Berbicara mengenai profesi guru, tentu dalam hati kita bergumam bahwa guru adalah profesi yang mulia, bagaimana tidak, seseorang yang menjadi guru merupakan seorang revolusioner peradaban, karena ditangan dialah peradaban manusia di kolong langit ini mampu untuk tetap eksis, berkembang dan maju.
Ada yang menyebut bahwa profesi guru adalah "maha" dari profesi lainnya, bisalah kita sebut sebagai "mother of profession", alasannya jelas karena profesi lain pun mustahil ada tanpa peran profesi guru. Dengan kemuliaannya yang tinggi itu, maka seseorang yang menjadi guru haruslah orang yang mulia pula.
Guru yang mulia berarti pula guru yang profesional, artinya guru tersebut mampu menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kata cerdas disini pula berarti baik secara intelektual, emosional, dan spiritualnya.
Di dunia yang modern kini tak sembarang orang bisa menjadi guru, khususnya dalam pendidikan formal. Untuk guru sekolah dasar, sudah seharusnya diisi oleh Sarjana lulusan PGSD ataupun PPG, sebab merekalah yang paling tahu bagaimana seharusnya mengajar untuk siswa sekolah dasar, tidak relevan kiranya sarjana hukum, politik, teknik atau ekonomi mengajar sebagai guru sekolah dasar.
Perkembangan pendidikan yang berjalan dinamis mengikuti arus kemajuan zaman juga menjadi peluang serta tantangan bagi guru untuk juga ikut beradaptasi dengan zaman. Hal ini penting bagi guru agar tidak tertinggal oleh zaman, efek yang dihasilkan akan fatal jika guru tak mampu beradaptasi serta meningkatkan kompetensi sesuai tuntutan zaman.
Untuk pengembangan profesi guru di Indonesia seolah jalan di tempat. Kita lihat kualitas mengajar guru kita dari tahun ke tahun, penggunan metode, teknik, dan media mengajar selalu monoton, metode ceramah yang selalu jadi primadona. Hasrat untuk mencoba sesuatu yang fresh dan kekinian dianggap tabu dan menjadi beban.
Mereka, khususnya para guru zaman old ogah-ogahan untuk mengembangkan kemampuannya, misalnya dalam penggunaan media pembelajaran yang mereka pandang hanya bikin susah saja. Kemudian penggunaan teknologi dalam pembelajaran yang hanya dipandang menambah repot saja. Rendahnya hasrat belajar menjadi biang keladi mengapa kualitas guru kita stagnan bahkan turun.
Kita coba bandingkan dengan kondisi yang terjadi di negara Jepang. Di negeri sakura itu para guru senior justru menjadi tutor dan pembimbing bagi para guru muda yang baru terjun menjadi guru, dilihat dari segi mengajarnya pun ternyata lebih ekspresif dan bergairah daripada guru muda, pun juga mereka tak kalah melek teknologi dibanding guru muda.
Mengapa kemudian Jepang mampu mengembangkan kualitas gurunya sedemikian majunya sehingga pendidikan dan negaranya pun ikut maju?Â
Jawabannya adalah pada pelatihan yang secara intens dan berkelanjutan dilakukan terhadap para guru di Jepang. Bukan hanya intens, namun juga memang efektif sehingga tingkat pengetahuan guru di Jepang selalu up to date dan tidak monoton. Ditambah pula dengan evaluasi kinerja guru yang ketat, itulah sebabnya guru yang mengajar disana adalah guru-guru pilihan dari serangkaian seleksi dan evaluasi yang super ketat.
Tipe guru di Jepang yaitu "tua-tua keladi" semakin tua semakin menjadi, mereka membuktikan bahwa usia bukan menjadi penghalang untuk tetap berkarya dan meningkatkan kualitas diri, justru dari pengalaman mengajar yang diperoleh mereka selalu mengevaluasi kekuatan dan kelemahannya untuk hari esok yang lebih baik. Mereka juga menunjukan pada kita bahwa guru yang profesional memiliki jiwa seorang pembelajar sejati. Belajar sepanjang hayat!
Pemerintah di sana memang sangat begitu memperhatikan profesi guru sebagai "anak kesayangan" yang semua kebutuhannya harus terjamin dan tercukupi, baik itu secara materil maupun non materil. Bahagianya mereka.
Sementara di Indonesia guru-guru senior mayoritas enggan belajar dan meningkatkan kompetensinya. Tak jarang pula melimpahkan tugas yang juga menjadi kewajibannya kepada para guru muda. Ya, inilah derita guru muda di Indonesia, menjadi bulan-bulanan guru senior, babak belur pun tak jadi soal, wong badannya masih kuat - kuat toh!.
Ironisnya guru di Indonesia bukanlah tipe "tua-tua keladi", tetapi makin tua makin "melehoy". Apakah arti dari makin melehoy? Ya, bisalah kita artikan bahwasanya makin tua guru kita semakin lemah daya nalarnya, lesu dalam mengajar, dan lenyap kreatifitasnya.
Perlunya segera dilakukan upaya revitalisasi profesi guru di  Indonesia, karena tanpa seorang guru yang profesional jangan harap pendidikan dan negara ini akan maju. Guru tentunya perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah, guru tidak boleh tertindas, ditelantarkan, dan dibiarkan kehausan akan ilmu pengetahuan.
Sebagai pewaris peradaban guru mestinya mendapat jaminan atas kelangsungan hidupnya. Kebutuhan fisiknya harus terjamin, pun kebutuhan psikisnya perlu juga diperhatikan. Kasus keberhasilan pemberdayaan guru di Jepang seharusnya dapat menjadi referensi yang baik bagi pemerintah dalam meningkatkan kualitas guru di Indonesia.
Referensi :
Sapa'at, Asep. (2012). Stop Menjadai Guru!. Jakarta: PT. Tangga Pustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H