Mohon tunggu...
RAHMA LITAVIA ARZA
RAHMA LITAVIA ARZA Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

hobi saya membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sayap yang Hilang

22 November 2024   09:04 Diperbarui: 22 November 2024   09:06 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Reina berjalan dengan cepat, dia seolah sedang dikejar waktu. Satu tangannya menggeret koper berwarna putih, sementara tangan lainnya berusaha untuk menghubungi nomor sang Ibu. Ia baru saja landing dari penerbangan Amerika Serikat, setelah semalam menerima kabar mengejutkan dari Sang Ibu. Selang beberapa saat, telpon nya pun akhirnya diangkat.

"Halo Bu, Ibu dimana sekarang? Reina sudah sampai di bandara." Tanya Reina dengan tergesa-gesa.

"Nak ... maaf ya Ibu tidak bisa menjemput Reina sekarang. Nanti Om Rudi yang akan menjemputmu." Ujar Ibu dengan suara sendu.

"Ibu kenapa? Tidak terjadi sesuatu yang buruk, kan, Bu? Lalu, Ayah sekarang bagaimana, Bu?." Tanya Reina secara beruntun.

"Reina, lebih baik kamu sekarang pulang dulu ya." Pinta Sang Ibu.

"Jawab pertanyaan Reina dulu, Bu. Ibu? Halo?." Desak Reina pada Ibunya.

Panggilan diakhiri secara sepihak oleh Sang Ibu. Mau tidak mau Reina harus menahan rasa penasaran serta kekhawatirannya untuk sekarang ini. Lalu, Reina pun segera menghubungi Om Rudi sembari matanya melihat ke sekeliling. Tak lama setelah itu, Reina pun menemukan seseorang yang sedari tadi dicarinya sedang melambaikan tangan padanya. Reina segera menghampiri Om Rudi dan bergegas untuk segera pulang ke rumah.

Saat di perjalanan, Reina menanyakan hal yang sama seperti yang ia tanyakan pada Ibunya beberapa menit yang lalu mengenai Sang Ayah. Alih-alih menjawab pertanyaan dari Reina, Om Rudi malah memberikan kata penenang dan semangat untuk Reina. Hal tersebut tentunya semakin memupuk rasa penasaran Reina tentang apa yang terjadi sebenarnya. 

Setelah melewati jalan perkotaan yang cukup padat pada gelapnya sore hari itu, mereka pun akhirnya sampai di kediaman rumah Reina. Anehnya, rumah tersebut terlihat sangat ramai, satu persatu orang mulai berdatangan memenuhi kediaman Reina. Di situ pikiran Reina mulai menyusun kemungkinan-kemungkinan buruk yang sedang terjadi. Tepukan pada bahunya, membuat Reina kembali tersadar dari skenario-skenario buruknya itu. 

"Reina, kok melamun? Ayo turun." Ajak Om Rudi pada Reina.

"Om, ini ada apa kok rumah Reina ramai sekali? Di rumah sedang ada acara ya, Om?." Tanya Reina penasaran.

"Kamu yang kuat ya, Rein, keponakan cantik Om pasti bisa melewati ini semua." 

"Sebenarnya ada apa sih ini? Kok dari tadi Om bilang begitu terus ke Reina?." Tanya Reina yang sudah mulai kesal.

"Ayo turun dulu, biar Reina tahu yang sebenarnya." Ajak Om Rudi pada Reina.

Karena rasa penasaran Reina sudah diujung tanduk, ia pun bergegas membuka pintu mobil dan masuk ke rumahnya. Saat kakinya mulai memasuki pintu utama, betapa terkejutnya Reina ketika melihat seseorang terbujur kaku di ruang tamu dengan kain kafan yang menyelimutinya. Di sampingnya terdapat Sang Ibu yang meraung-raung seraya memeluk tubuh kaku tersebut. Reina pun memberanikan diri untuk mendekat dengan tangan yang sudah mulai gemetaran. Ketika sudah sampai di hadapan Sang Ibu dan melihat raga seseorang tersebut, waktu terasa terhenti saat itu juga. Reina merasa sesak luar biasa. Rasanya seperti dunia yang dipijakinya tak lagi sama. Ulu hatinya seperti ditusuk belati paling tajam di dunia. 

"Ayah ..." Ucap Reina dengan suara bergetar.

"Kenapa Ayah pergi secepat ini?." Ucapnya seraya mengelus pelan wajah damai Sang Ayah.

"Kemarin Ayah sudah berjanji, kan untuk mendampingi Reina wisuda? Lalu mengapa Ayah ingkar janji sekarang?." Tanya Reina beruntun pada raga cinta pertamanya itu.

"Ayo bangun, Ayah. Ayah harus menepati janji itu pada Reina!! Ayah tidak boleh meninggalkan Reina sendirian seperti ini!!." Teriak Reina histeris.

Hatinya berharap ini semua hanyalah mimpi buruknya saja. Tetapi merasakan beberapa orang yang berusaha menenangkan dirinya. Membuat dadanya kian nyeri, kepalanya serasa dihantam palu gada. Lama kelamaan kesadaran Reina mulai terenggut. 

Tak berselang lama, Reina terbangun saat merasakan ada seseorang yang menepuk pelan tubuhnya. Ia merasa seperti sedang dipermainkan oleh takdir. Padahal, lusa kemarin Reina baru saja mengobrol ria dengan Sang Ayah, mengenai kelulusannya yang tinggal 1 bulan lagi. 

Ayahnya mengalami kecelakaan pesawat kemarin malam. Sandi, Ayah Reina, adalah seorang pilot yang bekerja di salah satu maskapai penerbangan di Jawa Timur. Pesawat yang disupirinya mengalami kerusakan mesin, yang semakin didukung pula dengan keadaan cuaca yang buruk pada saat itu. Sandi tidak dapat mengendalikan kemudinya yang berakhir mendarat di tengah badai salju. 

Perekonomian keluarga Reina yang semula sangat lebih dari cukup, kini mulai merosot secara perlahan. Reina sebagai anak sulung dari 2 bersaudara, mau tidak mau menjadi tulang punggung bagi keluarganya. 

Setelah Reina wisuda dari universitas kebanggaannya, Reina mulai mencari pekerjaan. Sudah tak terhitung lagi berapa perusahaan yang sudah dimasuki oleh Reina, namun belum juga membuahkan hasil. Sembari menunggu panggilan pekerjaan datang padanya, ia pun memutuskan untuk berjualan risol. Reina berjualan secara online dengan mempromosikan produk jualannya di media sosial.

 Hasil dari penjualannya tersebut untungnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Tetapi, jika untuk kebutuhan sekolah Laura, adik Reina, tentunya penghasilan dari berjualan risol masih belum mencukupi. Takdir seolah mendengar isi hati Reina, ia diterima di salah satu perusahaan yang cukup besar di swasta. Reina menjalani pekerjaannya tersebut dengan semangat yang membara, bagai api yang tak pernah padam, siap membakar segala rintangan di depan. Meski telah bekerja, Reina tetap meneruskan jualannya tersebut jika sedang ada pesanan dari customer.

Reina banting tulang dari pagi hingga malam, seolah tak kenal waktu. Rasa lelahnya pun dianggap angin lalu oleh Reina, mengingat dirinya lah yang sekarang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tidur hanya 5 jam sudah biasa dilakukan oleh Reina, jam tidurnya sekarang sangat amat berantakan. Bahkan tak jarang, Ranti, Ibu Reina, memergoki Reina yang berdiri di depan wastafel dengan tisu di tangannya, sedang berusaha menghentikan cairan kental merah yang keluar dari hidung bangirnya tersebut. 

"Reina, bangun nak. Reina!." Ucap Ranti dengan khawatir seraya menepuk pelan pipi Reina.

Selang beberapa detik, Reina pun akhirnya terbangun dari tidur panjangnya. Keadaan Reina saat ini tidak bisa dikatakan baik-baik saja, dengan kondisi keringat yang mengucur deras dari tubuh dan wajahnya serta lelehan air mata yang masih tersisa di pipi tirusnya itu. Masih dalam keadaan yang setengah sadar, Reina berusaha mencerna satu persatu kejadian pahit yang menimpa dirinya serta keluarganya tersebut. Setelah tersadar dari lamunannya, Reina pun langsung teringat pada seseorang yang sangat penting dan berjasa bagi hidupnya tersebut.

"Ibu, Ayah mana, Bu? Ayah masih bersama kita, kan, Bu?." Tanya Reina panik.

"Kamu ini kenapa sih, Nak? Ini diminum dulu, agar kamu bisa lebih tenang." Tenang Ranti seraya memberikan air putih pada Reina.

"Bu, jawab pertanyaan Reina dulu. Ayah masih ada kan, Bu?." Tanya Reina tidak sabaran.

"Kamu ini bicara apa sih Reina? Habis mimpi buruk ya kamu?." Tebak Ranti.

"Bu, ayolah jawab dulu pertanyaan Reina tadi." Ujar Reina yang mulai kesal karena Sang Ibu tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Ayahmu lagi di depan, baru saja pulang subuh tadi." Terang Ratna.

Seolah tak percaya dengan ucapan Sang Ibu, Reina pun akhirnya ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri. Ia keluar dari kamar dengan tergopoh gopoh seolah sedang dikejar oleh seorang rentenir. Setelah sampai di teras depan dan melihat Ayahnya dalam keadaan yang sangat baik, hatinya terasa lega, sangat lega. Reina berlari menghampiri Sandi, bagai seseorang yang sudah tak bertemu puluhan tahun lamanya. 

"Ayah!!." Teriak Reina yang kemudian langsung memeluk raga Sang Ayah. 

"Hei, kenapa ini Reina? Kok tumben kamu memeluk Ayah seperti ini?." Heran Sandi melihat kelakuan putrinya tersebut. 

"Tidak papa, Ayah. Reina hanya ingin melepas rindu saja dengan Ayah." Ujar Reina.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun