Di zaman yang serba digital ini, mudah sekali untuk seseorang mendapatkan berbagai informasi melalui platform media sosial atau internet, termasuk dalam hal kesehatan mental.
Alih-alih pergi menemui professional, seseorang akan cenderung tergoda untuk mencari tahu gejala-gejala yang dialaminya melalui internet tanpa memfilter informasi yang didapat.
Hal ini dinilai lebih mudah, cepat, dan gratis. Namun, hal semacam itu justru akan berdampak buruk. Sebelum mengulasnya, terlebih dahulu kita akan membahas pengertian dari self diagnosis itu sendiri.
Apa itu self diagnosis?
Self diagnosis adalah kegiatan mendiagnosa diri sendiri dengan mencari informasi mandiri tanpa mempunyai ilmu yang mumpuni dengan sikap yang seakan-akan paham akan solusi atas gejala yang dirasakan.
Misalnya, ketika seseorang merasa moodnya mudah berubah. Ia mencari gejala-gejala yang dirasakan di internet lalu dengan mudahnya mendiagnosa diri sebagai seorang bipolar.
Setelah ia mengetahui hal tersebut, seseorang itu panik dan sesegera mungkin mencari obat-obatan penenang. Padahal bisa saja itu hanya setres biasa yang tidak perlu pengobatan khusus. Tentunya, hal ini akan menimbulkan masalah baru yaitu penyakit fisik akibat obat-obatan yang tidak seharusnya.
Baru-baru ini self diagnosis sedang menjadi “tren” di platform media sosial. Banyak anak muda yang bermain media sosial memposting bahwa dirinya pengidap mental illness padahal itu hanya diagnosa mandiri.
Dengan hal semacam itu, dapat mengundang orang lain untuk melakukan hal yang sama sehingga mereka merasa “ada teman” dan postingan-postingannya menjadi heboh dan akhirnya blow up.
Nyatanya, diagnosa mental illness itu bukan merupakan sesuatu yang mudah dan cepat. Butuh beberapa tes dari professional untuk mengetahui apakah benar-benar seseorang tersebut mengalami mental illness atau tidak, jika memang iya, jenis mental illness seperti apa dan solusi apa yang cocok atas diagnosa tersebut.
Menurut survey, pengidap mental illness di masa pandemi COVID-19 ini meningkat. Tentu saja hal ini sangat wajar mengingat dampak pandemi yang begitu luas dan merata. Namun, dengan begitu, benarkah jika kita melakukan self diagnosis?