Begitulah, bagaimana diam berhasil merenggut tawa. Merubah malam menjadi kejam. Menyisakan hati yang bertanya-tanya.(*)
Selamat malam.
Sudah beberapa minggu ini aku selalu tak bisa tidur, malam menjadi teman akrabku, berbagi kopi, dan roti. Ini sudah benar-benar malam, bahkan pembaca berita di televisi, sudah menukarnya dengan pagi. Aku tak peduli, bagiku ini adalah malam, malam yang sunyi. Hujan deras sedang bercengkrama di atap kamar kosku, lengkap dengan petir dan juga badai.
Aku tak tau lagi harus berbicara apa kepadanya, aku sudah tak bisa bicara, ya sebelumnya pun aku lebih memilih diam. Biarlah waktu yang membuka kata. Dan dia pun begitu, membujur kaku di sudut tempat tidur, lalu sunyi menjerat kami berdua.
Dua hari berlalu, dan kami masih di bekap oleh kebisuan. Dengan aku yang takut untuk berkata, dan dia yang mungkin tak ingin bersuara. Aku sibuk menduga-duga, kenapa diam ini bertahan lama, apa yang salah?.
“Kamu sudah makan Gen?” aku memecah hening.
Dia menggeleng, lalu membenamkan kepalanya di bantal. Aku terpaku heran, beringsut kembali ke ujung kamar. Kesunyian benar-benar menggelayut di kamar kecil itu.
“Aku pergi dulu” Geni berkata pelan, bahkan desau angin mengalahkan suaranya. Belum sempat aku menjawab Geni sudah hilang di balik tembok. Ini sudah pagi ketiga, sejak perang dingin menjadi-jadi di kamar kami. Geni masih dengan raut wajah yang sama, tatapan sinis itu, buruk, buruk sekali. Hingga hariku pun berubah buruk.
"Kamu kalau tidak mau mendengarkan saya, lebih baik keluar saja!”
“Eh, kamu yang berbaju biru”
Inda menepuk bahuku, aku tersadar dari lamunan.