Segera kuhampiri dan bertanya pada bapak apa yang terjadi, bapak menjawab Kak Fahri mengambil sertifikat rumah sebagai jaminan pinjaman online uang yang digunakan untuk membelanjakan istrinya barang mahal dan biaya sekolah untuk anak anaknya.Â
Bapak ingin, aku dapat melunasi pinjaman Kak Fahri karena bapak tau selama ini aku memiliki tabungan pribadi. Hatiku runtuh, rasanya seperti disambar oleh petir. Apakah harus kurelakan tabunganku untuk membeli rumah impianku? Rasanya untuk aku bermimpi saja tidak pantas, aku harus bisa sadar diri. Dengan berat hati kuberikan seluruh tabunganku kepada Kak Fahri. Hidup tidak adil ya? Sementara Kak Fahri tersenyum karena bebannya yang hilang, aku disini harus mengiklaskan mimpiku yang direnggut.
Dengan uang tabunganku yang tinggal menyisakan lima juta rupiah, aku memutuskan untuk pergi dari rumahku dan sementara menginap di apartemen milik temanku. Setidaknya tuhan masih memberikan teman yang baik untukku. Aku hanya bisa terduduk  menangis di balkon apartemen sambil melihat rintik hujan yang seolah olah mengerti perasaanku di malam hari ini.Â
Aku tak akan menyerah untuk terus melanjutkan hidupku, namun apakah salah jika aku menyimpan amarah pada keluargaku? Dari milyaran jiwa yang ada di dunia ini, mengapa aku harus merasakan runtuh di rumahku sendiri? Lalu apa sebenarnya arti dari rumah yang sesungguhnya? Aku percaya waktu akan menjawab semua ini.Â
Dalam tangis aku berdoa, akan kulanjutkan hidup ini namun satu pintaku pada tuhan, tolong kuatkan aku. Hari berlalu, jalanan yang dibasahi air hujan akan kering, daun tua akan gugur, begitupun aku yang akan bangkit kembali.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI