Bapak bilang, rumah adalah tempat dimana kita bisa melakukan banyak hal dengan tentram, damai, dan nyaman. Nyatanya apa yang bapak bilang gak sejalan dengan apa yang aku rasakan. Aku Kaluela, aku tinggal di sebuah rumah yang kalau kata bapak dan ibu sudah ditinggali sejak jaman eyang masih kecil.Â
Seolah olah latar belakang yang disampaikan bapak dan ibu adalah petuah untuk aku terus tinggal didalam rumah ini supaya bisa melanjutkan sejarah apa yang sudah ditemurunkan. Tapi satu yang aku percaya, hati selalu menuntunku kearah yang sebenarnya harus kutempuh. Banyak mimpi yang ingin kuraih, walaupun gak sejalan dengan apa yang bapak dan ibu inginkan termasuk terus berada di dalam rumah ini.
Aku hanya seorang jurnalis, gajiku tak sebesar orang diluar sana yang bekerja diperusahaan start up atau duduk di kursi pemerintahan. Sambil menghirup sebatang rokok yang kuselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah di lobby perusahaanku, aku menatap silaunya matahari yang menyinari langit siang hari ini. Tiba tiba tangan berukuran cukup besar mengagetkanku, ternyata Pak Syarif  menugaskanku untuk meliput pelaku kekerasan di kantor polisi yang tak terlalu jauh dari perusahaanku.Â
Apalah dayaku, untuk sekedar merasa hidup sedikit saja rasanya sulit, tak mungkin aku menolak apa yang ditugaskan oleh atasanku. Segera aku mematikan rokok yang masih panjang ditanganku dan bergegas menuju kantor polisi dengan menggunakan motor yang memang diberikan perusahaan untuk bekerja.
Dalam perjalanan aku hanya dapat menghela nafas, bekerja sebagai jurnalis artinya siap untuk ditugaskan kapan saja dan dimana saja, itulah alasanku hanya memakai setelan kemeja polos, celana hitam dan sepatu kets yang sudah kusam setiap pergi bekerja. Â
Sesampainya di kantor polisi, sudah banyak jurnalis lain yang hadir dan sedang menyiapkan alat tempurnya untuk merekam liputan. Aku segera bergegas untuk menyiapkan  kamera dan microfon yang akan kugunakan ketika meliput. Tak lama kemudian beberapa orang dari dalam kantor polisi keluar menghampiri kami yang sudah siap untuk merekam.
Empat orang berbadan besar dengan mengenakan seragam polisi dan satu orang berbadan kurus mengenakan kaos berwarna oranye bertuliskan tahanan berdiri tepat didepanku. Beruntung aku mendapatkan posisi yang strategis, Pak Syarif pernah bilang usahakan berada di posisi yang paling stategis untuk meliput seluruh kejadian supaya footage yang diperlukan bisa terambil semua. Kejadian kekerasan seperti ini biasa ku jumpai sebegai seorang jurnalis.
Tak terasa waktupun berlalu dan tugasku untuk meliput sudah beres, sebelum kembali ke perusahaanku, kusempatkan duduk di pinggir jalan sambil mengeluarkan kembali bungkus rokok yang kusimpan di saku celanaku. Lagi lagi aku hanya bisa menghela nafas, hanya tersisa satu batang rokok dalam bungkus. Kunyalakan percikan api merah menyala kearah kertas gulungan itu dan kuhirup dalam dalam. Seraya itu, kuambil dan nyalakan laptop didalam tas backpack hitamku. Ku buka file catatan pribadiku, kubaca kembali tabel yang berisikan pengeluaran untuk diriku dan pengeluaran untuk keluargaku.
Walaupun aku adalah anak terakhir di keluargaku, aku harus memikul tanggung jawab yang besar untuk keluargaku yaitu Bapak, Ibu, dan Kak Fahri. Kulanjutkan membuka file pribadiku yang lain, sebuah file berjudul "Rumah Impianku." Sejenak kuperhatikan layar laptop sambil tersenyum lebar. Seperti mimpi, rumah yang ku dambakan dan impikan sebentar lagi dapat ku beli. selama ini kusisihkan uang  hasil dari gajiku yang pas pas an untuk kutabung agar dapat membeli rumah. Walaupun nantinya harus kucicil, namun setidaknya aku bisa segera keluar dari rumah yang selama ini kutinggali.
Biarkan aku bercerita kembali sedikit. bapak sudah tidak bekerja semenjak aku lahir, sementara ibu hanya diam dirumah mengurus hal hal yang berkaitan dengan pekerjaan rumah. Kak Fahri juga tinggal dirumah bersama dengan istri dan ketiga anaknya yang masih kecil. Sama sepertiku, Kak Fahri bekerja namun gajinya tak seberapa. Sempat Kak Fahri membeli rumah, namun sayangnya developer rumah tersebut membohonginya dan uang untuk rumah tersebut lenyap begitu saja. Dirumahku sendiri, aku tidak dapat sedikit saja melakukan sesuatu dengan tenang dan damai seperti apa yang dikatakan bapak. Bahkan ironinya, aku harus merelakan ruangan kamarku dan tergusur ke kamar astisten rumah tangga demi anak anak kak Fahri. Setelah cukup lama aku berdiam diri menatap layar laptopku aku segera memasukan kembali laptopku kedalam tas dan menyalakan motor untuk kembali ke perusahaanku. Baru setengah perjalanan ku lewati, ponselku berdering kencang menandakan seseorang menelfonku. Kutepikan motor yang sedang kukendarai dan mengangkat telfon yang ternyata dari bapak.
"ndok, pulang ya bapak perlu bicara penting"
Kata kata bapak tak bisa kubantah, ku matikan ponsel dan bergegas pergi ke perusahaanku untuk menaruh barang dan pulang agar memenuhi amanat bapak. Sesampainya dirumah entah mengapa perasaanku bercampur aduk. Perasaanku dapat divalidasi setelah kubuka pintu dan kulihat seluruh penghuni rumahku memasang raut muka yang kusut ditambah ibu yang sudah menangis.