“Aku minta maaf Gen, kalau aku bikin kamu marah, tapi ngak begini caranya Gen. Udah tiga hari ini, hariku kacau Gen. aku benar-benar ngak tau apa yang udah aku lakuin, sampai-sampai kamu menghukum ku begini. Aku mohon, bicara lah Gen,, Geni!” aku mengguncangkan bahu geni dari belakang, tangis itu sempurna mengalir.
Geni adalah sahabat baik ku, dia selalu sabar menghadapiku, selalu ada saat aku ingin bercerita tentang kepenatan. Geni adalah sahabat baik ku, dia tak pernah melupakan ulang tahunku, bahkan akulah yang sering tidak ada saat dia berulang tahun, karna ulang tahun Geni bertepatan dengan hari libur, tapi Geni tak pernah mengeluh tentang itu. Singkatnya dia tidak pernah mengeluh. Geni adalah sahabat baik ku, bahkan sudah lebih dari itu, aku sudah menganggapnya sebagai kakakku. Dan aku tak tahan berlama-lama dengan kondisi ini.
Bicaralah Gen, sedikit saja.
“Geni aku mohon, jangan begini Gen. Coba bayangin kebersamaan kita selama dua tahun ini. Aku bahkan sudah menganggapmu sebagai kakakku sendiri. Bicaralah Gen. Pukul aku, jika memang aku sudah melukaimu. Aku tak sanggup melihat kita begini, Gen,” aku terngungu di ujung kasur. Berbicara sambil terisak, tangisku memuncak, semakin deras. Sesak hatiku.
Geni bersuara di balik bantalnya, dia tidak bicara, dia sedang menangis. Selama ini Geni jarang menangis. Bahkkan dia tidak menangis saat putus dengan Rudi, yang sudah bersamanya selama 2 tahun lamanya.
“Sudah, sudah, diamlah!” Geni menepis tanganku yang mencengkram bahunya. Nadanya terlihat kesal menyuruh diam. Aku berhenti menangis, tapi tetap terisak.
Malam itu aku benar-benar meluapkan semua emosi yang sudah tertumpuk selama tiga hari itu. Aku berbicara sambil menangis. Aku bicarakan semuanya kepada Geni. Sikapnya yang berubah, kesunyian yang merayapi atap kamar ini, hariku yang berubah buruk, tatapan sinis, senyum terpaksa, masa lalu. Semuanya. Aku tersedu-sedan di balik punggung Geni. Geni hanya semakin membekapkan telinga dan mukanya ke bantal. Sesekali dia menepukku, menyuruh diam, suaranya serak, hampir tak terdengar olehku. Hingga aku menyerah, tertidur dalam semua pertanyaan. kenapa?.
Pagi sudah menyentuh dedaunan, cerah, sisa hujan semalam masih membasahi tembok, awan tak terlihat, pagi itu tak buruk. Aku menatap jendela kamar, masih menelingkung di kasurku. Aku tak menyadari, bahwa Geni tak ada di kamar.
Mataku sembab, wajahku kusut, dan hatiku lelah, sisa tangis semalam masih membayangi. Aku duduk, menatap kosong dan layu ke jendela. mecoba menurunkan kaki, perlahan, menyentuh latai kamar yang dingin, aku merasa menginjak sesuatu. Sebuah kertas. Bukan, itu adalah foto. Aku spontan meraihnya. Melihatnya. Kemudian menghela nafas panjang.
Geni sangat suka fotografi. Dia sering mengajakku berjalan-jalan, sekedar untuk memuaskan hobinya itu. Dan terkadang Geni iseng menjadikanku objek kameranya. Bagiku, Geni termasuk fotografer yang unik. Entah kenapa, setiap jepretan kameranya, selalu menghasilkan cerita. Dan kali ini, foto itu bercerita tentangku. Sore, dan hujan pertama di minggu ini.
Tanganku gemetar, lemah memegang foto itu. Aku mulai menyadari kenapa belakangan ini Geni bersikap dingin, dengan tatapan sinis, senyum terpaksa. Dan kenapa suaranya bahkan lebih lembut dari angin.