“Permen Gen, tadi aku beli banyak” aku mencoba memasang tampang riang, seperti tak terganggu akan suasana menyebalkan ini.
“Ngak” dia hanya mengatakan satu kata itu. Menggeleng, dengan mata sayu, buruk. kamar ini pengap oleh kecanggungan.
“Lah, benaran ngak mau ni, biasanya kamu ngak dikasih, malah nyolong, hehe” aku mencoba bergurau, merenggangkan senyap, yang sudah mengerat, membuat sarang di setiap sudut.
Ah. Sungguh aku kesal sekali dengan situasi itu, wajah buruk itu, menganggu. Semuanya menjadi kacau, bahkan candaan ku pun terdengar ganjil.
Sepuluh menit, kami masih berbicara dalam diam. Rasa bersalahku, prasangka, sikap Geni, dan kediaman ini membuatku kesal. Aku tak bisa lagi menahan emosi, aku harus bicara.
“Gen,,” aku mencoba mengusik keheningan, aku juga tak tau apa yang akan ku bicarakan. Setidaknya malam ini aku tak ingin kami terkubur dalam kedinginan.
“hmm” Geni bersuara, ya dia tidak berbicara.
“kamu kenapa?, apa aku bikin salah sama kamu?” suaraku bergetar, mataku berdenting, menahan tangis.
Ku mohon, bicaralah Gen, aku tidak bisa begini.
Geni menunduk. Lalu kembali menenggelamkan wajahnya di bantal. Memunggungiku.
“Gen, kamu kenapa sih?” aku memegang erat bahunya. Pertahanan ku runtuh. Satu per satu tangisku mulai pecah.