengan isu dunia terkini"
"Betul, banyak kagum, banyak pula mirisnya".
Lalu sejenak percakapan terhenti, ia memandang langit, sambil menghela napas panjang, ia berkata
"Ngomong-ngomong namamu siapa?"
"Fadli pak"
 "Ya ya, begitulah Dli sedikitnya soal perkembangan zaman, terutama kaitannya dengan teknologi saat ini, perlu kau renungi lagi"
Aku lantas mengangguk pelan, memang saat ini dunia makin tidak karuan dengan teknologi yang dihasilkannya. Untuk beberapa saat aku sedikitnya paham bahwa ada kesalahan dalam inovasi teknologi, ada nilai yang terabaikan. Dan masih banyak pertanyaan yang akan kutanyakan pada Ki Hadjar, soal sekelumit problema kehidupan, ya akan segera kutanyakan sebentar lagi sambil berusaha menekan rasa ngeri atas ketidakwajaran yang kualami ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H