Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Prestasi Bukan Segalanya

9 Desember 2018   07:56 Diperbarui: 10 Desember 2018   08:44 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Artikelsiana.com

Bukan berarti sepenuhnya saya mengharamkan orang untuk berprestasi, dalam satu sisi bisa saja prestasi menjadi semacam pembangkit semangat seseorang dalam menjalani kehidupannya. Prestasi juga sebetulnya bisa menandakan sebuah simbol kesuksesan seseorang ataupun golongan. 

Memang prestasi bisa juga mendulang rasa bangga bagi mereka yang terwakilkan darinya. Saya sendiri pun pasti mengalami rasa bangga akan prestasi itu pula tatkala timnas Indonesia menjuarai Piala Dunia 2022. Semoga.

Sekarang saya akan coba mengetengahkan masalah prestasi ini dalam konteks pendidikan. Tentu pendidikan dan prestasi saat ini ibarat sayur dan garam yang tidak dapat terpisahkan. Banyak orang berpandangan bahwa pendidikan jika tidak disertai prestasi itu hambar. 

Bahkan lebih parah adalah adapula anggapan bahwa murid yang tidak berprestasi merupakan produk gagal pendidikan.

Pandangan terlalu mendewakan prestasi inilah yang membuat sistem pendidikan kita menjadi salah arah. Bukti konkret yang dapat menunjukan hal ini adalah seperti banyaknya sekolah berlabel favorit yang hanya mau menerima murid pintar semata. 

Dalam pendidikan yang demokratis jelas ini adalah sebuah bentuk diskriminasi, dan pendidikan yang diskriminatif dalam konteks ini merupakan kesalahan fatal.

Ironisnya kesalahan ini tampaknya telah diamini oleh tri-sentra pendidikan kita yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai suatu kewajaran. Saya sering menemukan orang tua yang begitu gopoh gapah dan memaksa memasukan anaknya ke berbagai tempat les hanya untuk membuat anaknya itu berprestasi, baik itu dalam hal akademik maupun non akademik, padahal jelas beban yang diterima anaknya itu kerap membuat mereka menjadi stress.

Orang tua mungkin memiliki niat baik dengan berbuat demikian, tentunya tak lain agar anaknya sukses, namun mereka seringkali lupa beban psikologis yang akan didera anak -- anaknya itu. Banyak kasus yang terjadi adalah anak memang berkembang secara kognitif, namun dalam hal afektif atau sikap malah cenderung menurun, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya watak mudah emosi dan individualistis.

Kemudian sekolah sebagai pusat pendidikan anak kedua juga kerap melakukan kesalahan fatal yang sama seperti dilakukan oleh kebanyakan para orang tua. Ya, banyak sekolah yang selalu menuntut prestasi dari para muridnya, khususnya dalam bidang akademik. 

Sekolah yang hanya berorientasi prestasi ini kebanyakan juga memiliki niat tidak baik dibelakangnya pula, selain dalam rangka meraih popularitas, tentu saja dengan kepopulerannya itu akan memudahkan sekolah untuk lebih banyak meraup rupiah.

Masalah rupiah adalah penyebab utama mengapa sekolah begitu gencarnya menuntut prestasi dari para murid. Hal konyolnya adalah tatkala sekolah menuntut prestasi namun tidak dibarengi dengan pelayanan dari pihak sekolahnya sendiri yang optimal, baik itu dalam hal kualitas pengajaran, fasilitas, dan layanan akademik maupun non akademik lainnya.

Untuk urusan prestasi sekolah terkadang menjadi gelap mata terhadap mereka yang tidak berprestasi. Perlu saya tekankan, bahwa prestasi yang dimaksud oleh kebanyakan orang disini adalah kemampuan untuk menjuarai lomba -- lomba. Realitasnya memang kebanyakan orang mendefinisikan "prestasi" hanya sekerdil itu.

Padahal ihwal menjuarai lomba -- lomba (Baca: Prestasi) bukanlah tujuan utama dalam pendidikan, apalagi yang diperlombakan itu hanya dalam bentuk kognitif semata. Akibat dari sekolah yang terlalu menggembar -- gemborkan prestasi di bidang kognitif adalah terbengkalainya kecerdasan afektif dan spirtitual yang pada kenyataannya memiliki andil yang tidak kalah penting atau bahkan lebih penting bagi bekal murid dalam menjalani kehidupannya kelak.

Paradigma kabur sekolah seperti itu jelas berbahaya. Kita tahu banyak produk sekolah yang berorientasi prestasi memang pandai dan bahkan mereka sampai bisa menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. 

Namun kita tahu juga bahwa banyak dari mereka pula yang terciduk oleh KPK karena melakukan korupsi. Ini yang disebut oleh mendiang maestro wayang golek Indonesia Asep Sunandar Sunarya sebagai "Pinter keblinger".

Perlu diingat bahwa pintar secara kognitif saja tidaklah cukup. Pada hakikatnya manusia juga memiliki kemampuan dan potensi pada ranah afektif, psikomotor, dan spiritual yang perlu juga untuk dikembangkan. Maka jelas sekolah yang hanya selalu menuntut prestasi menunjukan bahwa ia telah menafikan potensi kodrati yang dimiliki oleh para murid.

Bagi saya prestasi bukanlah hanya sekedar pada kemampuan untuk menjuarai lomba semata. Pengertian prestasi sendiri dalam KBBI adalah hasil yang telah dicapai. Maka dimana seorang guru mengajarkan PKn tentang konsep cinta tanah air kepada murid, dan lantas murid juga dapat memahami seraya mengimplementasikannya secara baik pula dilingkungannya jelas itu juga merupakan prestasi. Namun sayangnya, bukan prestasi dalam bentuk ini yang dikehendaki oleh banyak orang.

Tetap saja berbagai kalangan lebih melihat prestasi dalam bentuk menjuarai lomba dan hal tersebut perlu dibuktikan pula dengan piala atau sertifikat. Lalu apa daya mereka yang berprestasi dalam bidang afektif misalnya dalam hal kejujuran yang nyatanya sulit dibuktikan dengan piala atau sertifikat ? 

Jelas mereka tidak akan sepopuler mereka yang berprestasi dalam hal kognitif dengan piala dan sertifikat di tangan kanan kiri, belum lagi ditambah pampangan wajahnya pada banner dan official akun media sosial sekolah.

Begitu pula yang terjadi pada pusat pendidikan ketiga yaitu masyarakat. penghargaan mereka akan lebih tertuju pada mereka yang menjuarai lomba. Semangat berprestasi ini memang baik dan malah penting dalam pendidikan, namun jangan juga ihwal prestasi ini membuat gelap mata para stakeholder pendidikan akan tujuan utamanya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memanusiakan manusia

Perihal prestasi dalam pendidikan adalah kebutuhan tersier dimana fokus utama pendidikan adalah bagaimana membelajarkan murid supaya menjadi manusia yang seutuhnya. Prestasi dalam bentuk menjuarai lomba hanyalah sebuah bonus, ia juga pada akhirnya akan mengikuti jika kebutuhan primer dan sekunder  murid sudah terpenuhi. Jadi tri-sentra pendidikan tidak usah khawatir, apalagi sampai mendewakan prestasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun