Mohon tunggu...
Rahmaniaptri
Rahmaniaptri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadyah Malang Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Komunikasi

Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dinamika Sosial Masyarakat : Maraknya Kemiskinan Akibat Faktor Kebudayaan

24 Desember 2024   22:04 Diperbarui: 24 Desember 2024   22:04 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemiskinan telah menjadi fenomena yang kompleks dan multidimensi, memengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia, mulai dari aspek ekonomi, sosial, hingga budaya. Di Indonesia, tantangan terkait kemiskinan sangat relevan mengingat tingginya kesenjangan sosial yang mencolok antara masyarakat perkotaan dan pedesaan, serta akses yang tidak merata terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi. Dalam konteks ini, aspek budaya sering kali terlupakan, meskipun peranannya sangat signifikan dalam menentukan pola pikir, perilaku, dan pilihan hidup masyarakat.

Berbagai data menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia adalah masalah yang persisten. Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2023 berada di angka 9,36%, yang berarti sekitar 26 juta penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Namun, angka ini tidak sepenuhnya mencerminkan akar permasalahan yang lebih dalam, yaitu pengaruh budaya terhadap kemampuan masyarakat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.

Ketika membicarakan kemiskinan akibat faktor budaya, kita tidak hanya berbicara tentang tradisi atau adat istiadat yang menjadi ciri khas suatu komunitas. Lebih dari itu, budaya mencakup sistem nilai, norma, kebiasaan, dan cara pandang yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Dalam beberapa kasus, budaya tertentu dapat menjadi penghalang bagi perkembangan individu maupun kolektif, sehingga memengaruhi dinamika sosial secara keseluruhan.

Pandangan tentang hubungan antara kemiskinan dan budaya ini bukanlah hal yang baru. Para ahli seperti Oscar Lewis dalam konsep "culture of poverty" berpendapat bahwa kemiskinan sering kali membentuk budaya tersendiri, di mana individu dan kelompok yang hidup dalam kemiskinan mengembangkan cara hidup yang sulit untuk diubah. Lewis menyatakan bahwa budaya kemiskinan bukan sekadar hasil dari kurangnya uang, tetapi juga dari sikap, nilai, dan struktur sosial yang memperkuat siklus kemiskinan.

Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua pengaruh budaya bersifat negatif. Dalam beberapa konteks, budaya justru menjadi kekuatan pendorong untuk kemajuan dan kemandirian ekonomi. Misalnya, nilai-nilai kerja keras, pendidikan, dan inovasi yang kuat dalam budaya Jepang telah membantu negara tersebut pulih dan berkembang pesat setelah Perang Dunia II. Oleh karena itu, memahami dan mengatasi kemiskinan melalui lensa budaya memerlukan analisis yang lebih mendalam dan seimbang.

Pendekatan yang hanya fokus pada aspek ekonomi tanpa mempertimbangkan faktor budaya cenderung tidak efektif dan tidak berkelanjutan. Program pengentasan kemiskinan yang tidak sensitif terhadap nilai dan norma lokal sering kali gagal karena kurang diterima oleh masyarakat sasaran. Sebaliknya, inisiatif yang berhasil adalah yang mampu menghormati dan mengintegrasikan elemen budaya dalam setiap tahap perencanaan dan implementasi.

Di Indonesia, kasus seperti tradisi gotong royong yang terkadang salah kaprah, ketergantungan pada pertanian tradisional tanpa inovasi, atau rendahnya partisipasi pendidikan karena prioritas adat menunjukkan bagaimana budaya dapat menjadi penghalang, tetapi sekaligus peluang jika dikelola dengan baik. Oleh karena itu, penting untuk menyoroti dan mengeksplorasi dinamika sosial yang terjadi akibat faktor budaya, agar solusi yang dirancang tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga transformasional.

Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana faktor budaya memainkan peran dalam memperburuk atau mengatasi kemiskinan di masyarakat. Dengan mendalami dinamika sosial dan faktor-faktor budaya, serta membandingkannya dengan fenomena serupa di tingkat global, diharapkan kita dapat memahami langkah-langkah strategis yang perlu diambil untuk mengurangi kemiskinan secara holistik. Artikel ini juga akan menyajikan pandangan para ahli, studi kasus, dan refleksi filosofis untuk memberikan wawasan yang lebih mendalam.

Pengertian dan Pandangan Dinamika Sosial Menurut Para Ahli

Dinamika sosial merujuk pada perubahan dan interaksi yang terjadi dalam masyarakat sebagai respons terhadap perkembangan internal maupun eksternal. Menurut Soerjono Soekanto (2007), dinamika sosial adalah "perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang mencakup pola interaksi, struktur, dan norma-norma sosial sebagai akibat pengaruh sosial budaya dan teknologi."

Pendapat lain disampaikan oleh Gillin dan Gillin (1948) yang menyatakan bahwa dinamika sosial mencakup "cara masyarakat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya." Sementara itu, Kingsley Davis menyoroti bahwa dinamika sosial dapat mencerminkan transformasi hubungan sosial sebagai respons terhadap kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.

Secara sederhana, dinamika sosial mencerminkan gerak masyarakat untuk menyesuaikan diri, baik melalui konflik, kerja sama, maupun reorganisasi struktur. Dinamika ini dapat memengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk kondisi kemiskinan.

Kemiskinan: Gambaran Umum

Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan layanan kesehatan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hingga tahun 2023, tingkat kemiskinan di Indonesia masih berada pada angka 9,36%. Meskipun berbagai program pemerintah telah dirancang untuk mengatasinya, kemiskinan tetap menjadi isu yang kompleks.

Menurut Prof. Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, kemiskinan tidak semata-mata diukur dari pendapatan melainkan juga dari "ketidakmampuan individu untuk mencapai potensi penuh mereka". Artinya, faktor-faktor sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan akses terhadap peluang juga memainkan peranan penting.

Salah satu dimensi yang sering diabaikan dalam analisis kemiskinan adalah pengaruh faktor budaya. Budaya mencakup nilai-nilai, norma, dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat, dan elemen-elemen ini dapat memainkan peran penting dalam membentuk pola kehidupan seseorang.

Peran Faktor Budaya dalam Kemiskinan

Budaya tidak hanya membentuk identitas individu, tetapi juga cara pandang dan perilaku masyarakat terhadap kerja, pendidikan, dan perubahan. Beberapa budaya dapat menciptakan hambatan yang berkontribusi terhadap kemiskinan:

Pola Pikir Tradisional Di beberapa daerah, budaya tradisional masih sangat kuat sehingga masyarakat enggan menerima perubahan atau inovasi. Contohnya, pandangan bahwa pendidikan tinggi bukan prioritas dapat mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan generasi muda, yang pada gilirannya menghambat peluang mereka mendapatkan pekerjaan yang layak.

Contoh kasus dapat dilihat di daerah pedalaman Indonesia, seperti Papua, di mana tingkat partisipasi pendidikan masih rendah akibat pandangan bahwa bekerja di ladang atau mengikuti tradisi adat lebih penting daripada belajar.

Ketergantungan pada Tradisi Agraris Dalam masyarakat pedesaan, ketergantungan pada tradisi agraris tanpa inovasi teknologi dapat menghambat peningkatan produktivitas. Dengan demikian, pendapatan masyarakat tetap rendah, apalagi jika hasil pertanian bergantung pada musim dan rawan kegagalan panen.

Menurut penelitian Dr. Alfons van Lant mengenai masyarakat agraris di Indonesia, modernisasi seringkali ditolak karena dianggap "melanggar adat". Penolakan terhadap alat-alat modern menyebabkan efisiensi produksi menjadi terhambat.

Budaya Gotong Royong yang Salah Kaprah Gotong royong adalah nilai positif dalam masyarakat Indonesia, namun dalam beberapa kasus, gotong royong yang salah kaprah justru menghambat kemajuan. Misalnya, adanya keharusan untuk membantu hajatan besar-besaran meskipun kondisi ekonomi keluarga memprihatinkan, sehingga menguras sumber daya keluarga.

Kasus ini terlihat dalam tradisi "nyumbang" di banyak desa, di mana keluarga yang ekonominya sulit tetap harus memberikan kontribusi besar pada perayaan adat, yang akhirnya menambah beban hutang.

Budaya Konsumtif Di kalangan masyarakat urban maupun rural, budaya konsumtif mulai tumbuh seiring dengan pengaruh media dan teknologi. Membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak produktif menjadi salah satu penyebab keluarga terjebak dalam kemiskinan.

Fenomena ini telah diulas oleh Prof. Sulistyowati Irianto, yang menyebutkan bahwa "kultur konsumtif melemahkan daya tahan ekonomi keluarga miskin."

Perbandingan Internasional: Budaya dan Kemiskinan

Pengaruh budaya terhadap kemiskinan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain. Berikut adalah beberapa studi kasus internasional:

  • India Di India, kemiskinan sering kali terkait dengan sistem kasta yang masih memengaruhi mobilitas sosial. Budaya kasta menyebabkan masyarakat Dalit atau "kelas rendah" sulit mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak. Penelitian dari International Labour Organization menunjukkan bahwa diskriminasi berbasis kasta menyebabkan pengangguran di kalangan kelompok ini mencapai 40% lebih tinggi dibanding kelompok lainnya.
  • Afrika Sub-Sahara Di Afrika, tradisi patriarki dan pernikahan dini menjadi penyebab utama kemiskinan. Perempuan sering kali tidak memiliki akses pendidikan karena diharapkan untuk menikah dan menjalankan peran domestik pada usia muda. Akibatnya, mereka terjebak dalam kemiskinan antargenerasi.
  • Amerika Latin Di beberapa negara Amerika Latin seperti Brasil, budaya "machismo" atau dominasi pria membuat perempuan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang setara. Tingkat kemiskinan perempuan lebih tinggi karena terbatasnya akses terhadap sumber daya ekonomi dan pendidikan.
  • Eropa Timur Pasca runtuhnya Uni Soviet, banyak negara di Eropa Timur mengalami kemiskinan akibat transisi ekonomi. Budaya ketergantungan pada sistem komunal atau negara menjadi tantangan dalam beradaptasi dengan kapitalisme. Di Rusia, misalnya, masyarakat yang belum terbiasa dengan inisiatif individu cenderung bergantung pada bantuan pemerintah yang tidak mencukupi.

Dari perbandingan ini, terlihat bahwa dinamika sosial dan budaya berperan besar dalam membentuk pola kemiskinan di berbagai negara. Namun, negara-negara yang berhasil memberdayakan budaya lokal secara produktif---seperti Jepang yang mengedepankan etos kerja dan pendidikan tinggi---mampu keluar dari kemiskinan dengan cara yang berkelanjutan.

Statistik dan Fakta Global

  • India: Sebanyak 21% penduduk India masih hidup di bawah garis kemiskinan nasional, di mana hampir separuhnya berasal dari masyarakat Dalit atau suku asli tanpa hak atas tanah.
  • Afrika Sub-Sahara: Lebih dari 50% perempuan di kawasan ini menikah di bawah usia 18 tahun, mengakibatkan tingkat pendidikan rendah dan ketergantungan ekonomi yang tinggi.
  • Indonesia: Pada tahun 2023, tingkat partisipasi pendidikan di daerah tertinggal hanya mencapai 68%, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional.
  • Amerika Latin: Data dari UNDP menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan perempuan mencapai 25% lebih tinggi dibanding laki-laki di kawasan ini.

Dinamika Sosial Masyarakat: Antara Budaya dan Kemiskinan

Dalam masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, dinamika sosialnya seringkali sarat dengan tantangan. Ketimpangan sosial, ketergantungan pada kelompok masyarakat yang lebih makmur, serta stigma kemiskinan memperburuk kondisi ini. Budaya ikut memainkan peranan besar dalam bagaimana masyarakat mengatasi kemiskinan.

  • Stigma Sosial Di beberapa komunitas, kemiskinan sering dianggap sebagai aib, sehingga individu yang miskin merasa malu untuk mencari bantuan atau membuka diri terhadap peluang baru.

Contoh nyata dapat dilihat pada komunitas marginal perkotaan seperti di Jakarta Utara, di mana anak-anak enggan melanjutkan pendidikan karena khawatir menghadapi ejekan teman.

  • Ketergantungan pada Bantuan Bantuan sosial yang diberikan pemerintah sering kali tidak digunakan secara produktif karena rendahnya pemahaman masyarakat. Hal ini juga berakar pada budaya yang tidak memprioritaskan perencanaan keuangan.
  • Keterbatasan Jaringan Sosial Kemiskinan sering kali melumpuhkan kemampuan individu untuk membangun jaringan sosial yang lebih luas, terutama jika mereka dibatasi oleh norma budaya yang menghalangi mobilitas sosial. Dalam studi "Poverty and Networks" oleh Caroline Moser, ditemukan bahwa masyarakat miskin sering terisolasi dari jaringan ekonomi yang lebih besar, sehingga memperparah situasi mereka.

Memaknai Hubungan Budaya dan Kemiskinan

Pada dasarnya, budaya adalah cerminan cara manusia merespons dan menghadapi tantangan kehidupan. Namun, ketika budaya menjadi beban yang menghalangi kemajuan, masyarakat perlu merefleksikan peranannya. Mengapa budaya yang dimaksudkan untuk membentuk identitas justru menjadi hambatan? Bagaimana kita dapat memanfaatkannya untuk menciptakan kemajuan?

Dalam pandangan Pierre Bourdieu, budaya memiliki "modal simbolik" yang bisa diubah menjadi modal ekonomi dan sosial. Artinya, nilai-nilai tradisional seperti gotong royong atau kearifan lokal dapat diolah menjadi peluang produktif, jika diarahkan dengan benar.

Selain itu, refleksi filosofis ini menuntut kita untuk memahami bahwa kemiskinan bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi masalah martabat manusia. Seperti yang dikatakan Amartya Sen, "Kemiskinan adalah kehilangan kebebasan." Budaya seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan penjara.

Solusi atas kemiskinan berbasis budaya memerlukan keberanian untuk mengubah pola pikir yang selama ini stagnan. Dalam masyarakat adat yang erat dengan norma kolektif, penting untuk memastikan bahwa transformasi budaya dilakukan tanpa kehilangan esensi kemanusiaan mereka.

Filosofisnya, masyarakat perlu melihat bahwa budaya adalah milik bersama yang tidak hanya diwariskan, tetapi juga dirancang ulang untuk generasi masa depan. Dengan demikian, refleksi ini menggarisbawahi pentingnya pemanfaatan budaya sebagai pijakan untuk melompat keluar dari lingkaran kemiskinan.

Mengurai Solusi: Budaya sebagai Alat Transformasi

Faktor budaya memang bisa menjadi penyebab kemiskinan, namun budaya juga memiliki potensi besar untuk menjadi alat transformasi sosial. Berikut beberapa pendekatan yang dapat digunakan:

Pendidikan Inklusif dan Kontekstual Mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal dalam kurikulum pendidikan dapat meningkatkan relevansi pendidikan di masyarakat. Pendidikan yang menghargai budaya lokal akan lebih diterima dan dipahami, serta membantu individu memanfaatkan keunggulan lokal secara produktif.

Perubahan Pola Pikir Penyuluhan dan kampanye kesadaran diperlukan untuk mengubah pandangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan, kerja keras, dan inovasi. Program-program yang menginspirasi perubahan pola pikir harus melibatkan tokoh adat atau agama setempat agar lebih efektif.

Mengoptimalkan Kearifan Lokal Banyak kearifan lokal yang sebenarnya mendukung keberlanjutan dan kemandirian ekonomi. Dengan pemberdayaan yang tepat, nilai-nilai seperti gotong royong bisa diarahkan untuk menciptakan usaha bersama yang produktif. Salah satu contoh yang berhasil adalah program "Desa Mandiri" di Yogyakarta, yang mengadaptasi tradisi lokal untuk menciptakan unit usaha mikro berbasis komunitas.

Meningkatkan Literasi Keuangan Literasi keuangan perlu diajarkan sejak dini, terutama di kalangan keluarga kurang mampu. Pemahaman tentang cara mengelola uang dengan bijak dapat mencegah budaya konsumtif yang merugikan. Contohnya adalah program "Smart Family Finance" yang diperkenalkan di beberapa desa di Jawa Tengah.

Memberdayakan Perempuan Perempuan sering kali menjadi agen perubahan utama dalam keluarga. Melalui program pemberdayaan perempuan berbasis budaya, masyarakat dapat melihat dampak langsung dari peningkatan ekonomi pada lingkup keluarga. Penelitian oleh UNDP menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan dalam kegiatan ekonomi mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga sebesar 20%.

Kesimpulan

Faktor budaya memiliki dua sisi: sebagai penyebab sekaligus solusi kemiskinan. Pendekatan yang memahami dan menghargai budaya lokal dapat menjadi kunci untuk memutus siklus kemiskinan. Masyarakat, pemerintah, dan berbagai pihak terkait perlu bersinergi untuk mengintegrasikan nilai-nilai budaya ke dalam program pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan. Dengan cara ini, kemiskinan tidak hanya dilihat sebagai masalah ekonomi, tetapi sebagai tantangan sosial yang memerlukan pendekatan holistik.

Berbagai kasus dan pandangan ahli menunjukkan bahwa mengatasi kemiskinan melalui perspektif budaya memerlukan waktu dan komitmen. Namun, dengan kerja sama dan upaya terus-menerus, perubahan dapat tercapai. Kemiskinan bukanlah nasib yang tidak bisa diubah, melainkan tantangan yang bisa diatasi dengan langkah-langkah tepat dan menghargai kekayaan budaya masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun