Mohon tunggu...
R.sovina
R.sovina Mohon Tunggu... -

bermimpi, adalah satu-satunya hal yang menyenangkan dalam hidup. meski begitu tak ada hidup yang benar benar indah, karna mimpi buruk itu ada. namun, seburuk apapun adanya, jangan pernah berhenti tersenyum. :)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Buruk

14 Juni 2015   11:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:03 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Al, Alya, dosen manggil kamu tuh” Inda berbisik cepat, aku melihat kedepan, ibu Dewi sudah melotot, bersiap melancarkan serangan menyuruhku keluar kelas. Aku memperbaiki posisi duduk, memajang tampang bersalah, dengan sorot mata yang memohon agar dimaafkan.

“Kamu masih mau mendengar saya atau tidak, kalau tidak keluar saja!”

“Mau buk” aku berkata pelan. Lalu menunduk, aku tak berani menatap mata berangnya.

Bu Dewi melanjutkan pelajaran, hingga lebih dari setengah jam, aku merasa di perhatikan oleh bebarapa pasang mata, beberapa tersenyum sinis saat menatapku, dan beberapa merasa kasihan.

Buruk, hari itu sempurna buruk, entah sepertinya langitpun turut merasa buruk. Baru saja aku keluar kawasan kampus. hujan menyerbu, tak memberikan aba-aba, hujan sempurna membungkus tubuhku, aku tak berminat lagi untuk mencari tempat berteduh. Sudahlah, kepalang basah. Aku penat.

Sepasang remaja berseragam putih abu-abu berjalan beriringan. Sama sepertiku, tetap berjalan meskipun kuyup. Musim ini adalah musim penghujan. Ini adalah hujan ke dua dalam minggu ini. Tiga hari yang lalu aku juga kehujanan, tapi waktu itu aku ditemani Rudi. Kami tidak janjian, dia tidak sengaja bertemu denganku saat berteduh di depan toko buku. Empat puluh lima menit yang harusnya terasa panjang, berlalu begitu saja.

Kulitku mulai terlihat pucat, hari ini bahkan aku belum makan apapun, hanya seteguk air putih yang ku minta dari Inda tadi, dan tadi itu adalah sembilan jam dan empat puluh lima menit yang lalu. Tepat sekali untuk membuat perutku terasa perih. Tapi bukan itu, bukan makanan yang sekarang aku fikirkan. Geni. Ya, Geni. Aku masih tak mengerti.

Aku berdiri lama di bingkai pintu kamar, menatap setiap sudutnya. Lalu melangkah layu. Menghampaskan tubuh ku yang kuyup ke atas tempat tidur. Dia sedang tidak ada disini, aku sendiri. Aku merasa ganjil kenapa sikapnya seperti itu, setahuku, dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Aku mulai berprasangka macam-macam, habis sudah sore itu segala prasangka memenjara otakku, bercampur antara buruk dan baik, semua teraduk sempurna dengan potongan-potongan kenangan bersama Geni.

Hujan sudah reda beberapa menit yang lalu, hanya saja angin masih ribut di luar sana. Entah ingin berhembus kemana. Pintu kamarku terbuka. Geni masuk dengan baju yang basah, namun tidak kuyup. Wajahnya masih sama. Dingin, lebih dingin dari hujan. sepertinya malam ini akan terasa lebih panjang.

Aku mengangkat kepala, berusaha tersenyum, Geni tidak melihatku.

Lima belas menit berlalu, kesunyian menyusup, semakin pekat. Geni membaca novelnya, dan aku sibuk dengan handphoneku, tepatnya aku menyibukkan diri, mencoba mengabaikan hening. Ah ya, aku teringat sesuatu. Aku menjulurkan tangan kepada geni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun