Mohon tunggu...
Rahma Dwi Rahayu
Rahma Dwi Rahayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universits Airlangga

Saya merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga yang memiliki ketertarikan dengan hal-hal yang sedang menjadi "trending topic" saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Tren "Marriage Is Scary" di Kalangan Gen Z: Kemunduran atau Cara Baru Melihat Masa Depan?

26 Desember 2024   19:30 Diperbarui: 3 Januari 2025   21:39 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah pernikahan masih relevan di era Gen Z? Dengan munculnya tren "Marriage Is Scary" generasi ini mulai mempertanyakan kembali arti komitmen dalam pernikahan. Di tengah perkembangan zaman dan teknologi yang semakin modern, fenomena ataupun tren yang muncul pada jejaring sosial semakin beragam. Salah satu fenomena yang cukup menarik perhatian pengguna sosial media terutama kalangan Gen Z adalah tren "Marriage Is Scary". 

Apa Itu Tren "Marriage Is Scary"?

 "Mariage Is Scary" merupakan sebuah tren yang mengungkapkan rasa takut pada kalangan generasi muda untuk menikah. Tren ini menunjukkan bagaimana Gen Z  kerap kali melihat sisi buruk sebuah pernikahan, sehingga membuat mereka berpikir dua kali untuk menikah atau bahkan menunda pernikahan itu sendiri. Pada fenomena ini, pernikahan yang seharusnya menjadi tujuan hidup dan sebuah momen bahagia bagi setiap orang berubah menjadi sebuah momen yang menimbulkan rasa takut dan skeptis bagi kalangan Gen Z.

Faktor Penyebab Ketakutan Gen Z Terhadap Pernikahan

Tekanan Finansial 

Salah satu alasan kuat yang membuat Gen Z merasa ketakutan terhadap pernikahan adalah karena adanya tekanan finansial. Dewasa ini Gen Z telah  menyadari bahwa biaya hidup semakin bertambah, belum lagi jika mereka menikah, maka akan semakin banyak lagi pengeluaran yang akan mereka gunakan. Mulai dari biaya pernikahan, mahar, pesta, peralatan rumah tangga, cicilan rumah, biaya kesehatan, hingga biaya-biaya tambahan  lainnya.  Belum lagi harga barang-barang yang semakin mahal, gaji yang tidak seberapa, serta masih banyaknya pengangguran dari generasi ini membuat mereka cukup khawatir.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran di kalangan generasi Z di Indonesia mencapai 22,5% atau 9.889 juta orang pada Agustus 2023. Angka ini merupakan kategori Not Employment, Education, or Training (NEET), yaitu penduduk usia muda yang tidak sekolah, bekerja, atau mengikuti pelatihan. Generasi ini telah menyadari bahwa di samping kesiapan emosional, kesiapan finansial juga sangat-sangat dibutuhkan pada sebuah pernikahan.  Hal tersebutlah yang membuat pernikahan terasa seperti beban tambahan di mata kalangan generasi Z. 

Trauma dan Ketidakpercayaan

Selain faktor finansial, trauma masa kecil akibat perceraian orang tua ataupun hubungan keluarga yang tidak harmonis juga mempengaruhi pandangan Gen Z terhadap pernikahan. Sebagian dari mereka kemudian akan menganggap bahwa pernikahan bukanlah suatu hal yang sakral lagi, tetapi sebuah hal yang memiliki risiko emosional tinggi. Ketakutan akan komitmen, pengkhianatan, kehilangan kebebasan, dan berbagai hal buruk lain menjadi alasan mengapa mereka ragu untuk melangkah menuju jenjang pernikahan tersebut.

Terlebih lagi, dengan peran media sosial yang ikut andil dalam narasi tersebut atau bahkan memperparah narasi tersebut, yakni dengan menyebarkan  kasus perselingkuhan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh JustDating, Indonesia menduduki peringkat kedua di Asia sebagai negara yang memiliki kasus perselingkuhan tertinggi yakni sebanyak 40%. Dengan semakin banyaknya cerita viral tentang kegagalan rumah tangga ataupun konflik pernikahan yang terus beredar, alhasil Gen Z cenderung melihat pernikahan menjadi sebuah hal yang negatif dan skeptis.

Kekhawatiran terhadap Perceraian

Selain beberapa faktor yang telah disampaikan, salah satu faktor yang juga penting ialah faktor adanya kekhawatiran terhadap perceraian. Gen Z merupakan sebuah generasi yang tumbuh di era dimana teknologi sudah berkembang  pesat serta era dimana informasi dapat tersebar begitu cepat. Mereka kerap kali melihat berita mengenai perceraian beredar di media sosial.  Hal tersebut tentunya juga mempengaruhi cara pandang mereka terhadap pernikahan itu sendiri. Berdasarkan jurnal "Perspektif Generasi Z di Platform X Terhadap Penurunan Angka Pernikahan di Indonesia" yang ditulis oleh Adhani dan Acep Aripudin, ia menyatakan bahwa sebagian besar Generasi Z yang mereka temui pada platform media X menyatakan bahwa salah satu alasan yang membuat mereka merasa ketakutan terhadap pernikahan adalah karena mereka terpengaruh dengan tingkat risiko perceraian yang semakin tinggi baik saat ini maupun di masa depan (Adhani & Acep Aripudin, 2024) .

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2023 adalah 463.654 kasus. Adapun faktor utama yang menyebabkan kasus  perceraian tersebut dapat terjadi ialah karena faktor ekonomi, komunikasi, dan pengaruh sosial media. Dengan banyaknya kasus perceraian yang terjadi dan  viral di sosial media,  Gen Z menjadi merasa waspada sebelum memutuskan untuk menikah.  

Perubahan Pola Pikir

Di zaman yang semakin maju ini Generasi Z menyadari bahwa tujuan utama dari hidup dan kebahagiaan mereka tidak berfokus pada pernikahan saja. Namun, dapat juga digapai melalui karir, pendidikan, dan pengembangan diri. Generasi Z telah mengalami perubahan pola pikir yang membuat mereka merasa pernikahan bukan satu-satunya jalan untuk  membuat mereka bahagia. Banyak dari mereka yang merasa bahwa karir dan pendidikan menjadi hal yang jauh lebih penting bagi mereka,  mereka  yakin akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari kedua hal tersebut. Mereka  merasa bahwa  mengembangkan kemampuan serta value mereka juga tidak kalah penting.

Fenomena "Marriage Is Scary" di kalangan Gen Z mencerminkan perubahan signifikan dalam cara pandang generasi muda terhadap komitmen pernikahan. Alih-alih dianggap sebagai kemunduran, tren ini menunjukkan bentuk adaptasi Gen Z terhadap tantangan sosial, finansial, dan emosional yang semakin kompleks di era modern. Generasi ini tidak lagi melihat pernikahan sebagai tujuan hidup yang harus dicapai, tetapi sebagai pilihan yang memerlukan kesiapan matang. Untuk mengatasi fenomena ini serta menumbuhkan pandangan yang seimbang terkait pernikahan, dibutuhkan pendekatan inklusif dan relevan dari pemerintah, media, dan generasi sebelumnya untuk menciptakan narasi positif tentang pernikahan tanpa menghakimi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun