Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Balik Jendela Kereta

30 September 2019   06:30 Diperbarui: 30 September 2019   06:33 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Free-Photos

Sebuah pengalaman bisa datang kapan saja. Pengalaman yang merubah cara pandang, pengalaman yang menjadi refleksi sekaligus tamparan keraspun bisa datang dari mana saja. 

Tak terkecuali pengalaman berkendara menggunakan kereta. Sebuah pengalaman yang berharga, sebuah pengalaman yang mengoyak jiwa, dan mungkin kurang disadari orang banyak.

Dari balik jendela kereta, aku melihat kondisi negeriku, yang kudengar kata orang banyak adalah negeri yang makmur, belum lagi sikap orangnya yang ramah tamah pula. Kata orang negeriku adalah negeri yang pantas dijuluki sebagai surganya dunia. 

Kata orang negeriku adalah negeri yang paling kaya. Emas, gas, minyak, mutiara semuanya sudah kumplit tersedia. Hutannya luas, pun begitu dengan lautannya yang membentang nan indah.

Kata orang negeriku adalah penghasil rempah terbanyak dunia. Kata orang dalam urusan pertanian dan perikanan negerikulah salah satu yang terbaik diantaranya. Betapa takjub dan bangganya mendengar perkataan orang--orang tentang negeriku.

Entah mengapa, kini, sedikit demi sedikit aku seperti menemukan kejanggalan tentang kondisi negeriku. Tak seperti apa yang dikatakan orang--orang tadi. 

Seolah semua yang dikatakan orang tentang negeriku tadi hanya sebuah kebohongan belaka. Aku merasa terperdaya oleh perkataan orang, aku merasa dikhianati, aku merasa tertipu.

Dibalik jendela kereta, aku melihat kejanggalan yang kurasakan itu sepertinya benar juga. Ketika data tak sesuai fakta dan realita, ketika cerita hanyalah sebuah dusta, dan ketika apa yang digambarkan hanyalah sebuah kepalsuan.

Apa yang kulihat dibalik jendela kereta ternyata berbeda dengan apa yang dibanggakan. Apa yang kulihat dibalik jendela kereta banyak berbeda dengan apa yang diberitakan di berbagai media. Padahal ekspektasiku begitu tinggi tentang negeriku ini. Aku kecewa, aku tertegun.

Sore kemarin aku melihat berita di televisi. Pemerintahku mengatakan bahwa  kemiskinan di negeriku sudah berkurang, katanya sektor pertanian di negeriku mengalami kemajuan, katanya negeriku semakin modern, katanya pengangguran berkurang, sekolah murah, semuanya menggambarkan kondisi negeriku yang mengarah pada kemajuan.

Sungguh rupanya itu hanya utopia belaka. Buktinya, dibalik jendela kereta aku melihat hal yang kontradiktif! Mungkinkah aku salah lihat atau ngelamun? Ku gosok kedua bola mataku, sekali lagi aku lihat dari balik jendela. Ternyata tidak, aku tidak salah lihat, aku tidak ngelamun. Memang benar, semua yang diberitakan di televisi banyak mengandung kebohongan!

Dibalik jendela kereta, aku melihat dengan jelas, tanpa halangan, tanpa dusta, tanpa hoax, tanpa tipu daya. Mataku membelalak selebar--lebarnya, mencoba melihat segala realita yang ada dihadapanku. Aku seolah tak percaya dengan apa yang kulihat. Aku terhanyut dalam suasana hati yang campur aduk.

Dibalik jendela kereta, mataku memandang mengawasi, seolah tak ingin ada satu momenpun yang terlewat. Sesekali aku memejamkan mata dan menahan nafas, sambil dalam hati aku bergumam astagfirullah! Aku melihat banyak sekali, amat banyak kebohongan yang kudengar selama ini.

Dibalik jendela kereta, aku melihat kenyataan. Kemiskinan rupanya masih menggerogoti negeriku, bangunan-bangunan kumuh yang tepat berjejer di pinggir rel kereta seolah menjadi bukti. 

Bukan hanya satu atau dua, tak mampu aku menghitungnya, mungkin jumlahnya ratusan, ribuan, bahkan jutaan. Pikirku melayang kemana--mana, membanyangkan kondisi seperti ini terdapat pula dari  ujung ke ujung negeriku.

Darahku tekesiap, mataku semakin terbelalak, tatkala aku melihat anak--anak yang masih usia sekolah. Mereka malah berkeliaran dijalan, tepatnya dipalang pintu kereta. Dengan muka lusuh, sembari menunggu kereta lewat, kepada pengguna motor dan mobil mereka menawarkan koran, rokok, tisu, dan kopi. Mereka bekerja!

Semakin berkerut dahiku, mencoba melihat lebih detail, malahku melihat ada juga anak yang mengemis dibawah pangkuan ibunya, mengamen dengan alat seadanya, mengelap-elap kaca mobil, dan hal lain yang membuat hatiku teriris. Aku semakin tak percaya. 

Mana yang katanya sekolah murah? Mana sekolah untuk semua? Dimanakah itu wajib belajar 9 tahun? Aku sadar sekarang, itu semua hanya sekedar jargon!

Dibalik jendela kereta, dari kejauhan aku juga melihat gunung--gunung yang dulu hijau, gunung yang dulu rimba, gunung yang dulu banyak ditanami tumbuhan kini menjadi usang, tak elok dipandang. 

Pikiranku merasakan keanehan, setahuku gunung itu banyak ditanami pohon,  namun apa yang terjadi  sekarang? Memang aneh, gunung itu kini malah banyak ditanami beton!

Kadang inginku bertanya, "Gunung, apa kau tidak marah dengan yang dilakukan manusia kepadamu?". Aku hanya mampu membayangkan jawaban gunung dengan murkanya jika ia mampu berbicara, "Awas saja, akan kubalas semua perbuatan biadabmu terhadapku!".

Tanganku hanya mampu mengusap--usap jendela kereta yang kutumpangi ini. Dengan meratap aku membayangkan kondisi negeriku berserta segala yang ada didalamnya tengah dalam kondisi yang buruk. Seketika aku termenung. Seolah semua yang kulihat dibalik jendela ini adalah pembuktian atas ketidaktahuanku atas kondisi negeriku sendiri.

Aku terlalu percaya dengan apa kata orang tentang negeriku, aku terlalu bangga, dan aku terlalu bodoh! Aku semakin tersungkur, membayangkan betapa bodohnya diri ini. Diri yang terlalu menganggap semuanya seolah baik--baik saja, menganggap semua orang punya bagian tersendiri dalam menjaga negeri ini. 

Aku terlalu menganggap bahwa sang waktu jugalah yang akan membereskan seluruh permasalahan di negeriku ini. Namun kenyataannya, aku terlalu bodoh untuk memahami apa yang aku sendiri pikirkan!

Air mukaku berubah, tak sesegar dan sesumringah pagi tadi. Aku terjerembab atas rasa salah yang mendalam, atas rasa apatis yang menyelimuti jiwaku, dan rasa tidak bertanggungjawab atas negeriku, bangsaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun